Menerima masa lalu dan semua pemerannya

16 2 0
                                    

Kepada siapa hati berharap, kecuali pada yang menciptakannya. Aku percaya apapun yang terjadi dalam hidup adalah yang terbaik untukku. Aku bersiap atas apa saja yang telah kupilih. Aku bersiap atas semua resikonya.

Selamat pagi. Aku memulai pagiku dengan membangunkan anak-anak dirumah singgah. Mereka sebenarnya sudah terbangun sejak tadi, hanya saja masih malas bergerak sebelum mendengar suara emasku. "Selamat pagi, Semangat pagi. Siapa yang mau mendapat rizky yang paling banyak?" suaraku menggema di seisi rumah. Anak-anak bersemangat, bangun mengambil handuk, mengucek mata. Aku tersenyum, mereka benar-benar menggemaskan.

"Selamat pagi..." Gea langsung menyambutku begitu aku masuk ke dapur. Aroma masakannya benar-benar mengoda. "Tadi malam ada yang galau kayanya, berdiri di depan mobil, melamun, sendirian" Gea pura-pura tidak melihatku. "Pantesan tadi malam, pulang-pulang langsung masuk kamar" Rosi ikut berkomentar. Lantas kami bertiga tertawa. Aku melempar bawang ke Gea dan Rosi.

Dalam hidup, kehadiran sahabat memang sangat penting. Mereka adalah tempatku pulang, membagi cerita, berbagi rizky, berbagi apa saja yang bisa dibagi. Aku senang sekali bisa mengenal Gea, wanita keturunan Minang ini memiliki wajah yang sangat ayu, kemampuan memasaknya jangan ditanya. Gea terdampar di kota ini setelah kabur dari rumah dan malah bertemu denganku. Apapun masalalunya yang penting aku senang berteman dengannya.

Satu lagi adalah Rosi, wanita keturunan batak yang lama menetap di tanah jawa. Sukunya batak, hanya saja dia lebih fasih berbahasa jawa dari pada bahasa batak. Rosi adalah wanita yang hebat. Seorang magister hukum, hanya saja mempunyai hobi di bidang pertanian. Rosi selalu menanam apa saja di perkarangan rumah singgah. Sekarang rumah singgah tampak hijau, menyejukkan mata.

Sedangkan aku, kalau mereka bilang aku ini seperti guru TK, karena aku selalu bisa menenangkan anak-anak. Aku Zakiyah, seorang magister pendidikan, seorang pengangguran. Sama seperti Rosi dan Gea, aku tidak memiliki pekerjaan tetap. Kami adalah seorang relawan. Hidup kami terpenuhi dari keuntungan toko kue yang kami bangun sejak 4 tahun yang lalu. Sekarang kami sedang merencanakan toko baju untuk menambah penghasilan di rumah singgah.

Aku tak pernah merencanakan hidup seperti ini. Menikmati hidup diantara anak-anak yang penuh mimpi, memberi harapan baru kepada siapapun yang singgah. Aku bahagia, kehidupanku lebih dari cukup. Aku tak pernah merasa kekurangan. Semua terasa baik-baik saja. Tapi, hidup memang tak selamanya seperti yang kita inginkan.

***

Pagi berjalan sebagaimana biasanya, anak-anak berganti pakaian, sarapan pagi dengan tertib, kemudian satu persatu berangkat ke sekolah.

Rumah menjadi sepi. Menyisakan aku, Rosi dan Gea. Kami duduk bertiga dimeja makan. Memakan nasi goreng buatan Gea. Rosi lahap menyuap nasi.

"Lusa mas Leo bersyahadat" Aku asal saja memulai pembicaraan. Rosi hampir saja menyemburkan nasi goreng yang baru disuapnya. Gea melotot, bola matanya nyaris keluar mendengar ucapanku. "Apa?" Gea penasaran. Rosi mendekat padaku. "Iya, mas Leo mau masuk Islam" aku menjelaskan. "Hidayah itu memang gak disangka-sangka ya, Ki" Gea melanjutkan makan.

Aku melanjutkan hari menuju toko kue bersama Gea. Memeriksa beberapa laporan penjualan, dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil lainnya. Semua masih terkendali. Kami melanjutkan menuju ruko yang kami kontrak untuk membuka sebuah toko baju. Memastikan semua berjalan sesuai dengan rencana.

Kami kembali ke rumah menjelang dzuhur. Rosi langsung memeriksa beberapa tanaman yang bisa dipindahkan untuk menghiasi toko baju yang akan dibuka. Sementara aku tiba-tiba kembali memikirkan hal-hal aneh yang terjadi kemarin malam.

Malam tadi, aku membiarkan Naya memanggil namaku di ujung telepon. Aku memastikan, dia memang Naya, seseorang yang pernah amat sangat membuatku cemburu. Ternyata pergi tak membuatku menerima.

Pada Suatu KetikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang