Tak butuh waktu banyak. Segera kupacu mobil ke rumah Winda. Pikiranku sudah tak karuan lagi. Rasanya ingin cepat sampai saja.
Mobil kuhentikan saat lampu merah menyala. Beberapa lama terdengar ketukan kaca di pintu samping, terlihat seorang yang sudah renta di luar. Seketika aku menoleh ke kursi samping. Ada buket dan parcel buah. Kuberikan saja padanya. Biar lebih bermanfaat.
Beliau hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Lalu mendoakan agar aku selalu bahagia. Ya, bahagia bersama pasangan. Yang kini entah, masih berada dengan lelaki lain atau tidak.
.
Mobil berhenti di pinggir jalan. Ingin masuk terhalang oleh mobil mewah di halaman.
Perlahan memasuki rumah. Berhenti tepat di depan pintu. Mematung. Lama.
Winda terlihat sesekali menyunggingkan senyum. Sepertinya dia nyaman sekali dengan lelaki itu.
Berbeda dengan saat bersamaku. Rasa bersalah menyusup dalam rongga dada. Apa yang sudah aku lakukan selama ini kepadanya? Apa yang sudah aku beri padanya?
Bukankah dia terlihat bahagia bersama orang lain?
Winda, apa kamu tak dengar, hatiku retak seketika. Tahu kah kamu. Sejujurnya aku tak ingin melihat pemandangan ini? Kalian sedang apa? Duduk berdua, saling berhadapan, melempar senyum di dalam rumah.
Sebagai suami, aku tak ingin melihat istriku dengan lelaki lain. Menunjukkan senyum termanisnya, terlebih dengan orang yang bukan keluarga. Entah siapa dia.
Biar kutunjukkan siapa aku di sini. Siapa yang berhak atas segala yang dimiliki oleh istriku sendiri. Winda.
Ya, tak butuh banyak kata untuk mengusirnya. Akhirnya dia pergi juga menyisakan aku dan Winda.
.
Malam yang indah kurasa. Banyak bintang dan rembulan menggantung di langit sana. Menghias gelap dengan caranya sendiri. Begitu pun aku, menyayangi Winda dengan caraku sendiri.
Seketika ide terlintas di kepala. Rokok kumatikan segera, setelah berpikir tentang menghabiskan malam bersama Winda. Mungkin akan menjadi malam yang indah. Ah, aku menggeleng cepat. Mengulum senyum membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Sampai di kamarnya yang sempit, melihat ranjang yang sekali kududuki mungkin akan berderit. Ck, dan benar saja, keras sekali ranjang ini setelah aku menghempaskan bokong.
Ya, apa boleh buat. Mungkin malah akan menjadi tempat tepat untuk sesutau yang kuinginkan sejak lama.
Kupikir malam ini akan menjadi sesuatu yang berbeda. Namun sayang, sama saja. Setelah beberapa kali berdebat hanya karena nama panggilan, lalu beralih dengan dia yang menyembunyikan kecemburuannya dengan Mayang. Sampai Winda tertidur pulas. Padahal ingin rasanya aku memakannya.
Pada akhirnya aku harus menahan sesuatu yang sudah bergejolak di dalam sana. Panas terasa malam ini, tak ada kipas angin, atau pun pendingin udara di sini. Dengan terpaksa, aku harus membuka pakaian karena kegerahan. Huh!
Ingin marah, percuma, hanya bergumam menahan rasa. Ah, sudahlah. Mungkin memang belum waktunya, atau dia memang belum siap untuk menerimanya. Tapi aku yakin, di dalam hatinya pasti sudah tersemat namaku.
.
Pagi pun menyapa. Setelah salat Subuh di masjid, aku mengajak Winda jalan-jalan sebentar di sekitar sawah menikmati udara pagi.
Aku mencoba mengingatkan kembali tentang kejadian bertahun lalu. Tapi sepertinya dia sudah lupa.
"Sebagai hukuman karena kamu sudah melupakanku, maka, kita harus pulang hari juga. Lalu ... malam nanti ...," ucapku terhenti, melihat ekspresi Winda yang sedikit menegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Pengantin
RomanceDia tak menyadari bahwa hatiku telah dia curi beberapa tahun lalu. Hingga kini dipertemukan lagi dengan keadaan yang berbeda. Namun, aku masih tetap menginginkannya. Jadi milikku seutuhnya.