02.

129 12 3
                                    

Alin memasuki kontrakannya yang Ia sewa dengan pembayaran setiap bulannya. Sebuah kontrakan sederhana yang sudah Ia tempati selama lebih kurang dari dua tahun. Merasa lelah Ia langsung menuju kamarnya. Meletakkan tas diatas tempat tidur dan mulai merebahkan tubuhnya di ranjang sederhana yang Ia beli setelah berada di kota ini.

Ia menatap langit – langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang mengingat kembali bagaimana sikap suami dari sahabatnya itu. Dengan terang – terangan mengatakan kalau dirinya tidak layak menjadi seorang ibu dikarenakan sikap galak yang Ia perlihatkan pada pria yang tak lain adalah teman dari Nakula.

Belum hilang rasa kesalnya pada suami dari sahabatnya Ia harus dihadapkan kembali pada seorang pria yang Ia temui saat di hunian sahabatnya. Pria yang menurutnya sangat aneh. Ia menghela nafas cukup dalam. Dalam satu malam ini saja sudah dua orang yang membuatnya kesal setengah mati.

"Menyebalkan. Kenapa malam ini aku harus menghadapi dua orang aneh sekaligus." gumamnya.

Alin menegakkan tubuhnya. Ia mengambil tas-nya yang berada di ranjang dan merogoh isinya untuk mengambil ponselnya. Ada notifikasi dari sahabatnya itu. Ia buka gawainya untuk membalas pesan yang dikirimkan sahabatnya. Saat hendak meletakkan kembali ponselnya Ia teringat sesuatu. Dengan cepat Ia buka kembali ponselnya.

"Siapa yang memerlukan bantuanmu. Aku rasa tidak akan pernah. Cukup malam ini saja." gumam Alin hendak menghapus salah satu kontak dari gawai-nya. Atau lebih tepatnya ingin menghapus nomor Arfan.

Ting.

Satu pesan masuk dari salah satu nomor kontak di ponselnya saat Alin akan menghapus nomor itu.

"Jangan hapus nomor ku karena kamu akan butuh aku lagi."

"Bagaimana dia bisa tahu aku akan menghapusnya." gumam Alin saat Ia membaca pesan yang masuk. Alin hendak membalas namun pesan lain masuk dari nomor yang sama.

"Tidak usah dibalas. Sebaiknya kamu mandi lalu istirahat. Oh tunggu. Gak baik kalau kamu mandi malam – malam begini. Nanti kamu bisa sakit. Dan aku gak mau lihat kamu sakit. Lebih baik kamu langsung istirahat saja. Atau kalau kamu gak bisa tidur karena takut segera kabari aku. Aku akan datang menemanimu. Dengan senang hati."

Alin membelalakkan kedua matanya saat membaca pesan dari pria aneh itu. Ia membalas pesan masuk itu dengan sedikit kesal.

"Gak perlu. Aku gak butuh kamu buat nemenin aku tidur. Aku bisa tidur sendiri. Dan aku gak takut apapun."

"Saat ini memang belum. Tapi aku yakin suatu saat nanti kamu akan butuh. Apalagi setelah kita bersama."

"Apa sih. Siapa juga yang mau sama kamu. Tidak akan pernah. Kita tidak akan pernah bersama. Jangan mimpi."

"Tapi aku yakin kita pasti akan bersama. Tidak sekarang. Tidak besok. Tidak lusa. Tapi suatu hari nanti."

Kesal Alin menghentikan chat-nya pada Arfan. Ia kembali rebahan diatas ranjangnya yang tak seberapa empuk namun sudah cukup baginya untuk tubuh kurusnya menikmati waktu istirahatnya.

"Selamat tidur cantik. Mimpi kan aku ya."

Chat dari Arfan kembali masuk ke ponsel Alin. Alin mengambil ponselnya dan membaca chat tersebut.

"OGAH." balas Alin dengan capslock yang jebol karena kesal. Ia memejamkan matanya hingga tanpa sadar terlelap karena lelah.

* * * * * * *

"Baru pulang Fan."

Sebuah suara menginsterupsi Arfan yang masuk ke dalam rumah. Ia melihat ayah dan ibunya duduk di ruang keluarga sembari menonton tv. Arfan berjalan mendekati keduanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Perfect (Not) StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang