Aku terluka, Kau adalah penyebab sekaligus obatnya

15 1 0
                                    

      Bumi berputar pada porosnya, membiarkan matahari menyinari sisi bumi yang lain. Jiwa-jiwa telah mengalah pada rasa lelah. Jalanan ramai lancar, semua antri menuju tempat pulang melepas lelah. Wajah-wajah menyimpan lelah, tak sabar ingin berbagi cerita dengan keluarga dirumah.
      Aku memperhatikan jalanan padat lancar. Semua nampak normal mengambil lajur masing-masing. Suara adzan berkumandang, aku berbelok ke sebuah mesjid kecil di tengah padat kota. Aku tak sabar mengadu kepada pencipta, bersyukur dan bercerita tentang ajaibnya hari ku.
      Maghrib berlalu, rembulan datang dengan tegas. Malam bergairah memberi semangat.
      Sore tadi mas Leo menelpon menyuruhku untuk mampir. Aku memang baru saja berkegiatan di sebuah panti asuhan sekitar tempat kerjanya. Tidak masalah menurutku, apa salahnya sedikit bertukar fikiran dengannya. Aku mematikan mesin mobil, melepas sitbelt, meraih ponsel, menelepon mas Leo. Tak diangkat, mungkin sedang ada pasien.
      Mas Leo adalah seorang dokter, pukul segini memang selalu ada operasi. Aku merebakan badan. Mungkin aku harus menunggu.
     Aku mengenal mas Leo sejak empat tahun yang lalu. Saat aku sedang dalam pelarian. Dia menemukanku, atau aku yang menemukannya, yang pasti kami kemudian bisa terus berhubungan dan merasa banyak kesamaan. Tapi siapa pula yang tak suka berteman dengan mas Leo, lelaki jenius yang ramah tamah. Aku bersyukur dipertemukan dengannya.
     Sebagai dokter, mas Leo tentu bukan dokter biasa. Prestasinya tak habis-habis. Lain lagi jiwa relawannya yang mempesona, siapa yang tak menyukai karakter itu. Pola pikirnya selalu fresh dan relevan. Aku menyukainya, menyukai karakternya.
     Mas Leo, aku mengenalnya dalam sebuah acara bakti sosial. Lelaki jangkung itu sebenarnya tak pernah banyak bicara. Tapi kami semua mengenalnya dengan baik. Sedangkan aku sendiri baru sekitar setahun belakangan banyak bertukar fikiran dengannya. Bukan main, aku makin terkesima dengan mas Leo yang asli.
     Teleponku berdering. Mas Leo menelepon memintaku menunggu sebentar lagi. Ada pasien yang darurat. Tidak masalah, semua itu akan terbayar ketika mendengar cerita-cerita hebatnya nanti.
     Aku memutuskan keluar mobil. Berniat menunggu mas Leo di kursi tunggu. Suasana rumah sakit masih terlihat ramai. Beberapa orang datang berkelompok menjenguk kerabatnya. Beberapa orang nampak kusut menanggung beban fikiran. Beberapa orang nampak sumringah setelah bertemu sanak keluarga. Aku berjalan sendirian diantara mereka. Beberapa satpam memperhatikan, petugas kebersihan malu-malu mengayunkan kain pel ke dekat kakiku.
     Aku memainkan ponsel, menambah informasi hari ini. Belum sempat sempurna aku memegang ponsel, tiba-tiba aku ditabrak oleh seorang lelaki jangkung yang berjalan buru-buru. Ponselku jatuh, langkahnya terhenti.
     "Maaf mbak, saya benar-benar gk sengaja" lelaki itu segera mengambil ponselku, memeriksanya, memastikan tidak ada yang rusak.
     Sedangkan aku sibuk menatap wajahnya. Wajah itu benar-benar tidak asing, aku tentu masih sangat mengingatnya. Benar-benar mengingatnya. Aku tak pernah melupakan setitik pun tentangnya. Dan kisah ini dimulai sejak pertemuanku dengan lelaki jangkung dihadapanku ini.
     "Kiya" Lelaki itu menyebut namaku terlebih dahulu ketika menatap wajahku. Aku memastikan dia adalah orangnya. Otakku otomatis membongkar semua ingatan tentangnya. Aku tentu masih menyimpannya dengan rapi.
     "Abian" Lelaki itu juga nampak terkejut. Ia segera mengalihkan pandangan, mengatur sikapnya, aku pun demikian.
     "Apa kabar Ki?" tanyanya patah-patah.
     "Baik, baik" Sungguh, aku belum siap untuk memulai percakapan apapun dengannya. Aku memperbaiki kerudung yang sudah rapi, aku tak kuasa.
     "Alhamdulillah" Abian melemparkan senyum tanggung.
     "kamu apa kabar?" aku balik bertanya.
     "Baik, tentu aku baik"
Aku mengangguk, mengiyakan.
     "Kalau begitu, aku duluan ya. Ada janji..." Abian kaku menunjuk ke arah belakang. Aku mengangguk, memilih tidak banyak bicara. Mungkin itu adalah sikap terbaik. Abian beberapa kali kembali melihatku, sampai akhirnya menghilang di kelokan lorong rumah sakit.
     Aku kembali duduk. Ini adalah kejadian yang tak pernah ku bayangkan. Kembali bertemu dengannya dan obrolan basa basi tadi. Aku merasa detak jantungku berubah semenjak pertemuan itu.
     Aku meremas jemariku yang berkeringat, terasa dingin. Masih tak habis pikir, aku bisa kembali bertemu dengannya. Bagaimana mungkin?
     Apa yang sedang dilakukan Abian di rumah sakit malam-malam begini? Mengapa ia buru-buru? Apa dia sakit? Ah, Kepada siapa aku harus bertanya?.
     "Ki..." Mas Leo tiba-tiba sudah berada di hadapanku. "Maaf ya udah buat kamu nunggu..." segaris senyuman mas Leo meruntuhkan gundahku. "Santai aja mas..." aku membalas senyumnya.
     "Kita kesana sebentar yuk" Mas Leo menunjuk ke lantai dua. Ekspresi wajahku bertanya.
     "Ngopi, mau kan?" mas Leo seolah menjawab ekspresiku. Aku mengangguk tersenyum, mengiyakan permintaannya.
Kami berjalan beriringan, hanya saja sedikit berjarak. Sudah pukul setengah delapan, rumah sakit masih terlihat sibuk. Beberapa dokter terlihat berlari-lari kecil, perawat-perawat sibuk membawa obat-obatan. Beberapa keluarga pasien terlihat lelah, mengantuk. Mas Leo beberapa kali mengangguk sopan ke beberapa dokter yang di kenalnya. Sedangkan aku jujur saja masih memikirkan pertemuanku dengan Abian beberapa menit yang lalu.
     Disepanjang jalan, mas Leo tak berbicara sepatah kata pun. Sedangkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku sungguh-sungguh tak habis pikir pertemuan itu akhirnya terjadi.
     Tak lama, langkah kami sampai disebuah cafetaria, mas Leo memilih tempat duduk, sopan menyuruhku duduk. Semua meja telah penuh, sebagian besar pengunjung adalah dokter atau perawat. Sebagian besar sedang melepas lelah setelah bekerja seharian.
     "Kiki gak sibuk kan?" mas Leo melampirkan jas putihnya di kursi.
     "Santai mas"
     "Gimana anak-anak?"
     "Baik mas, penuh mimpi-mimpi" jawabku.
     "Oiya? Aku juga mau hidup diantara mimpi-mimpi. Apalagi membantu mewujudkannya"
     Dua gelas coffee pesanan mas Leo datang, kami mengembangkan senyum ramah.
     "Aku malah lebih sering menyampaikan hal-hal yang membuat mereka tak bisa bermimpi" mas Leo menyeruput kopinya.
     "Bukan, sebaliknya mas sedang membantu mereka mewujudkan mimpi" aku tersenyum simpul.
     "Kiya, siapa yang membuat kita bertemu?"
     "Tuhan mas..." Aku tersenyum. Jawaban yang memang asal saja, tapi hakikatnya datang dari dalam hati.
     "Apa kau pernah meminta pada Tuhanmu untuk bertemu dengan ku?"
    "Gak mas..." aku menjawab singkat.
     "Lantas, mengapa Tuhan mempertemukan kita?"
    "Karena ada sebuah pesan yang akan disampaikan dari setiap peristiwa mas. Kita lihat saja nanti..."
     "Aku ingin mengenal Tuhanmu, Kiya" mas Leo menatapku serius.
     Aku balik menatapnya tanpa berkedip.
     "Aku benar-benar ingin seperti kamu, aku ingin ikut menyembah Tuhanmu, Kiya"  tambahnya.
     Aku menelan ludah.
     "Bercandanya yang lain saja ya mas" Aku menyeruput kopi hangatku.
     "Mas tidak sedang bercanda, Ki" Mas Leo menatapku serius. 
     "Mas, ini bukan perkara main-main, sebaiknya mas berfikir matang-matang" Aku membalas tatapannya.
     "Aku sudah banyak mempelajari Islam semenjak bertemu kamu, Ki"
     Aku tertegun.
     "Aku ingin bersyahadat" Mas Leo berkata mantap.
     Aku semakin terkejut. Mas Leo tak permah menunjukkan niatnya untuk menjadi seorang muallaf. Kenapa tiba-tiba dia berkata demikian? Apa aku hanya mimpi. Aku tak bisa berkata-kata, otak dan perasaanku sedang campur aduk.
     "Baiklah, aku akan membantu mas" Aku tersenyum tulus.
     Mas Leo membalas senyumku, wajahnya berseri-seri.
     Setiap orang yang melihat wajah mas Leo pasti dapat menebak kalau dia adalah seorang Chines. Wajahnya sangat kentara. Hanya saja mas Leo memang tidak terlalu fanatik dengan agamanya. Aku tak pernah mendapatinya berdo'a, atau melaksanakan ritual yang berhubungan dengan agama. Dalam pembicaraan apapun, mas Leo tak pernah melibatkan Tuhan atau ajaran agama lainnya.
***
     Langkahku cepat menuju mobil. Membuka pintu, langsung pergi meninggalkan rumah sakit dan semua yang terjadi secara singkat malam ini. Aku tak pernah menyangka hal ini akan terjadi kepadaku.
     Jujur saja, kejadian yang paling membuat otakku bekerja keras adalah tentang pertemuanku yang amat sangat singkat dengan Abian tadi. Bagaimana mungkin diantara banyak manusia yang berada disana, aku harus bertabrakan dengannya. Ah, aku tidak punya ide untuk menjawab pertanyaanku sendiri.
     5 tahun yang lalu. Aku sengaja pergi jauh darinya. Sejauh mungkin. Hingga akhirnya aku tiba di Kota ini. Kota yang akhirnya membuatku nyaman dan bersahabat.
     Abian adalah seseorang yang membuatku pergi. Aku tak pernah menyangka, aku telah membuat luka ku sendiri. Segala luka ini, ku kira dia lah obatnya, yang nyatanya tak akan mampu menyembuhkanku.
     Aku dan Abian bersahabat sejak SMA, berlanjut hingga kuliah, bahkan sampai setelah menamatkan S1. Aku tak pernah menyalahkannya atas semua peristiwa, aku hanya menyalahkan hatiku sendiri.
     Aku mengusap wajah. Rasanya pertemuan tadi seperti mimpi. Berlalu begitu saja. Cepat sekali.
     Aku meraba pinggiran ponselku yang ternyata sedikit retak. Aku mengusap goresan itu berkali-kali. Ini adalah bukti bahwa pertemuan tadi adalah nyata.
     Pukul 21.00. Aku memarkirkan mobil di depan rumah. Mematikan mesin kemudian menekan tombol kunci. Aku masuk perlahan, mengucap salam lembut saja.
     "Assalamu'alaykum" Aku membuka pintu yang tidak dikunci. "Kak Kiya..." Beberapa anak langsung menyambut kepulanganku, memelukku. Aku mengecup mereka bergantian. Anak-anak ini tentu bukan anakku, lima tahun terakhir aku mengabdikan diri di sebuah rumah singgah. Aku menampung anak-anak yang kurang beruntung. Siapa saja. Aku bahagia.
     Ada sekitar 15 anak yang tinggal di rumah ini. Aku dan 2 orang temanku mengelolanya dibawah komunitas sosial. Kami hidup bahagia, tanpa masalah.
     "Kakak gak bawa kue?" ujar Hafiz, anak paling kecil dirumah ini, usianya 4 tahun. Setiap pulang, biasanya aku membawa beberapa potong kue untuk anak-anak. "Aduh, maaf ya Hafiz, Kak Kiya lupa bawa kue hari ini. Maaf ya sayang" Aku mengecup keningnya, memujuk. Hafiz terlihat kecewa.
     "Tenang, di hari libur kak Kiya pasti bawa Hafiz ke toko kue, Hafiz boleh ambil kue yang hafiz suka" Hafiz tertawa, gigi kecilnya terlihat.
     Kami mengelola sebuah toko kue untuk biaya hidup anak-anak di rumah singgah. Toko kue itu tak disangka-sangka menjadi besar, dan sekarang sudah memiliki cabang di kota lain. Keuntungannya lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup kami, bahkan juga cukup untuk bersedekah. Aku berjanji akan membawa anak-anak untuk belajar membuat kue di toko.
     Aku melanjutkan langkah menuju kamar, merebahkan badan. Pikiranku kembali ke pertemuan singkat di rumah sakit tadi. Peristiwa itu cukup menyita seluruh kinerja otakku. Kepada siapa aku harus bertanya tentang Abian.
     Pikiranku kembali ke masa-masa itu.
     Aku tak pernah melupakan sesenti pun ingatan tentang Abian. Sungguh, Abian hanya laki-laki biasa, tak punya pesona, kecuali otak encernya di bidang eksakta. Selebihnya Abian sungguh hanya seorang pemuda yang biasa saja.
     Tapi aku mungkin adalah orang yang paling banyak menghabiskan wktu dengannya. Tak pernah mengikrarkan untuk bersahabat, kami tak pernah mengikat diri sebagai saudara, tapi kami melakukan banyak hal bersama. Beberapa teman malah mengejekku karena terlalu sering bersamanya.
     Abian benar-benar laki-laki biasa. Terlahir dari keluarga yang amat sangat biasa. Ibunya bahkan telah meninggal sejak melahirkan adiknya. Sedangkan ayahnya tega meninggalkannya untuk menikah lagi dengan wanita idaman. Abian kecil harus merasakan hidup tak menentu hingga akhirnya dipungut oleh adik ibunya.
     Sayang, adik ayahnya juga tak begitu berkecukupan. Pamannya hanya bekerja sebagai karyawan perkebunan dengan gaji pas-pasan. Abian kecil tumbuh mandiri, biasa hidup serba kekurangan. Kemeja putihnya mengusam, celana abu-abunya kian memudar.
     Tapi Abian adalah anak yang kuat. Prestasinya luar biasa. Beberapa kali memenangkan olimpiade fisika, kimia dan matematika. Piala dan piagam berderet dengan rapi. Abian membuat bangga paman dan bibinya.
     Walaupun hidup serba kekurangan, Abian tetap bersyukur kepada Rabb-nya. Abian tak pernah melalaikan shalatnya. Sabar, Abian adalah sosok yang penyabar.
     Aku lebih dari tau tentang kehidupannya. Aku tau sekali sepatu yang dipakainya untuk kuliah tak pernah berganti. Sepatu itu sudah dijahit berkali-kali. Begitu juga dengan pakaiannya. Tapi Abian tak pernah lupa bersyukur.
     Aku tetap berteman dengannya bagaimanapun keadaannya. Setiap hari kami menghabiskan waktu bersama. Berkeliling kota, menertawakan hal-hal lucu bersama, bermimpi setinggi-tingginya. Aku menemukan sesuatu yang spesial pada Abian. Hatinya tulus dan bersih. Aku tau, dia adalah lelaki terbaik.
     Hingga pada suatu titik, saat hujan deras mengguyur kota tempat kami melanjutkan pendidikan, kami memutuskan pulang dibawah derai hujan. Dengan motor bebek tua miliknya.
     "Makasih ya Abi" aku mengacak rambutnya seperti anak kecil.
     "Aku bukan Abi kamu Ki..." Abian protes. Sejak dulu, dia memang tak pernah suka dipanggil Abi. Aku nyengir bahagia.
     "Ya udah, pulang sana, mandi, nanti masuk angin"
     "Oke" Abian berlalu. Aku menatapnya hingga hilang di kelokan jalan.
     "Dari mana mbak?" Naya menyapaku begitu aku berbalik.
     "Dari kampus Nay"
     "Itu tadi mas Abian ya mbak?"
Aku mengangguk.
     "Ternyata dia manis juga ya mbak" Naya malu-malu memuji Abian.
     Aku terkejut. Ini memang benar-benar sebuah kejutan.
     Naya adalah adik kos ku, kami akrab seperti adik kandung. Naya adalah wanita yang luar biasa. Lahir dari keluarga yang islami, seluruh kakaknya adalah hafiz Qur'an, dan sebagian besar adalah seorang Ustadz. Wajahnya jangan ditanya, cantik luar biasa, matanya bersinar, cumloude, dan yang paling penting adalah sholehah. Naya adalah gadis sholehah.
     Ini adalah kali pertama Naya berkomentar tentang lelaki kepadaku. Aku tertegun, menatapnya dalam-dalam. "Kamu suka sama mas Abian?" aku mendekatinya.
     Wajah Naya memerah, malu. Itu adalah jawaban bagiku.
     Aku tak pernah menyangka, Naya benar-benar telah jatuh cinta kepada Abian. Aku memang selalu menceritakan sosok Abian yang sabar, dan tentang kemampuannya yang mempesona di bidang eksakta.
     Aku mengenalkan Naya kepada Abian. Naya malu-malu menjawab segala pertanyaan Abian. Sejak hari itu, topik pembicaraan kami adalah tentang Naya. Hingga akhirnya aku merasakan sesuatu. Apakah aku cemburu?
     Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam hati. Ada sesuatu yang membuatku tidak lagi bahagia ketika bersama Abian. Naya telah mengubah Abian-ku.
     Hingga pada akhirnya, Naya lebih tau segala sesuatu tentang Abian. Aku merasa sedang tidak baik-baik saja. Abian kini tidak lagi milikku. Kini Naya banyak tau tentang Abian, dan Naya malah menceritakan hal-hal penting tentang Abian kepadaku.
     Aku tidak lagi banyak menghabiskan waktu bersama Abian. Semua berubah tiba-tiba.
     "Kamu itu sebenarnya menyukai Abian, Ki" salah seorang temanku menasehati. Aku memikirkan nasehat itu berhari-hari berikutnya. Cinta ternyata dapat membunuh sebuah persahabatan.
     Keadaan itu terus berlanjut hingga kami menyelesaikan kuliah. Aku lebih dulu menyelesaikan tugas akhir, aku merasa Abian tak perlu lagi ditunggu. Aku wisuda terlebih dahulu.
     "Selamat ya Ki" Abian datang hampir terlambat, aku hampir saja putus asa menunggunya dan memutuskan pulang bersama ayah dan ibu. Aku tersenyum. Terimakasih.
     "Jangan dibuka sekarang ya"
     Aku mengangguk. Aku membukanya tepat saat mobil mulai berjalan meninggalkannya.
     Sebuah kotak kecil, dengan pita merah. Aku sudah menduga, isinya adalah jam tangan. Lebih tepat ini adalah jam tanganku yang rusak saat hujan-hujanan bersamanya. Dibalik jam, terselip sepotong kertas dengan tulisan tangan khas Abian. "Aku tau, seumur hidup aku tak pernah memberi hadiah untukmu. Ini adalah hadiah pertamaku, walaupun hanya jam rusak milikmu yang ku perbaiki dengan tanganku sendiri". Aku tersenyum sekaligus menangis. Semenjak aku merasakan cemburu atas kedekatannya dengan Naya, aku memang jarang sekali menghabiskan waktu dengannya. Aku tak ingin mendengarnya memuji Naya. Aku cemburu.
     Aku memasukkan jam tangan beserta kotaknya kedalam tas. Tak pernah memakainya hingga hari ini.
     Aku mengambil kotak jam tangan itu diatas lemari. Usang dan penuh debu. Aku membukanya, jam tangan itu tak lagi berdetik, mati. Kertas itu kini telah pudar.
     Setelah menyelesaikan pendidikan, aku tak lagi berhubungan dengan Abian. Hingga tepat pada hari sidang skripsinya, Abian mendapatkan undangan interview disebuah perusahaan besar.
     "Besok kita ketemu ya" sebuah pesan singkat mendarat di ponselku dari Abian.
     Aku tepat waktu menunggu Abian disudut cafe dekat kampus. Abian datang tergesa-gesa.
     "Aku diterima Ki, aku diterima..." Abian bersemangat menyampaikan berita baik itu. Aku tersenyum, sungguh-sungguh ikut bahagia. "Selamat ya..." ucapku bersemangat. "Terimakasih Ki, terimakasih, semua ini berkat usaha kamu juga" Abian menatapku serius. Aku tau Abian tak akan melupakan jasa seseorang dalam hidupnya. Aku tentu masih mengingat perjuangan kami menyiapkan semua berkas untuk melamar di perusahaan itu bahkan saat kami berdua belum lulus kuliah. Aku ingat betul usaha kami mengumpulkan sertifikat milik Abian, dan beberapa kali mengumpulkan uang jajan demi ikut seminar dan olimpiade fisika untuk Abian. Aku yakin Abian tak akan melupakannya walau sesenti. Aku tersenyum.
