- Ilham -
Pagi-pagi aku terbangun. Mencoba mengeja sinar matahari yang menembus melalui jendela kaca. Entah sejak kapan pagiku terasa penuh senyum. Seolah musim semi setiap harinya. Bahkan bibirku sering membuat lengkungan bahagia. Ah inikah yang orang sebut jatuh cinta.
Aku baru mengenalnya bahkan baru melihatnya tapi aku langsung jatuh cinta. Allah mengirimkan cinta dihati. Aku tak mampu menolaknya.
Namanya Nara. Orangnya cantik meski hanya sesekali aku mencuri pandang kearahnya. Ya, aku jatuh cinta dalam persekian detik. Bagiku ia unik. Selalu bisa membuatku kehilangan kata-kata didepannya. Tapi entah ia enggan terbuka didepanku, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Maski ia tak pernah menolak perjodohan ini.
Ah, cukup hari ini memikirkan seseorang yang masih belum menjadi kekasih halalku. Aku harus bergegas ke kamar mandi. Dihari kedua ta'aruf ini aku harus berusaha membuat nara lebih terbuka mengenai dirinya padaku, karena bagiku sesi pertama ta'aruf kami hanya datar-datar saja. Tak ada perkembangan.
Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Memakai sabun dan shampo agar terlihat lebih bersih dan fresh. Tapi saat kuhidupkan shower tak ada satu tetespun air yang keluar. 'Matilah aku' gerutuku dalam hati.
Tanganku mencoba meraih handuk lalu refleks membersihkan area mata agar tidak perih. Kututupi tubuh bagian bawahku, bergegas keluar dari kamar mandi meski masih dalam keadaan penuh sabun dan shampo.
Aku baru ingat kalau kamar mandi dikamarku akhir-akhir ini sering mati. Beberapa kali telfon teknisi tapi sampai sekarang belum juga ada yang datang memperbaiki. Tapi kenapa malah sekarang rusak disaat sepenting ini!?
Mau tidak mau aku harus turun lantai bawah menggunakan kamar mandi tamu, karena tidak mungkin aku menggunakan kamar mandi kak Indy, ia paling anti kalau kamar mandinya kumasuki dan kuacak-acak. Sedangkan kamar mandi dikamar Ayah dan Ibu juga selalu terkunci.
Saat sampai dilantai bawah kudengar beberapa tawa yang begitu renyah. Astaga! Mungkin tamu yang aku tunggu sudah datang, padahal aku masih belum siap begini.
Lekas kubuka ganggang pintu kamar mandi tamu, membersihkan diri secepat mungkin, lalu sebisa mungkin nanti aku segera keluar dan bersiap. Tapi realita tak seindah ekspektasi karena kenyataannya saat aku terburu-buru membuka pintu, aku malah mendapatkan tubuh Nara dalam dekapanku. Maklum gerakan refleks menangkap agar ia tidak jatuh.
Aku sempat khilaf beberapa detik karena memandang wajahnya, tapi teriakan mbak indy membuatku tersadar.
"Ilham, Nara! Kalian ngapain?!" Sahut mbak Indy kaget seperti memergoki adegan mesun dikamar mandi.
Aku langsung melepaskan tubuh Nara, membuatnya benar-benar jatuh didepanku.
"Ahhh" Teriak Nara kesakitan.
"Tadi dek Nara jatuh lalu aku menangkapnya mbak, kita nggak ngapa-ngapain kok" Jelasku cepat. Kebiasaan saat panik aku akan berbicara cepat.
"Duuuhhh..." Rintih Nara sambil mengusap-usap pantatnya yang sakit.
Aku benar-benar bingung melihat kondisi Nara, antara harus menolongnya atau tidak.
"Maaf dek Nara, kita bukan mahram" Sahutku tiba-tiba untuk menegaskan bahwa aku tidak bisa menolongnya karena kita belum halal untuk bersentuhan.
Mbak Indy langsung melotot kearahku. Ngeri sekali aku setiap kali melihat mbak Indy melotot.
"Kamu nih Ilham, kalau ada orang yang terkena musibah ya harus ditolong, mau nolong aja kamu pilih-pilih" Omel mbak Indy padaku.
"Tapi mbak..." Belum sempat kulanjutkan kata-kataku mbak Indy sudah kembali nyerocos.
"Coba kamu pikirkan kalau ada orang kecelakaan dijalan, masak kamu tanyain dia agamanya apa, jenis kelaminnya apa, rumahnya dimana, ya keburu mati dong orangnya!" Omel mbak Indy sambil mencoba mengangkat tubuh Nara
"Ya nggak gitu juga mbak..." Sahutku pasrah, enggan berdebat.
"Yaudah sana pakai baju! Nggak malu dilihatin calon istri" Ucap mbak Indy membuatku tersadar kalau aku masih mengenakan handuk dan bertelanjang dada.
"Astaghfirullah!" Teriakku kaget dan langsung berlari menuju kamarku.
"Hahaha" Tawa mbak Indy pecah.
- Dikamar -
Aku meruntuki diriku sendiri. Bagaimana bisa aku mempermalukan diriku sendiri didepan Nara. Entah apa yang dipikirkannya tentangku. Mungkin baginya aku bukan laki-laki yang baik.
Kugaruk kepalaku yang tak gatal. Kesal. Tapi percuma juga disesali, toh masalalu tidak bisa kembali. Satu hal yang pasti kulakukan sekarang, membuat kesan yang lebih baik didepan Nara dan keluarganya.
Sebuah kemeja berwarna biru kukenakan dengan bawahan celana hitam, sudah seperti hendak melamar kerja saja, hanya kurang dasi mungkin. Ah, pakaianku mungkin terlalu resmi tapi pakaian ini lebih sopan dibandingkan pakaianku sehari-hari.
Setelah beberapa kali bercermin, aku bergegas turun menuju keruang tamu. Anehnya saat sampai diruang tamu, semua mata tertuju padaku. Entah kenapa, padahal aku cukup PD dengan penampilanku. Apa mereka terlalu terkesima dengan ketampananku ya? Ah aku kegeeran sendiri.
Sepersekian detik kemudian tawa mereka pecah bersamaan.
"Hahaha" Tawa kompak dan renyah, tapi aku tak tau sebabnya, apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Tidak Mencintai Suamiku
Spiritual#Terbit Setiap Sabtu Malam Minggu (insyaallah) #Jangan lupa bintang dan follow ya Dia Suamiku, tapi aku tidak mencintainya. Setampan apapun dia, sekaya apapun dia dan sebaik apapun ia padaku, aku tetap tidak mencintainya.