Bab 5

8 3 0
                                    

"Kehilangan hanya akan menciptakan lubang di dalam."

*_*

Langit mendung mambawa kegelapan datang lebih cepat. Sore sudah seperti malam, dari tadi ada hujan sepanjang pagi, membuat udara semakin kelam, menerbangkan sampah di trotoar jalan. Koran yang terbuang beberapa hari yang lalu basah menempel di aspal. Memberitakan kematian seorang gadis korban tabrak lari.

Semuanya belum kembali normal, dan mungkin memang tidak akan pernah lagi menjadi normal. Apa yang telah hilang akan hilang untuk selamanya.

Berina, dia adalah adik perempuan Erin. Selalu ceria setiap saat. Cantik seperti buah berry. Matanya lebar sama seperti kakaknya, dia dan Erin mewarisi mata Ayahnya. Namun, semua itu hanyalah masa lalu. Sudah tidak ada lagi seorang Mala yang murah senyum. Selalu cemberut bermuka masam, sikapnya dingin seperti salju. Sekarang hidupnya sehitam arang, sisa dari kobaran indah api yang pada akhirnya meninggalkannya.

Dia adalah murid SMP kelas 3. Pergi ke sekolah hanya untuk pulang lagi nanti sore. Membawa beban berat yang meninggalkan luka di hatinya. Sangat tidak bersemangat. Di rumah langsung mengurung diri mengunci kamar.

Melihat pemandangan sepi di rumah. Semua keceriaan itu telah sirna. Gelap. Ibu lebih memilih untuk tidak menyalakan banyak lampu. Biarlah dia tetap berduka, belum siap baginya untuk menerima cahaya baru.

Waktu berjalan begitu lambat. Memotong bawang tidak pernah ada habisnya. Apakah air mata ini karena bawang, atau karena hal lainnya. Ibu membuka kulkas untuk mengambil sesuatu. Dia terdiam menatap sayur dan rempah-rempah itu, bayangan-bayangan kenangan masa lalu kembali bermunculan.

Sebuah memori, Erin kecil mengambil sesuatu dari tumpukan rempah di bagian bawah kulkas empat pintu, "Mama, Kenapa kita harus memakai jahe?"

Waktu itu Ibu menjawab, "Karena untuk menambah rasa supaya lebih enak."

"Enak? Tapi kan jahe tidak enak," jawab si Erin kecil.

"Sayur tidak enak," tambah Berina yang juga masih sangat lucu, memakai kep bergambar barbie di kepalanya.

"Tapi kalau tidak makan sayur nanti kakak dan dedek tidak kuat kalau mau diajak berenang," jawab Ibu supaya kedua anaknya mau makan sayur.

"Mala mau berenang."

"Erin juga."

"Kalau kalaian mau makan sayur, nanti coba kasih tahu Papa biar nanti diajak berenang."

"Benarkah?" tanya Erin.

"Tanya papa."

"Papa...!" kedua anak itu meninggalkan dapur untuk memanggil Ayah. Mereka ingin mencoba mengajanya untuk pergi berenang.

Ibu menyaksikan mereka berlari dengan sangat gembira, "Jangan lupa nanti makan sayurnya!" teriak ibu pada kedua anak yang sudah tidak terlihat batang hidungnya.

Erin dan Berina tidak menjawab ucapannya. Tapi ibu tahu bahwa mereka mendengarnya. Mereka saat ini hanya sedang manja dengan Ayah.

Sungguh indah. Namun semua itu kini tinggal kenangan. Sebuah tempat yang sama, rumah yang sama. Mata ibu berfokus pada kusen tak berpintu itu. Dulu tempat ini begitu ramai karena kedua anaknya. Sekarang sudah tidak ada lagi anak lucu, Mala terus bertumbuh, tapi sayangnya Erin tidak.

*_*

Terbangun, tengah malam, lampu dalam keadaan mati. Stevan menatap langit-langit kamar. Seluruh yang terlihat hanyalah bayang-bayang dari objek yang sebenarnya.

Cermin ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang