Prelude

1.6K 239 47
                                    


Berita kecelakaan itu pasti sudah digoreng wartawan dan disajikan panas-panas secara online. Di sini, Ayah Bastian malah belum mendapatkan update.

Danu berdiri di luar pagar, gelisah. Ia yang seharusnya memberikan update itu begitu pekerjaannya beres. Tapi rasanya tidak sopan membangunkan Ayah Bastian di pagi buta di hari libur. Danu ingat teguran lembut Ayah Bastian bulan lalu, karena mengganggunya di rumah untuk hal-hal sepele.

Kecelakaan itu bukan hal sepele. Walau mungkin laporannya tidak perlu disegerakan. Jadi, setelah tiga jam membuang waktu di kafe-24-jam terdekat, Danu baru merasa pantas untuk datang ke sini. Tetap saja, keraguan menghentikannya di depan pagar. Ia melihat-lihat situasi dulu. Sabtu pagi, lingkungan rumah Ayah Bastian masih sepi. Waktu ia mengintip tadi, tampak lelaki itu duduk dengan putrinya di lantai joglo. Sepagi ini, Ayah Bastian sudah mengajari Alysa membuat anyaman kulit ketupat. Janur kuning dan hijau tersebar di antara mereka. Celotehan Alysa terdengar lantang. Gadis kecil itu mulai frustrasi karena kulit ketupatnya tidak bisa kotak.

Danu menguatkan hati. Semburan napasnya terasa panas pada muka yang lembap oleh keringat. Hasil kerjanya harus dilaporkan sekarang agar ia bisa move on ke tugas berikutnya. Ya, ia dikejar target. Sebulan harus bisa menyelesaikan minimal empat tugas. Tapi tiga minggu belakangan, ia hanya berkutat dengan satu pekerjaan itu. Walau akhirnya berhasil, rasanya kurang sempurna, karena mulur dari tenggat yang dibuatnya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar gelak Ayah Bastian, disusul bujukan jenakanya sampai Alysa ikut tertawa.

Danu maju, menjulurkan leher ke pintu pagar, untuk mengintip lagi ke arah joglo. Kucir rambutnya luruh ke pipi, mengejutkan diri sendiri. Seperti peringatan untuk tidak melewati batas. Buru-buru, ia mundur lagi. Ayah sebetulnya lebih suka urusan bisnis dibicarakan di pabrik. Sekali ini saja, mungkin tidak apa-apa, mengingat korban kecelakaan masih kerabat Ayah Bastian. Danu menyemburkan napas lagi. Berapa banyak ketupat yang harus mereka buat?

Tiba-tiba ponsel di saku jaketnya bergetar. Dari Ayah Bastian. Benda itu nyaris terlepas dari tangannya ketika ia buru-buru menerima panggilan.

"Danu, apa kabar?" Ayah Bastian terdengar riang.

Danu mundur beberapa langkah. Jantungnya berdegup liar. Cerita-cerita tentang keriangan dan keramahan Ayah Bastian terbukti bukan candaan, dan ia tidak bisa membatalkan tindakannya. Danu mengibaskan rambut dan berdeham. "Aku baik-baik saja, Ayah. Maaf, meng—"

Tawa renyah Ayah Bastian menghentikannya. "Syukurlah. Untuk karyawan baru, kamu memang harus banyak belajar dan menguji batas-batas. Aku maklum sekali. Itu sebabnya aku punya backup. Felix sudah melaporkan pekerjaanmu. Nilai 7, tidak buruk. Kamu akan dapat nilai sempurna 10 kalau tepat waktu. Sekarang, di mana bayi Asa? Kenapa tidak kamu bawa dia ke sini? Alysa sudah terlalu lama menunggu calon adiknya."

Danu menelan ludah. Kebanggaannya mendapatkan nilai 7 hilang secepat munculnya. "Asa ... dia ... tidak ada di mobil. Saya kira, dia bukan ...."

"Sudah kuduga," kata Ayah Bastian tertawa. "Bagaimana dengan Karisma?"

Danu mengepalkan tangannya yang gemetar. Mengurus Asa dan Karisma tidak pernah jadi tugasnya. Ia hanya diminta memastikan status kedua anak lelaki itu segera menjadi yatim piatu. Sudah dilaksanakan dengan baik. Kenapa mereka mendadak dijadikan bebannya, dan ia tidak bisa memprotes?

Ayah Bastian masih terkekeh geli. "Kamu jadi punya pekerjaan dobel setelah ini. Secepatnya bawa Asa kemari. Kamu tahu sendiri, bagaimana kalau anak yatim piatu tidak punya pelindung. Soal Karisma ... aku berubah pikiran. Daripada dia dikirim ke luar dan ada risiko tidak betah, kamu antarkan saja dia ke Guru Edwan. Aku percaya kamu, Danu."

Salam diucapkan, hubungan diputuskan.

Danu segera berbalik, berlari ke tempat sepeda motornya diparkir. Kata-kata Ayah Bastian sangat jelas. Meski baru dua bulan bekerja untuknya, Danu tahu cara menginterpretasikan:

Anak yatim piatu tidak punya pelindung = bukan Asa, tapi dirinya kalau gagal lagi.

Berubah pikiran = Ayah Bastian masih berbaik hati memberi Danu kesempatan kedua.

Dikirim ke luar = ke mana pun yang menjamin tidak jadi masalah di kemudian hari.

Tidak betah = lolos dari tangan Danu.

Guru Edwan = orang yang lebih berpengalaman dalam menundukkan anak lelaki.

Aku percaya kamu, Danu = sebaiknya kamu buktikan diri, atau ....

Danu membawa Kawasaki Ninja-nya menyelip di antara lalu lintas kota Semarang. Sengaja ia menuju jalan protokol yang padat hanya untuk memastikan sekali lagi. Pukul 07.15, di Simpanglima, sepertinya evakuasi tiga mobil yang terlibat kecelakaan beruntun belum selesai. Terjadi dini hari tadi, pukul 03.40. Mobil pasangan dokter Reifandiaz ditabrak dari depan oleh mobil van, lalu dari samping oleh jip. Keduanya tewas di tempat. Para penabrak dengan mudah diamankan polisi. Danu sudah menerima konfirmasinya dari orang-orang dalam.

Soal para penabrak itu ... bibir Danu mencebik. Separuh gajinya bulan lalu habis hanya untuk membelikan orang-orang bebal itu minuman. Dan separuh lagi akan segera berpindah tangan hanya untuk menjamin cerita yang beredar sesuai skenarionya.

Kronologi kecelakaan mungkin sudah disebarkan online, dalam berita-berita spekulasi dengan bumbu drama yang mengaburkan fakta. Serahkan itu pada ahlinya. Ia sendiri harus berfokus dan membuktikan diri pada tugas selanjutnya. Dipacunya Ninja menuju pinggiran kota. Mengunjungi Karisma dan Asa yang mungkin masih lelap di akhir pekan ini. Danu berpikir sepanjang jalan ke rumah duka. Bagaimana cara terbaik memberitahu anak lelaki berusia 12 dan 1 tahun bahwa hari ini, mereka harus mulai berduka?


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kelana, Lelaki Seribu CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang