6. Pertemuan 2

1 0 0
                                    

“Mark Lee!”

“Ne, Seonsaengnim .”

“Sudah berapa kali kukatakan kalau kau harus hadir dalam diskusi. Kenapa kau tidak datang?” tanya guru Young.

“Jeosonghamnida , kemarin Saya tidak diperbolehkan keluar rumah.”

“Ini. Tulis nama Sekolah yang ingin kau seleksi. Kita buka audisinya minggu depan.”

Guru Young memberikanku secarik kertas dan berlalu. Sebagai Leader NCT, aku sadar kalau aku tidak berguna. Aku selalu absen setiap kali guru pembimbingku mengadakan meeting. Tapi apa yang harus kulakukan? Papa sendiri yang memerintahkan bodyguardnya menahanku seharian.

Aku tidak pernah merasakan apa itu belajar di rumah teman, hang out, berkarya sesuka hati, dan yang lainnya. Setelah Papa tahu bahwa aku bergabung dengan grup di sekolahku, Papa menjadi lebih mengekangku.

I don’t know why, but I think that my father really hates my hobby.

Kulihat beberapa nama sekolah yang telah ditulis member lain. Sudah ada tiga rekomendasi, dan semuanya adalah sekolah musik. Kupikir aku harus menambahkan sekolah yang cukup berbeda. Anak-anak di sekolah lain juga pasti memiliki bakat terpendam untuk menjadi seorang artis.

Kutulis satu nama sekolah yang menurutku bagus. Setelah itu kuberikan kembali pada guru Young dan pulang. Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tapi orang-orang Papa memaksaku. Aku lelah hidup seperti ini. Aku sudah seperti boneka bagi Papa. Aku ingin hidup bebas seperti remaja pada umumnya.

“Kenapa pulang terlambat?”

“Papa, i'm not a child! Aku juga punya urusanku sendiri!” bangkangku.

“Jaga sikapmu itu! Sudah Papa bilang jadilah anak yang penurut!”

“Bukan anak, tapi Papa menganggapku sebagai boneka.”

“Ingat satu hal, Mark. Jangan perlihatkan keburukanmu di hadapan Tuan Jung.”

Papa memang tidak pernah mengerti perasaanku. Dia selalu bertindak sesuka hatinya. Tuan Jung, aku tahu rencana Papa memperkenalkanku padanya. Aku tahu alasan Papa mengundang mereka untuk makan malam. Bahkan sekarang Papa memberi keluarga mereka hak untuk mengaturku. Apa aku harus menjadi budak selamanya?

Haechan : Cepatlah datang! Kita hampir kalah.

Untuk yang kesekian kalinya Haechan mengirimiku chat seperti itu. Tim basketku sedang bertanding, tapi aku tidak bisa menghadirinya. Jika aku pergi tanpa pamit, sudah dipastikan Papa akan melarangku pergi ke Sekolah besok. Tapi aku benar-benar memikirkan mereka.

Sebentar. Papa memberi hak keluarga Jung untuk mengaturku. Mungkinkah Papa akan memperbolehkanku jika mereka memintaku keluar? Tidak ada salahnya kucoba. Kucari nomor ponsel Yerin. Akan kukirim pesan padanya.

Mark : Yerin-ah, tolong aku!

Semoga saja Yerin bisa membawaku keluar. Aish… sepertinya dia tidak membacanya. Ayolah Yerin, balas pesanku! Aku sangat berharap padamu, Yerin.

Tring

Ponselku berbunyi. Langsung saja kubuka pesan darinya.

Yerin : ada apa?

Yes! Akhirnya dia membalas.

Mark : Aku harus bertanding. Bisakah kau beri alasan pada Papa?

Yerin : Maksudmu aku harus berbohong?

Mark : Kumohon, pertandingan itu sangat penting bagiku. Papa akan mengizinkanku keluar kalau kamu yang memintanya.
(Read)

Yerin tidak membalas chatku lagi. Oh ya Tuhan, bantu aku keluar dari rumah ini segera. Bantu Yerin untuk meng-iya-kan keinginanku.

Sudah tiga menit Yerin tidak membalas. Hingga akhirnya muncul satu chat yang membuatku tersenyum.

Yerin : Baiklah.

Oh God! Thank you so much!

Mark : Thanks. Oh ya, bilang saja pada Papa kalau kita akan kencan.

Yerin : Apa?!

Mark : Hihi… bercanda. Bilang saja kau ingin aku menemanimu jalan-jalan, oke?

Sekali lagi Yerin hanya membaca chatku. Dengan cepat kumasukkan sepatu dan baju basketku kedalam tas agar Papa tidak menyadarinya. 

Beberapa menit setelah itu kudengar Papa bicara pada seorang gadis. Aku rasa Yerin sudah sampai. Papa memanggilku. Senyumku mengembang setelah Papa mengantarku dan Yerin masuk ke dalam mobil. Kulajukan mobil sportku. Setelah cukup jauh dari rumah, kuparkirkan di sisi jalan.

“Kau bisa mengemudi?” Tanyaku pada Yerin. Wajah polosnya mengangguk pelan.

“Aku akan ganti baju di jok belakang. Jadi gantikan aku.” Lanjutku.

“Ganti baju?”

“Tenang, aku pakai kaos. Cepatlah, tidak ada waktu lagi!” kataku.

Kulepas sabuk pengamannya dan berpindah ke jok belakang. Untung saja dia memakai celana jeans, jadi Yerin tidak kesulitan pindah posisi. Selagi dia mengemudi, kulepas jaketku hingga hanya menyisakan kaos polos yang kukenakan. Setelah itu kukeluarkan baju basket dan sepatuku.

Semua selesai tepat saat Yerin menghentikan mobilnya di depan Gor basket.

Aku dan Yerin berlari ke dalam. Sial! Skor tim basketku tertinggal jauh. Kubuang tasku dan segera berlari menuju lapangan.

“Tunggu, Mark!” pekik Yerin.

Aku berhenti dan berbalik melihatnya. Yerin berjalan dengan tangan merogoh tasnya.

“Kau lupa memakainya.”

Headband merah, itulah yang Yerin berikan padaku. Aku bahkan lupa dengan benda yang selalu kupakai. Aku tersenyum dan langsung memakainya. Setelah itu hampiri pelatih agar menurunkanku ke lapangan. Teman-temanku menyambutku dengan hangat. Semangat yang telah pudar kini kembali lagi.

Ku oper bolanya pada Haechan, kemudian Haechan melempar ke Jeno, setelah itu kembali lagi padaku. Dengan satu gerakan kumasukan bola itu.

“YEEEAYYYY..!!!” Semua bersorak, mengerumuniku dengan tawa setelah bola terakhir masuk. Timku menang, dan semua ini karena gadis yang mau membantuku. Gadis yang saat ini berdiri di samping lapangan dengan senyum manisnya. Ingin sekali kuberlari memeluknya, tapi teman-temanku tidak mengizinkanku pergi ditengah kebahagiaan mereka. Yah, mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa tertawa dengan mereka. Namun, saat mataku melihat kembali ke samping, Yerin tidak ada di sana.

“Hei! Kau bilang kau tidak bisa datang,” cecar Haechan.

“Kau membuat kami spot jantung tau!” timpal Lucas.

Aku hanya nyengir sambil mengedarkan pandanganku. Setelah kebahagiaan mereka cukup reda, akhirnya aku pamit.

Aku harus menemukan Yerin dimana pun dia berada. Karena dialah aku bisa berada di sini tanpa mendengar omelan dari Papa. Kucari dia ke beberapa tempat di sini.

“Mark!” Suara Yerin membuatku terhenti. Akhirnya aku bisa bernapas lega melihatnya baik-baik saja.

Kami saling menghampiri dan berhenti setelah jarak kami cukup dekat. Yerin tidak mengatakan apapun. Dia hanya memberiku minuman kaleng lalu pergi menuju mobilku. Kuikuti dirinya masuk ke dalam mobil.

Kubuka minuman kalengku dan meminumnya. Rasa lelahku perlahan mulai hilang. Dia benar-benar handal dalam membuatku tersenyum.

Headband, minuman, dan kebebasan. Tiga penyemangat hidupku telah ia berikan.

“Kau hebat,” pujinya tanpa melihatku.

“Dari mana kau tau aku suka mengenakan ini?” tanyaku, menunjuk ikat kepala yang masih kukenakan. Yerin menatapku.

“Kau menggunakannya saat bertanding dengan sekolahku,” jawabnya.

“Ganti bajumu dulu,” katanya hendak membuka pintu. Kutahan sebelah tangannya.

“Akan kuganti di rumahmu,” kataku.

Yerin mengerutkan dahinya. Aku pun kembali berkata, “Papa tidak suka aku bermain. Aku ingin kau menyimpan baju basketku di rumahmu. Aku harap kau tidak keberatan.”

“Jadi kau akan datang ke rumahku setiap kali kau akan bermain, begitu?” tanyanya.

“Hanya dirimu yang bisa membuatku merasakan kebebasan, Yerin-ah.”

“Kita pulang. Ayah pasti mencemaskanku.”

Yerin tidak menanggapi perkataanku. Apa dia tidak mau melakukannya? Tidak. Aku tidak boleh menyimpulkan dulu. Jika sekarang dia  memperbolehkanku masuk ke rumahnya, berarti Yerin setuju. Tapi jika tidak? Yah mungkin itu sudah keputusannya.

Aku menghentikan mobilku dan membiarkannya dia keluar. Aku masih ragu dengan keputusannya. Tiba-tiba Yerin mengetuk kaca jendela di sampingku. Kuturunkan kacanya tanpa berkata.

“Ganti bajumu dan cepatlah pulang!” suruhnya.

“Benarkah?!”

“Kalau tidak mau juga tidak masalah.” Yerin melangkah masuk.

Sebelum dia berubah pikiran, kuikuti Yerin. Senyum ramah dari orang tuanya menyambut kedatanganku. Tak lupa juga ada dua orang gadis seumurannya yang menatapku kagum. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, yang jelas Yerin menyuruhku masuk ke salah satu kamar untuk mandi dan berganti baju.

Samar-samar kudengar pembicaraan Yerin dan orang tuanya. Aku tidak berniat menguping pembicaraan mereka, tapi telingaku terpaksa mendengarkan saat namaku di sebut.

“Ayah, Ibu, bisakah kalian berjanji untuk tidak memberitahu Tuan Lee tentang pakaian Mark?”

“Memangnya apa yang salah, Sayang?”

“Tuan Lee melarangnya bermain basket. Tapi aku rasa Mark sangat mencintai basket.”

Yerin berpihak padaku. Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini demi diriku. Perlahan kubuka sedikit pintunya agar suara mereka lebih jelas.

“Bukankah tidak baik merahasiakan sesuatu dari ayahnya sendiri?”

“Tapi Ibu, jika ayahnya tau, yang ada Mark tidak bisa bermain lagi.”

“Hm… cukup beresiko.”

“Kumohon Ayah…”

“Baru kali ini Ibu lihat kamu memohon dengan serius. Baiklah, kami tidak akan memberitahukannya pada siapapun.”

“Makasih, Ibu, Ayah!”

Kututup pintunya. Mataku mulai berkaca-kaca mendengar  bahwa Yerin tidak pernah memohon seserius itu. Aku merasa terharu dibuatnya. Aku harap, aku bisa mengenalnya lebih jauh. Lebih dari seorang teman.


ѾѾѾ

Save Me Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang