6. 16 Years Old

1.9K 326 6
                                    

"Besok gue nggak bisa ke sini ya." Karenina menutup komik yang telah dia selesaikan dengan senang. Menumpuknya di sudut bersama dengan banyak komik lainnya. Langit terlihat sibuk dengan konsol gamenya kemudian berhenti.

"Mau ke mana?"

Wajah Karenina perlahan merona. Senyum malu-malunya terlihat dan membuat perasaan Langit menjadi kurang nyaman. "Gue..." Karenina masih tersenyum malu. "Gue mau kencan." Bisiknya lirih sehingga membuat Langit merasa bahwa ada yang salah dengan telinganya.

"Nggak. Kamu besok udah janji mau temani aku ke toko buku."

Mata Karenina berkilat marah. "Ya maksud gue, setelah itu gue nggak bisa mampir ke sini. Berapa lama sih memangnya ke toko buku? Satu jam dua jam juga kelar."

"Siapa?"

"Apanya?"

Langit mendecak kesal. "Kamu pergi sama siapa?"

Perlahan, wajah kesal Karenina menghilang. Gadis itu kembali tersenyum malu di depan Langit. "Lo nggak bakalan kenal."

"Siapa?" Tanya Langit lagi sembari mendelik.

"Reihan. Kakak kelas 3. Lo nggak kenal kan?" Jawab Karenina sewot. Langit lalu menatap Karenina kesal. "Dia bukan anak yang jahat apalagi nakal. Lagian gue kenal sama Kak Rei juga di perpustakaan. Lo kan tahu nggak ada anak nakal hobi ke perpustakaan."

"Gue juga mau!"

"Apanya?"

"Kencan!" Langit berkata dengan menggebu. Ini seperti pertandingan, pikir Karenina lucu.

"Ya udah. Kan banyak cewek yang ngedeketin lo. Lo kan bisa ajak salah satu buat kencan bareng lo." Karenina menjawab tidak kalah menggebu. Setahun belakangan, kepopuleran Langit semakin meroket. Menjadi pendiam dan hanya menjawab seperlunya ketika ditanya tidak lantas membuat sosoknya dijauhi. Yang ada, banyak gadis di sekolahnya yang mengelu-elukannya sebagai Prince Ice. Karenina pernah memberitahunya dan respon dari Langit hanya melengos tidak peduli.

"Nanti cerita ya gimana kencannya. Gue penasaran!" Karenina tertawa senang. Merasa Langit mulai memasuki dunia sosial dan bisa menjadi remaja normal dan mulai menikmati hidup.

***


"Astaga! Untung nggak ada yang tahu kalau kita sohib. Gue ngeri sama barisan mantan lo!" Karenina menatap ngeri kepada ponsel Langit yang tidak berhenti berdering sedari tadi. Karenina membiarkannya saja karena ring tones yang Langit setel di ponselnya adalah lagu kesukaannya. Sebaliknya, untuk panggilan dari Karenina dan ibunya, Langit memasang lagu yang paling nggak dia sukai. Alasannya, agar suara bising itu nggak lama menganggunya.

Enam bulan berselang setelah kencan yang Langit mulai, dan Langit sudah memiliki tiga mantan pacar. Periode jadian - putus - jadian dengan yang baru - putus seolah berulang dengan cepat. Di sisi lain, kisah cinta Karenina dengan Reihan malah tidak berlanjut. Reihan mengajak Karenina pergi karena ingin bertanya mengenai benda-benda kesukaan para gadis. Kenyataannya, Reihan memiliki gadis lainnya yang dia suka.

Karenina sempat merasa patah hati untuk sesaat. Dia bahkan merengek kepada Langit yang akhirnya membuat laki-laki itu menemaninya di Time Zone seharian dan menguras tabungan Langit.

"Ada lagi!" Karenina mulai menatap ponsel Langit dengan iba. "Kenapa lo nggak angkat aja sih telponnya? Dia udah dua puluh lima kali misscall." Karenina mengambil ponsel itu. Meletakan di depan Langit yang tidak tertarik sedikit pun.

"Kalau mau, kamu aja yang angkat."

Karenina mendelik ngeri. "Itu namanya gue cari mati! Besok gue bisa habis dibantai sama Gisel." Dia menyebut nama penelpon. "Lo kan seharusnya kasih alasan kenapa lo putusin Gisel. Nggak bisa semena-mena gitu dong. Bayangin deh kalau suatu hari lo suka sama cewek terus kalian jadian dan nggak ada hujan nggak ada badai, lo di telpon dan bilang kalian putus."

Kernyitan muncul di antara kedua alis Langit. Karenina yang melihatnya semakin semangat untuk membisikkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Atau, misal nih ya. Lo nggak kasihan kalau gue punya pacar dan ternyata pacar yang gue cinta dan sayang berbuat begitu sama gue? Orang bilang karma itu ada. Kan lo nggak punya adek cewek, bisa jadi karma itu malah balik ke orang terdekat lo, yaitu gue."

"Emang ada?" Langit bertanya dengan ekspresi sengit.

"Karma? Gue sih antara percaya dan nggak percaya."

"Orang yang lo cinta dan sayang."

Karenina terdiam. Menatap wajah Langit yang semakin tampan semenjak dia nggak lagi suka berkelahi. Alisnya yang tebal, matanya yang tajam, hidungnya yang kecil, dan bibirnya yang penuh menatap Karenina dengan lurus.

"Belum ada sih. Tetapi mungkin aja suatu hari bakalan ada, kan?"

Karenina tidak ingin membahas masalah dirinya lebih lanjut. "Jadi lo nggak bakalan angkat telepon dari Gisel?" Tanyanya lagi yang dijawab dengan dengusan oleh Langit.

Karenina menghela napas panjang. Dia kira Langit tidak akan menjadi fuckboy yang mudah saja gonta-ganti pacar seperti ini. Yah, walaupun alasan Langit berpacaran untuk yang ketiga kalinya adalah karena mereka yang mengajak Langit pacaran terlebih dahulu. Kemudian, ketike ketiga mantan Langit mulai menuntut agar Langit memperhatikannya dan membuat laki-laki itu terganggu, dia lantas memutuskannya. Semudah itu.

"Gue bobok cantik dulu ya. Kabari kalau Bunda udah balik." Pesan Karenina yang menyeret tubuh mungilnya ke ranjang Langit dan terlelap begitu menit pertama tubuhnya berbaring.

***

When You are Weird Person and Have a Popular FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang