01.

284 20 8
                                    

Alin berjalan cepat. Kekesalan di raut wajahnya terlihat dengan begitu kentara. Mengingat ucapan Nakula membuatnya geram setengah mati. Mengatakan bahwa dirinya hanya sebongkah batu kerikil.

"Memangnya kenapa kalau aku batu kerikil. Menyebalkan sekali si mas - mas Nala itu. Bagaimana bisa sih Kya mengenal pria aneh itu." gumam Alin sembari berjalan kesal menuju lift.

Saat pintu lift terbuka Ia langsung masuk. Alin menghela nafas dalam. Sesaat pintu akan tertutup sebuah tangan menghalangi lajunya pintu tersebut. Alin menatap sang pemilik tangan. Seorang pria berdiri sembari mengukir senyum di wajahnya. Pria itu masuk dan berdiri tepat di sisinya. Pria yang Ia lihat saat di hunian Sakya dan Nakula.

"Hay."

Alin melirik sekilas tanpa memperdulikan sapaan pria itu.

"Cemberut mulu. Jelek banget loh wajahnya kalau gitu."

Alin diam. Ia tak menggubris ucapan pria itu.

"Diajak ngomong diam aja sih. Gak baik loh nyuekin orang yang lagi ngajak ngobrol. Nanti bisa merindukan orang tersebut kalau sudah tidak melihatnya dari jarak dekat."

Alin menarik nafasnya cukup dalam berharap cepat keluar dari tempat itu. Ia sudah sangat kesal pada satu orang dan haruskah Ia menambah kekesalannya pada orang lain lagi.

"Kau... teman dekat Sakya kan?"

Alin masih tampak diam.

"Cantik – cantik kok bisu?"

Alin menoleh ke arah pria itu.

"Iya." Jawab Alin singkat kemudian kembali menatap ke depan.

"Sudah mengenal Sakya berapa lama."

"Sudah lama."

"Oh ya. Aku juga. Aku teman dekat Nala. Aku sudah mengenal Nala sangat lama. Bahkan saat kami masih sama – sama menjalani pelatihan dunia penerbangan. Kalau dengan Sakya aku baru hari ini mengenalnya."

Alin melirik pria tersebut dengan cukup dalam.

"Lalu?"

"Begitu donk. Menatap lawan bicara. Kalau begini kan enak. Jadi aku bisa melihat wajah cantikmu itu."

"Ya Tuhan cobaan apalagi ini." gumam Alin yang masih bisa di dengar pria itu.

"Alin. Aku Arfan..." ucap Arfan menjulurkan tangannya untuk bisa bersalaman dengan Alin.

"Aku sudah tahu nama mu. Kita sudah kenalan tadi di huniannya Sakya. Lalu apalagi?" potong Alin dengan cepat.

"Ck. Ck. Ck. Galak banget sih. Jangan galak – galak nanti makin jelek loh."

Tentu saja ucapan Arfan itu membuat Alin semakin kesal. "Kau tahu wanita galak itu akan susah nantinya dapat pasangan."

Alin menatap Arfan dengan cukup dalam.

"Bukan urusanmu."

"Akan menjadi urusanku jika wanita secantik mu tidak dapat pasangan."

Alin membuang tatapannya dari Arfan dengan wajah kian kesal. Rasanya kesabarannya sudah hampir habis di buat pria ini.

"Tapi tidak apa – apa. Aku suka. Setidaknya aku...."

Alin langsung menatap aneh Arfan. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Aneh."

"Siapa? Aku?" tanya Arfan sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Kau merasa tidak?"

"Tidak."

The Perfect (Not) StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang