Prolog

12 1 0
                                    

Keyra

12 September 2019

Angin berhembus kencang mengiringi kedatangan senja sore ini. Ia membawa serta dedaunan kering di tanah hingga berserakan kemana-mana. Akan tetapi, semburat senja di langit perlahan mulai lenyap.  Sedikit demi sedikit pasukan awan kelabu datang menggantikan senja. Pertanda jika sebentar lagi hujan akan turun. Rupanya alam turut merasakan apa yang kini menimpaku. Warna kelabu awan serta angin kencang itu menggambarkan suasana hatiku yang berantakan.

Sakit, perih, semua menjadi satu. Menghantam bertubi-tubi hingga dapat kurasakan nyerinya menyayat hati. Jika ada yang bertanya 'Apakah semua baik-baik saja?' tentu akan ku jawab jika semua sedang tak baik-baik saja. Yang ada hanya berantakan, badai itu sudah berhasil memporak-porandakan semuanya. Tak terkecuali tentang rasa yang hingga saat ini masih berusaha ku genggam. Harapan yang dulu pernah kusimpan dan yakin akan terwujud ternyata dalam sekejap berubah menjadi bilahan pisau yang ingin membunuhku detik ini juga.

Kalian semua memang tidak ada beda yaa...! PENGHIANAT!

Hatiku memberontak. Sangat tidak terima dengan kejadian ini. Air mataku juga tak kunjung berhenti. Berulangkali ku usap, tetap saja  keluar. Bahkan semakin lama semakin menjadi. Padahal aku ingin segera pergi dari sini. Namun, sesuatu terus mencegahku, membuatku seakan membeku di atas tanah. Sesuatu yang kasat mata, dan terlalu sulit untuk kuterjemahkan. Yang terus menyiksaku dan membuatku sangat tak berdaya.

Rasa itu. Masihkah dia ada di dalam hati? Setelah apa yang kau lakukan tadi? Jika iya, kenapa begitu sulit bagiku untuk mengakui semuanya? Adakah sesuatu yang lain darinya hingga membuatku terbelenggu dilema?

Tuhan... Biarkan diriku bebas dari kenyataan ini.

Hatiku merintih pilu. Bersamaan dengan itu  gelegar petir mulai bersahutan. Angin pun semakin kencang, menerbangkan semua rambutku searah dengan kepergian ya. Aku tetap diam, menatapmu sayu. Meski aku takut dengan alam yang seolah murka, semampuku kutahan untuk terus bisa berdiri di depanmu.

Aku tak tahu apa yang sedang kau sembunyikan. Tatapan mu mengatakan jika kau tengah berdusta. Apa yang kau katakan hanyalah fiksi, dan sebisa mungkin kau berusaha menutupinya. Aku tahu dirimu sejak lama, diagnosaku tidak mungkin keliru. Sebab dasarnya kita memang sama, terlalu menomorsatukan ego masing-masing.

"Sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya melakukan apa yang menurutku baik untuk kita"

Aku menarik napas panjang. Memejamkan mata dan menahan oksigen yang masuk di rongga paru-paru cukup lama. Lalu menghembuskannya perlahan. Cara itu pun sama sekali tidak membuatku membaik. Kepalaku semakin pening mendengar permintaan maaf yang entah sudah keberapa kalinya kau ucapkan. Memang aku wanita naif, terlalu mudah untuk diperdaya. Hingga banyak orang di luar sana ingin memperalat kekuranganku. Tak terkecuali dirimu.

Aku menunduk. Sama sekali tak ingin ku tatap wajahmu. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba sepasang tangan menggenggam kedua bahuku. Meremasnya pelan, seakan menyalurkan sebuah energi yang tak bisa dijangkau oleh siapapun. Tak lama, kurasakan pula hembusan napas menyentuh puncak kepalaku. Begitu hangat, membuatku bertindak untuk menahan napas karena tak kuasa menyembunyikan wajah yang terasa memanas.

"Sampai kapan pun, aku akan tetap menjadi venus mu. Tetapi, aku tak akan menyinarimu dari dekat. Aku akan menyinarimu dari tempat yang tak akan pernah bisa kau lihat"

Rasanya aku tak ingin detik ini berlalu. Aku ingin waktu berhenti selamanya. Mendengarkan suaramu yang berhasil membuat jantungku berhenti berdetak. Tetapi, itu hanyalah mimpi semata. Harapan untuk bahagia bersama tak kan pernah ada. Kukumpulkan energi untuk mendongak, kemudian membuka mata. Benar saja hal yang pertama kulihat adalah manik hitam milikmu yang selalu berhasil membuatku enggan untuk pergi.

Dan masih sanggupkah diriku memenuhi permintaanmu, jika caramu menatap saja sangat tidak menginginkan perpisahan ini terjadi?.

"Mungkin, ini yang terbaik untukku. Selamat tinggal"

Aku melepaskan tanganmu dari bahuku. Lalu memilih pergi meninggalkanmu seorang dibawah langit yang mulai menumpahkan kandungannya. Hingga hal yang tak pernah kusangka terjadi. Baru beberapa aku melangkah salah satu tanganmu meraih pergelangan tangan kiriku. Kau menarikku, lalu mendekapku sangat erat. Seakan ini adalah pertemuan terakhir kita, dan kau enggan semua ini terjadi. Aku kembali menangis dalam pelukanmu, detak jantungmu yang terdengar tak beraturan membuatku semakin tersayat dan tersudut. Cepat-cepat kuusap sisa air mata yang sekarang berbaur bersama hujan dan melepas pelukanmu dari tubuhku.

"Maaf  aku nggak bisa. Semua sudah berakhir, Nara. Kumohon, jangan berikan harapan itu lagi padaku" ucapku beradu dengan deras ya hujan. Kau terpaku. Tanganmu mengusap wajahmu yang basah. Aku tahu kau hendak mengatakan sesuatu. Dengan sigap aku mendahului perkataanmu, menegaskan padamu tentang takdir yang sedang terjadi.

"Cukup, Nara. Jangan letakkan aku di posisi yang menggantung. Jika itu adalah keputusanmu, maka lakukanlah dengan baik. Jadilah seorang laki-laki yang selalu menepati ucapannya, bukan yang berkhianat atas ucapannya!" tegasku ulang.

Aku benar-benar tidak tahan. Mungkin kau melihatku mengatakannya dengan tenang, tetapi sejatinya hatiku rapuh. Aku menangis bersama hujan, suaraku samar diredam hujan. Meski aku lemah, sebisa mungkin aku berusaha baik-baik saja di depanmu. Sekalipun kau sudah menorehkan luka yang akan menjadi sejarah baru dalam hidupku.

Aku kembali menegaskan tatapan ku, setelah itu berbalik meninggalkanmu disini. Aku tahu tentang rencana yang tengah dirangkai Tuhan. Aku percaya jika kesedihan ini akan berakhir. Dalam hati aku memohon jika masa itu benar-benar akan datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KeyNaRaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang