Seorang gadis duduk terdiam di dalam kamarnya, memandang kosong ke arah jendela dengan kepala di penuhi banyak pikiran akan kebenciannya kepada waktu yang terus membawanya maju. Ia benci harus naik ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, itu artinya ia harus meninggalkan teman-teman lamanya dan kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, ia benci ketika ia tak bisa mendapatkan sosok seperti teman lamanya di sekolah barunya. Waktu menginjak bangku SMP iya harus merelakan Charisma, sahabatnya sewaktu di Sekolah Dasar, butuh waktu hampir 1 tahun ia bisa menerima seseorang untuk menjadi teman barunya. Dan kini ia harus meninggalkan Ifa sahabatnya di kala SMP karna harus melanjutkan sekolah di Sekolah Kejuruan yg berbeda.
"Harus berapa bulan aku menemukan teman baru? Apa ada yang seperti Ifa?" Pikirnya dalam hati.
Di SD ia hanya mempunya 1 sahabat, di SMP pun begitu, lalu saat masuk ke sekolah barunya nanti apa ia akan menemukan sosok yang akan menerimanya seperti 2 sahabat sebelumnya?
Rafa adalah tipe orang yang tidak mudah menganggap seseorang sebagai temannya, baginya definisi terlalu rumit di artikan, kenal belum tentu bisa menjadi teman, karna sebagian orang yang mengenal kita hanya ingin tahu dan penasaran akan kisah hidup yang kita jalani, bukan berniat untuk menemani atau bahkan menjadi sahabat, hal itulah yang membuatnya menjadi orang yang pendiam, yang hanya akan menjadi dirinya sendiri jika di depan para sahabatnya.
Semakin larut, semakin penuh otaknya di penuhi berbagai pikiran tentang bagaimana nasibnya esok di sekolah barunya.
Rafa benci ketika ia harus di perbudak dengan para manusia-manusia sok senior itu, manusia seperti Rafa memang benci ketika harus di paksa mengikuti aturan ini dan itu.
Di SMP Rafa terkenal sebagai anak yang jarang berinteraksi namun namanya sering sekali menjadi daftar anak yang masuk ke ruang BK, bukan karena sikapnya yang berandal, atau tutur katanya yang tidak sopan, bukan juga karena membuat onar atau membuat masalah dengan para guru/siswa. Melainkan karena gaya berpakaian Rafa yang terlihat sangat minimalis. Membuat para guru geram melihatnya.
Mulai dari rok yang sangat memperlihatkan jelas paha putihnya. Hingga baju yang sangat ketat dan 2 kancing teratas terbuka. Bagaimana Rafa tidak terkenal dengan gaya berpakaiannya yang mengundang nafsu para lelaki.
Bukan Tanpa sebab sebenarnya Rafa bisa berubah seperti ini. Semua ini karena kebenciannya akan rumah, rumah yang mungkin dianggap oleh sebagian orang adalah tempat berpulang ternyaman, tempat berkeluh kesah tentang semua keadaan yang menyelimuti tiap hari-harinya. Tapi bagi Rafa rumah adalah kenangan buruk yang selalu membuat emosinya memuncak, rumah adalah tempat yang selalu memunculkan rasa benci bergejolak dalam hatinya. Hanya satu alasan kenapa ia masih selalu pulang ke rumah. Ya! Mama. Satu-satunya alasan kenapa Rafa masih ingin ada di bumi, satu-satunya alasan kenapa Rafa masih Sudi menginjakkan kaki di tempat yang sebagian orang sebut adalah "rumah". Rafa sangat mencintai Mamanya, kelemahan terbesarnya adalah Mamanya, walau sikapnya yang cuek dan terkesan tak peduli, jauh di lubuk hatinya ia sangat ingin bisa mendengarkan keluh kesah Mama tentang rumah. Tapi Rafa tak pernah bisa. Takkan pernah sanggup mendengarkan, ia takkan sanggup harus menambah kebencian puluhan kali lipat pada rumah yang kian hari tak pernah sepi terdengar riuh perdebatan dan pertengkaran hingga akhirnya sunyi.
Ingin sekali bisa membenci manusia itu, manusia yang sudah membuat hati Mamanya terluka, yang sudah membuat Mamanya meneteskan air mata tiap malamnya hingga jatuh sakit berkali-kali. Ingin berontak tapi selalu tertahan karna Mama mengajarkan 'harus menghormati orang yang lebih tua'.
Begitulah kisahnya, tak ada yang tau sosok pendiam namun berpenampilan layaknya bukan seorang murid ini ternyata menyimpan banyak luka dalam hatinya. Tak ada yang bisa di jadikan tempat berbagi, tak ada orang yang bisa di jadikan tempat bercerita, kisahnya selalu ia telan sendiri, membuatnya harus menjadi sosok lain yang bukan dirinya sendiri. Pendiam. Padahal saat SD Rafa adalah anak yang aktif. Mana bisa diam kala sedetik saja. Ia selalu lari kesana kemari bersama Charisma, selalu banyak mengoceh tentang apa yang ingin di ceritakanya.
Ah kenangan itu.
Rafa kemudian menatap jam di samping tempat tidurnya, sudah mulai larut. Ia harus tidur atau besok akan kesiangan berangkat ke sekolah barunya sebagai anak mabis yang harus membawa dan menggunakan perlengkapan ini dan itu sudah sangat mirip seperti orang gila. Pikirnya.
Sebelum memejam ia sempat memohon pada Tuhan "Tuhan, kapan aku bisa kembali menjadi diriku sendiri? Aku lelah menahan sesak sendiri, semoga kelak, aku bisa menemukan seorang teman yang Sudi menerima keadaanku". Ucapnya dalam hati.
Rafa terlelap.
******
Suara ketukan pintu di luar kamar berhasil membuatnya terbangun, perlahan Rafa mulai memulihkan kesadarannya dan kembali menatap jendela, rupanya sang Surya sudah perlahan muncul dan menyambut tidurnya. "Rafa bangun, ini hari pertama kamu sekolah" ucap Mamanya di luar kamar."Iya" ucap Rafa merespon ucapan Mamanya.
Rafa bergegas mandi dan bersiap diri di untuk berangkat ke sekolah barunya.
"Tuhan, aku gak mau jalanin hari ini, ini pasti bakal jadi hari yang berat" ucap Rafa sambil berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai.
Setelah selesai bersiap siap dan mempersiap kan semua barang bawaannya, Rafa memandang penampilannya di depan cermin, astaga sudah persis sekali seperti orang gila di pinggir jalan, name tag besar yang terpasang di lehernya, dan segala atribut yang membuatnya gerah.
"Rafa udah siap belum, udah jam segini nanti kamu kesiangan" ucap Mamanya lagi sambil mengetuk pintu kamar Rafa.
"Bentar lagi" ucap Rafa seadanya.
Akhirnya Rafa keluar kamar dengan raut seperti biasanya, jutek dan tanpa guratan senyum sedikitpun, mungkin orang yang memandang wajah Rafa akan sebal duluan karna wajah tak bersahabat yang selalu Rafa perlihatkan.
"Rafa langsung berangkat" ucap Rafa yang langsung menyalami Mamanya.
"Gak mau sarapan dulu?" Tawar Mama.
"Disekolah aja" jawab Rafa.
Yah! Rafa memang tidak pernah sarapan di rumah bukan karna masakan Mamanya tidak enak, atau karna ia akan telat, tapi karna ia harus menghindari kontak dengan Papahnya, Rafa tak mau pagi harinya hancur hanya karna melihat wajah papahnya yang seakan tak berdosa padahal sudah berkali-kali melukai hati dua wanita yang tinggal di rumahnya ini.
Di sekolah, suasana riuh para siswa baru langsung terasa, mulai dari yang masih di antar orang tuanya, sampai yang jalan bergerombol dengan teman temannya, kadang Rafa suka berfikir bagaimana bisa seorang manusia bisa memiliki teman lebih dari satu orang? Apa ia tak takut jika nanti akan di khianati? Memangnya apa definisi teman sebenarnya menurut mereka? Karna selama ini Rafa Naya memiliki satu teman, bahkan waktu kecil ia tak punya teman sama sekali, hidupnya hanya di habiskan di dalam rumah, saat menginjak bangku sekolah ia mulai berani membuka diri dan menerima hanya satu orang dari ratusan murid yang ada di sekolah itu.
Rafa melanjutkan jalannya memasuki gerbang sekolah, ia langsung melihat suasana para senior yang mulai meneriaki "cepat cepat langsung ke lapangan!". Namun yang di lakukan Rafa hanya jalan santai tak memperdulikan teriakan para seniornya.
Sespainya di lapangan utama, banyak mata para siswa baru yang menatap ke arah Rafa, entah karena apa, padahal Rafa pikir atributnya sudah lengkap dan sama persis seperti yang mereka kenakan. Para siswa laki laki tak henti hentinya menatap Rafa sambil berbisik bisik kepada teman di sampingnya. Rafa tahu apa yang mereka bisikan, apalagi jika bukan karna roknya yang hanya menutup setengah pahanya. Bahkan ada seniornya yang juga menatap sinis ke arahnya seperti ia telah melakukan suatu kesalahan dan harus segera mendapat hukuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAFATELLA
Teen FictionManusia yg di jadikan kelinci percobaan oleh hidupnya sendiri?