Dia berbalik menatapku lebih tajam dari pada tadi.
"Sini kalau berani!" ucapnya menantang. Sambil tersenyum miring.
Aku menatapnya lekat. Mata itu ... masih sama dengan yang dulu. Wajahnya sangat mirip, benar-benar mirip dengan seseorang yang berharga dalam hidupku saat itu. Pandanganku beralih pada bibir tipis yang sedikit basah itu.
Diiringi dada yang berdebar. Perlahan aku mendekat. Semakin dekat. Matanya mulai tertutup. Rapat.
Tak terasa bibir ini melengkung. Ck, gadis ini. Apa yang ada dalam pikirnya? Apa dia pikir aku akan menciumnya?
Jari telunjukku tepat berada di dahinya. Sedikit menekan.
"Kamu mikir apa? Hm?"
Dia membuka mata lebar. Sambil mengusap dahinya. Terlihat rona kemerahan di kedua pipi itu. Menggemaskan.
Menyadari telah dikerjai, Winda membuka mulut akan bicara, tapi segera kupotong.
"Tidurlah," ucapku sambil mengacak puncak kepalanya yang masih tertutup jilbab. Lalu beranjak dari ranjang meninggalkan Winda yang masih tak bergerak di sana.
.
Jam menunjukkan pukul 23.45 detaknya terdengar begitu jelas. Secangkir teh yang hampir dingin menemaniku malam ini, dengan sebatang rokok yang tersemat di sela jari. Entah sudah berapa lama aku berdiam di sini. Duduk mengisap batang demi batang rokok yang terkadang membuatku tenang.
"Jangan terlalu banyak merokok."
Aku menoleh saat Winda telah mengambil rokok yang akan kuisap. Mematikannya di asbak.
"Napa belum tidur?" tanyaku saat dia baru saja mendudukkan diri di kursi samping.
"Belum ngantuk."
"Kamu mikir macem-macem, ya?"
Gadisku itu melotot. "Nggak!"
"Kamu cemburu?"
Winda menoleh. Detik kemudian membuang muka, saat aku menatapnya lama. Lalu dia berdiri.
"Mau ke mana?" Tanganku berhasil mencekal lengannya. "Duduk dulu. Temani aku."
Dia duduk kembali, sambil menautkan jemari. Aku tahu dia kesal. Terlihat dari raut wajahnya itu. Bibirnya yang terus-menerus merapalkan sesuatu. Entah apa.
"Sudah kukatakan sebelumnya. Mayang hanya butuh pertolonganku sekarang. Jadi jangan cemburu untuk hal yang memang nggak pantas dicemburui."
"Aku nggak cemburu."
Kulirik sekilas wajahnya. Terlihat manis saat sedang cemberut seperti ini. Lalu kami terdiam. Hanyut dalam keheningan malam.
Satu jam.
Dua jam.
"Masih lama, nggak, sih?"
"Kenapa?"
"Udah hampir pagi, Tuan."
"Ntar."
"Aku tidur duluan kalau gitu."
"Duduk!"
Lagi, dia menurut.
"Good."
Terkadang, ada saatnya aku hanya butuh ditemani seperti ini. Tanpa kata, tanpa ada suara. Hanya detak jantung yang kurasa.
Kami hanya saling diam. Tak terasa jam bergulir begitu cepat.
Kulihat beberapa kali Winda menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Menguap. Sesekali kepalanya terantuk di meja, saat tangan yang menyangga dagunya melemah. Hingga, sekarang kepalanya benar-benar sudah berada di meja. Tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Pengantin
RomanceDia tak menyadari bahwa hatiku telah dia curi beberapa tahun lalu. Hingga kini dipertemukan lagi dengan keadaan yang berbeda. Namun, aku masih tetap menginginkannya. Jadi milikku seutuhnya.