Aku tidak tahu apa yang membuat Bunda memintaku untuk bertandang ke rumah, tapi jauh tidak paham mengapa hal itu tetap kulakukan.
Jadi, di sinilah aku. Terduduk kaku di ruang tamu. Tapi bukan itu perkaranya. Di hadapanku ada Jefa.
Perempuan itu ayu sebagaimana yang selalu Jendra ceritakan. Mana patut disaingi oleh perempuan yang melihatnya saja sudah gemetar setengah mati ini.
Seharusnya aku segera pulang. Seharusnya aku memilih tidak datang.
Buku-buku jariku kuremat kelu. Erat sekali berlomba-lomba dengan sebuah hati yang berdenyut ngilu. Jendra melihatnya begitu teduh.
Aku menyusul Bunda yang sedang di dapur. Memilih membantu wanita itu ketimbang mati beku di ruang tamu. Seteko air kusajikan ke depan, tetes-tetesnya mengalir ke dalam tiap gelas, setara dengan keringat yang saat ini diri paksa dengan kenyataan untuk berpacu.
"Terimakasih," katamu.
Aku mengangguk.
Kasih kembali.
Iya, kasihku yang kembali. Kasihku kau lempar balik, tidak terterima, ditolak mentah.Kalian meminum cairan itu dengan tenang. Tidak seperti jiwaku yang rasanya dibisikkan setan untuk menaruh racun-racun tikus di dalam sana.
Aku tak menyangka menyukaimu sebesar ini. Tak menyangka bila sakit karenamu akan sebesar ini.
"Naya nanti mau belajar masak lagi sama Bunda, gak?" Wanita itu bertanya saat teko kosong miliknya ku kembalikan ke dapur. Tapi kalau disuruh bertanding dengan pandanganku, bisa saja masih kalah benda itu.
"Besok aja, boleh, Bun?"
Nyawaku terasa seperti ditarik. Cemen sekali.
Mana kutahu hari ini akan seperti ini. Sumpah, mana aku tahu.
Ibu kandung Jendra itu mengangguk dan tersenyum. "Oh? Engga papa. Kamu sakit, ya? pucat gitu?" tanyanya. Tapi yang kumampu hanyalah gelengan kecil.
"Yasudah, Bunda ke depan dulu, ya."
Begitu saja. Begitu saja hingga aku terduduk tidak berharga di sudut dapur rumah Jendra. Yang kudengar hanyalah suara manusia-manusia keji itu yang tengah asik bercengkrama.
Harusnya aku pulang ke rumah.
Seharusnya tidak begini. Bukan sekali dua kali aku menghadapi posisi seperti ini. Coba, kenapa juga aku bisa menaruh rasa?
Sepasang kaki berhenti di hadapanku saat tubuhku hampir bangkit berdiri. Itu Jefa.
"Naya, ya?"
Kutarik sebuah senyum walau perasaanku bilang tidak begitu. "Iya. Salam k—"
"Iya, salam kenal. Gue Jefa, pacar Jendra."
Peluit-peluit. Permainan selesai. Aku kalah telak, lagi.
[][][]