Ucapanku yang begitu spontan membuatnya membulatkan mata. Lalu berdecak, tapi akhirnya menurut juga.
Aku mengulum senyum ketika suapan pertama diterimanya. Sekali, dua kali, sampai habis tak bersisa.
"Tuan nggak makan?"
"Udah tadi." Aku berbohong. Mana bisa aku makan sedangkan dia belum sama sekali.
Kruk.
Ah, sialan. Perut tak bisa diajak kompromi. Padahal aku sudah menahannya sejak tadi.
Winda melihatku dengan satu alis terangkat. Mungkin tahu jika aku berbohong. Lalu membuka kotak makan yang kedua. Sesaat kemudian, menyodorkan satu sendok penuh nasi ke mulutku. Aku memang sengaja membawa dua kotak.
Aku menggeleng.
Winda menaruh lagi sendok pada kotak makan dengan wajah tertekuk. Sejenak aku hanya memandangnya dari samping. Menahan senyum, lalu ....
"Aaa ...." Aku membuka mulut sedikit lebar.
Dia menoleh, lalu menunduk lagi. Mungkin sedang menyembunyikan wajahnya.
"Mana? Pegel buka mulut terus."
"E-eh, iya. Ini, Tuan."
Aku menggeleng lagi.
"Kenapa?"
"Jangan pakai sendok."
Tangan Winda sedikit bergetar ketika menyuapiku dengan jemarinya. Katakanlah aku berlebihan. Tapi makan kali ini terasa begitu nikmat. Hingga tak terasa, habis sudah nasi yang ada di kotak makan. Padahal hanya makanan sederhana.
Aku suka dia begini. Kelembutannya mengingatkanku dengan seseorang. Garis wajahnya, kebaikan hatinya benar-benar mirip. Aku merindukan orang itu. Orang sangat aku cintai.
Memejamkan mata sejenak, kemudian kuhirup napas sedalam-dalamnya. Lalu mengembuskannya pelan. Winda ... gadisku. Aku jatuh cinta padanya sejak dulu.
Entah ... perasaan yang tak biasa ini bisa sanggup bertahan lama sampai sekarang. Padahal beberapa kali aku mencoba berhubungan dengan wanita. Namun, rasa ini berbeda ketika bersama Winda.
Mantera apa yang sudah dia rapalkan padaku, hingga aku setengah gila seperti ini. Sadar atau tidak, aku sudah terjebak di hati Winda yang paling dalam. Namun, entah dengan hatinya.
Dia ... apa dia bisa menerimaku? Dengan segala kekurangan yang kupunya? Dengan masa laluku juga?
Ah, segera kutepis berbagai pertanyaan itu dalam pikiran. Biarlah ini berjalan seadanya. Aku tak memaksa hatinya. Hanya saja, aku menginginkan dia sepenuhnya menjadi milikku.
Aku hanya melakukan yang seharusnya menjadi kewajiban. Terlebih untuknya.
Malam kian larut. Namun, Winda masih setia duduk di samping Pak Abdul. Sudah hampir jam duabelas malam padahal, apa gadis itu belum mengantuk?
"Ehm ...."
Winda hanya melihatku saat aku berdehem.
"Sini," perintahku.
Dia menurut. "Ada apa lagi, Tuan?"
"Duduk."
"Aku duduk di sana aja, Tuan." Winda menunjuk kursi yang dia duduki tadi, dekat ranjang Pak Abdul.
"Duduk sini aja."
Dia kembali mematuhi perintahku. Duduk di samping dengan raut wajah yang sedikit kesal. Ah, biarkan saja. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya.
"Aah ...."
Cepat kutarik badannya hingga kepalanya tepat berada di pahaku. Ringan sekali. Apa selama ini dia tidak makan? Sehingga dengan mudah badannya ambruk begitu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Pengantin
RomanceDia tak menyadari bahwa hatiku telah dia curi beberapa tahun lalu. Hingga kini dipertemukan lagi dengan keadaan yang berbeda. Namun, aku masih tetap menginginkannya. Jadi milikku seutuhnya.