     Pertemuan itu akhirnya usai. Belum hilang bahagiaku tentang Abian, teleponku berdering, Naya menelepon.
     "Halo Nay..."
     "Mas Abian diterima kerja mbak..." Naya di ujung telepon terdengar amat sangat bahagia.
     Sedangkan aku langsung mengubah ekspresi, pura-pura tidak tau.
     "Oh ya? Kapan Abian ngasih tau Nay?"
     "Tadi pagi-pagi mbak, habis shalat subuh. Mas Abian telpon, menyampaikan kabar itu mbak. Katanya dapat infonya tadi malam" Naya menjelaskan.
     Aku menelan ludah. Ku kira aku adalah orang pertama. Ternyata aku bisa jadi adalah yang terakhir.
     "Iya Nay, Abian memang sudah diterima. Sudah ya Nay, mbak lagi di jalan ini". Aku mematikan telepon. Kecewaku tak terbilang. Remuk sudah seluruh hatiku.
     Abian telah berubah. Tidak lagi seperti Abian yang dulu. Pakaiannya mentereng, sepatunya mengkilap, tubuh jangkungnya kini terlihat lebih mempesona. Abianku telah berubah.
     Abian menelepon, mengundangku untuk hadir di acara wisudanya. Aku mengiyakan. Namun kecewaku belum hilang seutuhnya, cemburuku merajai hati. Aku memutuskan tak hadir di acara wisudanya. Aku tak bisa mengatakan, betapa aku telah merasakan cemburu yang hebat.
***
     Kamarku diketuk, aku meletakkan kotak jam dengan pita merah di tempat tidur.
     "Kiya... Udah pulang, kok gak ada suaranya?" Rosi rekanku yang juga mengabdi dirumah singgah ini menghampiriku.
     "Iya, udah ini ros" aku tersenyum kaku.
     "Pintu depan jangan lupa di kunci ya"
     "oke" ujarku.
     Aku kembali ke posisiku, menyudahi lamunan. Segera menyimpan kotak jam dengan pita merah.
     Aku melangkah kedepan, berniat memastikan pagar telah dikunci. Tapi aku malah menatap mobil putihku di halaman. Aku menjadi teringat banyak hal tentang Abian.
     Abian yang sukses dua bulan kemudian menghampiriku. Tubuh jangkungnya kini jauh lebih berisi, wajahnya bersih, pakaiannya rapi. Terlebih-lebih kini dia telah membeli mobil baru.
     Malam itu semua kecewa telah usai. Aku kembali menemukan Abianku dalam jiwa yang baru. Sepatah katapun kami tak membahas tentang Naya. Kami kembali seperti masa-masa lampau, bahagia, tertawa lepas, mengenang masa lalu.
     Aku malam itu seperti mengakui betapa aku memang telah jatuh hati kepadanya sejak bertahun-tahun yang lalu. Bukankah pengorbanan adalah bentuk cinta yang sesungguhnya?
     Aku banyak melewati hari-hari bersamanya, bertukar fikiran, dan mengorbankan apa yang bisa ku korbankan, hingga akhirnya Abian menjadi seperti ini. Aku merasa memilikinya malam itu.
     Kami kembali bersahabat seperti sedia kala. Naya tak pernah hinggap lagi dalam obrolan kami. Aku menikmatinya, aku menanti saat-saat indah itu.
     Hingga aku sampai di titik terpenting dalam kisah ini. Abian datang berkunjung ke rumahku. Bersamaan dengan hujan deras yang mengguyur kota kami kala itu. Hujan begitu deras, terdengar bising dari atap rumah. Abian tertahan tak dapat pulang. Mama menyiapkan makan siang, sup daging beserta menu lainnya. Ayah dan ibu tentu sangat mengenal Abian. Kami telah banyak mengukir cerita bersama ayah dan ibu. Siang itu, dibawah hujan deras dan udara yang dingin, kami makan siang bersama. Menikmati sup yang menghangatkan tubuh seketika. Aku bahagia menikmati saat-saat bahagia. Denting sendok dan garpu membuat ramai meja makan, derai tawa dan obrolan hangat kami membuat meja makan semakin bermakna. Beberapa kali ayah mencandai Abian kadang kala mencandaiku juga. Itu adalah makan siang terbaikku.
     Setelah maka, aku dan Abian duduk berdua di teras belakang, menikmati hujan. Halaman rumahku sudah dipenuhi genangan air. Rintik hujan terlihat cantik. Abian disampingku, sedangkan aku duduk dua bangku darinya. Senyap, aku menatap hujan.
     "Ki..." Abian memanggilku, dua tiga kali. Aku mungkin terlalu fokus menatap hujan.
     "Iya" aku menatap wajah Abian. Aku hafal setiap lekuk wajahnya. Matanya menatapku tanpa berkedip.
     "Makasih ya, untuk makan siang dan semua canda tawa tadi"
     "Kaya baru kenal aja..." Aku mengukir senyum.
     "Sup ibu kamu enak banget" Abian tertawa,  aku juga. Tentu, masakan ibu memang tidak ada tandingannya.
     "Aku jadi ingin segera menikah" Abian menambahkan kalimatnya.
     "Menikah saja, kalau sudah mampu" Aku tersenyum.
     "Apa aku harus segera melamar Naya?" Abian menatapku serius, amat sangat serius. Tatapan kami bertemu, aku yakin wajahku telah berubah. Aku sungguh tak menyangka, akhirnya nama itu kembali hadir diantara obrolan kami.
     "Tentu, jika kau menginginkannya. Segera lamar, jangan ditunda" Aku tersenyum getir. Segera mengalihkan pandangan.
     "Bagaimana menurutmu?" Abian menatapku kembali.
     "Tentu itu keputusan yang baik. Dia wanita sholehah, dia adalah yang terbaik untukmu" Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali menatap hujan.
     "Apa kau setuju?" tanya nya lagi.
     "Aku setuju, Aku setuju" Aku berbicara sedikit keras, kemudian aku diam, Abian juga terdiam dengan jawabanku. Kami terdiam seiring hujan yang mereda.
      "Ya sudah, kau pulanglah. Kau terlalu lama disini, pamanmu mungkin sudah khawatir" Aku berdiri dari dudukku. Merapikan kerudung yang memang sudah rapi.
     "Aku sudah mengabarinya tadi" Abian menjawab kaku.
     "Lebih baik pulang, mumpung hujan sudah reda" Aku melangkah masuk ke dalam rumah.
     "Kau pulanglah, aku merasa tidak enak badan. Hati-hati" Aku melangkah masuk ke dalam kamar, mengunci pintu rapat-rapat. Membiarkannya berlalu. Itu adalah terkahir kali pertemuan kami.
     Aku merasakan kecewa yang amat sangat, tak terbilang. Aku memutuskan pergi untuk melanjutkan pendidikan. Ayah dan ibu meg-iya-kan permintaanku.
     Esok harinya, ayah mengurus segala keperluanku. Ayah sibuk menelepon kerabatku di luar kota, bilang kalau aku akan menetap dan melanjutkan pendidikan disana. Segala keperluan dipersiapkan. Ibu mengerti sekali keadaanku, menghantarkanku ke bandara tiga hari setelah hujan itu akhirnya benar-benar reda.
***
     Malam itu langit menjadi sendu. Rasanya aku tak bisa menguasai diriku sendiri. Aku menangis terisak. Ini adalah jawaban dari sebuah perasaan yang tak pernah disadari. Aku hanya cemburu. Tidak lebih.
     Tapi aku akhirnya menyerah, aku memilih pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Abian setelah mendengar keputusannya memilih Naya. Aku terbang ke luar kota melanjutkan pendidikan, tanpa diketahui oleh Abian. Aku kalah.
     "Ki... Mobil kamu gak akan jalan sendiri kalau diliatin begitu" Gea menghampiriku. Aku tersenyum tersadar dari lamunan.
     "kamu ngelamunin apa sih?"
Aku menggeleng. Gea mencubit pipiku. Kami tertawa.
     Pukul 22.00, aku mengunci kamar, mengistirahatkan tubuh dan fikiran yang lelah.
      Aku mematikan lampu kamar, bersiap memejamkan mata, dan tiba-tiba teleponku berdering.
     "Halo"
     "Halo..."
     "Mbak Kiya, ini Naya mbak..." aku terkejut, menjauhkan telepon dari kuping. Mengapa mereka kembali hadir ke hidupku?.
***

Pada Suatu KetikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang