Seni Berdasi

44 7 0
                                    

Warna merah telah terbentang di langit kota. Pertanda petang telah menyapa. Juga sebagai bukti bahwa matahari hampir sampai ke tujuannya untuk beristirahat. Mengisyaratkan pula kepada manusia agar pulang kerumah mereka, karena sebentar lagi makhluk-makhluk jahat akan berkeliaran.
Jalan raya pun telah disesaki kendaraan, baik itu kendaraan roda 2, roda 3, roda 4, dan roda 6. Semuanya saling berdesakan agar bisa segera sampai kerumah masing-masing. Keriuhan tak terelakan. Masing-masing pengendara saling menggeber kendaraannya agar tidak ditikung pengendara lain.
Kebisingan suara knalpot semakin menjadi. Suaranya persis tim vokal grup yang tidak dipimpin oleh seorang Dirigen, semuanya meninggikan suara dan ingin cepat selesai. Ditambah lagi suara klakson pun terdengar semakin menggelegar. Membuat siapa saja yang berada di sana akan mengalami berbagai kesakitan. Mulai dari sakit kepala karena kepadatan, sakit telinga karena kebisingan, dan juga sakit hati melihat pengguna jalan yang sesuka isi perutnya.
Tak sampai di situ. Pasukan pejalan kaki juga tidak mau kalah. Mereka dengan tegas meminta hak mereka, yaitu trotoar. Tempat lalu lalang mereka telah diraup oleh pengendara motor yang tak tahu aturan. Adu mulut sudah pasti terjadi. Namun, alas an mengapa mereka semua tergesa-gesa, sama. Ingin segera sampai di istana tercinta.
Di tengah hiruk pikuk jalan raya yang telah merusak kejernihan petang. Terlihat seorang siswa SMA berjalan pulang dengan tertunduk lesu diantara pembatas selokan, karena trotoar telah disalahgunakan. Berjalan dengan dagu yang menempel di dada membuat tubuhnya semakin condong ke depan saat melangkah. Lebih condong sekian derajat dari pada menara Pisa, yang ada di Itali.
Sulit mempercayai bahwa Ia adalah siswa teladan jika dilihat dari model rambutnya yang mirip semak belukar. Semakin jauh Ia berjalan, semakin berantakan pula rambutnya. Karena dari tadi, tak ada henti-hentinya menggaruk kepalanya itu, walaupun tidak gatal. Bingung lebih tepatnya. Tak lain dan tak bukan yang membuat kebingungan duduk di pikirannya ialah tentang sebuah peristiwa yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini. Peristiwa yang unik sekaligus menggelitik. Tak habis pikir Ia, mengapa peristiwa aneh itu bisa terjadi dan berlangsung cepat. Setahunya, dari awal Ia sekolah hingga kini, baru kali ini terjadi.

Dulu, orang-orang tidak minat dengan benda yang bernama dasi. Dikarenakan adanya kewajiban, atau formalitas bahasa kerennya, dasi itu harus mereka kenakan pada upara bendera. Dengan berbagai simpul, benda itu telah melilit di leher mereka. Meski jauh dari kata rapi. Usai upacara, dengan sekejap mata, dasi-dasi itu sudah masuk di dalam tas masing-masing agar tidak tertinggal untuk upacara senin yang akan datang.
Manakala saat bersekolah seperti biasa, mereka yang rapi dengan tatanan dasi nan elok, bukanlah sembarang orang. Mereka adalah keturunan darah tinta, atau orang-orang yang dekat dengan dunia pendidikan saja. Mulai dari anak penjaga sekolah, anak ibu kantin, anak guru, anak kepala sekolah, anak kepala dinas, anak bupati dan para anak petinggi-petinggi lainnya. Itu membuktikan bahwa memakai dasi juga ada seninya, harus menggunakannya dengan baik dan bijak.
Akan tetapi kini, semuanya telah terbalik. Layaknya siang menjadi malam. Berlangsung begitu saja, seperti lampu merah jalan tampa lampu kuning, tiba-tiba sudah lampu hijau. Charles Darwin pun sulit menjelaskan peristiwa ini. Tiba-tiba saja, hampir seluruh siswa dilanda penyakit gila berdasi. Sekonyong-konyong para siswa ingin mendapatkan dan menggunakan dasi. Namun, banyak dari mereka yang tidak paham cara menggunakannya. Bagi mereka yang mendapat nilai Fisika, 8, Matematika, 9. Atau mereka yang mendapat nilai rata-rata 8,5. Belum tentu paham cara menggunakannya. Apalagi bagi yang hanya mendapat nilai rata-rata 4, atau si tukang bolos, mereka mana akan paham.
Kegilaan ini telah hampir menjangkit seluruh murid sekolah. Mulai dari yang pintar, kurang cerdas, baik, sopan, tauladan, tak tahu aturan. Yang pemalas piket, si tukang bolos, mafia pena, tukang jaga WC saat bolos, hingga si bakhil, yang tidak mau meminjamkan penghapus. Semua sudah gila berdasi.
Tetapi lagi dan lagi. Banyak di antara mereka yang tidak paham cara menggunakannya. Ada yang memakai hanya untuk bergaya, atau agar di segani dan di hormati, ada pula yang ikut ikutan. Ada lagi yang hanya modal mewarisi dasi keluarga. Justru, masih banyak yang lebih ironi dari pada itu.
Misal saja Zulkifli, siswa yang akrab berteman dengan security sekolah. Sekonyong-konyong Ia juga telah gila berdasi. Dasi-dasi yang telah Ia kumpulkan dari Koperasi sekolah, malah Ia gunakan untuk mengikat hewan-hewan ternaknya yang berupa kawanan kambing dan beberapa ekor lembu.
Berbeda halnya dengan Si Utoh, orang paling malas piket nomor satu di dunia. Namun suaranya akan yang paling lantang mengomel apa bila tidak bersih. Karena sifat pemalasnya, Ia hanya suka duduk berleha-leha. Dengan dasi yang Ia dapat atas pemberiannya sanak saudaranya, dasi itu malahan menyusahkan orang lain. Bagaimana tidak, setiap orang yang di dekatnya, baik itu yang sekadar lewat, atau duduk di sekitarnya dan mereka yang tidak berlaku baik kepadanya, maka Ia akan sakiti dengan cara yang paling jahil. Mulai menjerat kaki orang yang lalu, mengikat pakaian orang ke kaki kursi, sampai-sampai Ia tega menjerat batang leher orang lain. Guru BK tak sanggup memberinya sanksi, karena Ia adalah keponakan Pak Camat.
Berbeda dengan cerita Zulkifli, berbeda pula dengan halnya Si Utoh. Si Potan, ketua mafia pencuri pena sekolah ini. Ia malah memanfaatkan kekisruhan yang terjadi ini. Ia mengumpulkan dasi-dasi yang terjatuh, merampas dasi orang lain, hingga mencuri dasi orang lain. Lalu Ia jual kembali dengan harga sesuka hatinya kepada teman-teman terdekatnya yang ingin dasi.
Gara-gara gila dasi ini, semakin banyak masalah yang menimpa sekolah. Terlalu banyak jika disebutkan satu persatu, lebih banyak daripada jembatan yang ada di kota Tembilahan.
Sedang asyik-asyiknya tercenung. Pikiran Si Kumuh berambut semak belukar itu tiba-tiba buyar. Pikirannya teralihkan oleh adzan yang telah berkumandang. Tanda magrib telah bertandang. Seketika pula dipacunya kakinya untuk bergegas pulang kerumah. Dengan melupakan sejenak masalah tadi, Ia tetap berharap agar peristiwa aneh ini segera selesai atau ada jalan keluar untuk menyelesaikannya. Agar semuanya hidup dengan  tentram lagi, semoga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hikayat Bangku SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang