Karenina terus menatap ke arah tempat duduk pojok belakang kelas. Tidak menemukan sang empunya di tempatnya. Meski Langit seringkali tertidur di hampir semua jam pelajaran yang sedang berlangsung, tetapi Langit sangat jarang sekali absen. Hal itulah yang membuat Karenina merasa ada yang salah.
Atau memang tidak.
Hari ini adalah hari perceraian orang tuanya. Langit yang memberitahukannya beberapa minggu lalu dengan ekspresi biasa saja seolah dia sedang membicarakan mengenai cuaca. Karenina pun enggak menjawabnya karena dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Karenina tidak memahami bagaimana perasaan Langit kali ini. Dia tidak pernah memiliki masalah kompleks seperti milik Langit. Kedua orang tua Karenina akur dan menyayanginya. Satu-satu masalah yang biasanya melandanya adalah sikap pemalunya dan juga hobinya yang menurut banyak orang terlalu kekanakan. Karenina tidak berani membayangkan dirinya ada di tempat Langit. Ingin sok tahu perasaan laki-laki itu pun dia tidak berani. Dan kini, dirinya hanya bisa gelisah sembari mencorat-coret buku pelajarannya dengan asal.
Karenina menghela napas panjang. Urusan mengenai lelaki itu selalu membuat otak rata-ratanya terasa memusingkan. Seharusnya dulu dia menghiraukan Langit yang hampir pingsan di dalam gedung olahraga. Dia seharusnya memanggil orang lain untuk membantunya menggotong tubuh Langit ke UKS alih-alih mencoba menjadi pahlawan merangkap perawat dan mencoba membuat keadaan Langit membaik. Dengan tidak terlalu ikut campur dengan laki-laki itu, saat ini pasti pikirannya akan lebih ringan.
Karenina menghela napas panjang. Berusaha melewati hari panjang sekolahnya hari ini dan berharap bahwa besok laki-laki badung itu akan kembali masuk kelas.
***
Sayangnya, harapannya kandas begitu saja. Tiga hari berselang dan Karenina masih belum menemukan sosok Langit di tempatnya. Karenina akhirnya memberanikan menemui ketua kelasnya yang dengan gampangnya tidak mempedulikannya dan malah menyuruh Karenina langsung bertanya kepada sang wali kelas.
Karenina menghela napas kesal. Kembali ke tempat duduknya sembari menumpukkan kepalanya di atas lengannya yang terlipat. Seharusnya di tidak perlu peduli. Dia bahkan bukan teman Langit. Mereka hanya kenalan yang kebetulan sering menghabiskan waktu bersama di sela jam istirahat.
Benar. Karenina harusnya tidak perduli. Pun jika keadaan Langit ternyata tidak baik. Bisa saja bahwa ayahnya memukulinya dengan brutal karena marah karena perceraian itu.
Karenina terhenyak. Dia mengambil ranselnya. Berlari keluar dan memohon kepada Pak Jamal untuk membantunya mencari tahu alamat Langit.
Dan akhirnya, Karenina menemukannya.
***
"Lo nggak masuk sekolah dan gue pikir lo babak belur! Siapa yang nyangka kalo lo malah semedi di kamar!" Hardik Karenina kesal ketika menerobos masuk ke rumah Langit dan membuka pintu pertama yang dia lihat. Untungnya itu adalah kamar Langit yang terlihat seperti kapal pecah dengan konsol game serta makanan cepat saji yang berceceran di penjuru kamar.
Langit menengadah. Satu alisnya naik dan dia memberikan ekspresi heran yang meremehkan.
Karenina berusaha menghalau amarahnya. Alih-alih dia memyemprot Langit dengan beribu omelannya, Karenina malah melempar tas ranselnya di atas tempat tidur Langit. Mulai menyingsingkan jaket pokemon dan membersihkan ruangan Langit.
"Lo ngapain?"
"Ck! Berberes lah! Seenggaknya gue usaha biar gue punya ruang buat duduk di sini! Memang ya, cowok nggak ada yang bisa rapi. Kalau nggak berantakan kayaknya memang bukan cowok." Dumel Karenina dengan tangan dan kaki yang bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You are Weird Person and Have a Popular Friend
ChickLit"Jangan deket-deket sama cewek aneh itu. Ntar lo ikutan anehnya!" "Lo tuh udik! Kampungan." "Udah jelek, otaku lagi. Nggak ada bagusnya tuh cewek." "Masih jaman ya nonton kartun begitu?" --------- Hidup Karenina begitu nelangsa di masa putih abu-abu...