8. [Bukan Untuk Riya]

199 33 0
                                    

||||
.
/Dia (Ya'kub) menjawab, "Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui."\

Q.S Yusuf: 86
.
||||

"Mas, ini Ayah Mas, bukan?"

Perempuan terbalut kebaya Bali itu menghampiri sang suami yang tengah duduk di kursi ruang keluarga. Diserahkannya ponsel untuk menunjukkan foto seseorang di sana.

Laki-laki yang masih berpakaian kerja menerima ponsel tersebut, lalu bergantian menatap layar ponsel dan istrinya. Kening luas itu mengerut, matanya meminta penjelasan lebih kepada perempuan yang berdiri di depannya.

"Mas, jawab!"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Apa Mas sudah tahu kabar Ayah Mas meninggal?"

Mendengar kata 'meninggal' membuat mata laki-laki itu hendak keluar. Dalam hitungan detik posisinya sudah berdiri, berhadapan dengan istrinya. Layar ponsel itu ditatap lamat-lamat, membaca caption yang ditulis oleh orang yang mempostingnya. 'Selamat jalan Syaikhona, semoga amal ibadanya diterima. InsyaAllah surga'. Begitu tulisannya.

Dada laki-laki itu bergetar, segenap jiwa meyakini bahwa ini tidaklah nyata. Beberapa menit berusaha mengatur napas, sampai akhirnya satu tetes air mata meluncur begitu saja.

"Mas ...," kata istrinya mengusap lembut bahu kiri suaminya.

"Kenapa baru ngasih tahu sekarang, Re?! Ini beritanya udah dua minggu yang lalu!" Emosinya langsung memuncak, tidak bisa dikendalikan, sampai istrinya sendiri terbentak karena kehilangan setengah kesadaran diri.

"Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud menyembunyikan. Aku baru tahu tiga hari yang lalu, sedangkan kamu masih di luar kota."

"Kenapa nggak kabari lewat telepon?! Zaman sekarang udah canggih, Revira! Kenapa di sela-sela obrolan kita via telepon, kamu nggak bahas tentang ini?" Ungkapan kalimat terakhir sedikit bergetar dan lemah, laki-laki itu tidak bisa menahan kesedihannya. "Sejak Ayah dan Kakak memilih masuk Islam, aku memang tidak peduli lagi dengan mereka. Tapi ...." Bibirnya semakin bergetar, hatinya terasa dicabik. "bagaimanapun juga Ayah yang membesarkan aku, Re! Aku hutang budi kepadanya." Laki-laki itu mengguncang bahu istrinya disertai tangis yang semakin menjadi.

Bagaimanapun perbedaannya, sebesar apapun rasa bencinya, meski bibir mengatakan sudah tidak peduli lagi, tapi ikatan hati yang terjalin antara ayah dan anak melumpuhkan segalanya.

"Mas ... udah." Revira berusaha menenangkan dengan cara menatap mata suaminya seraya mengusap tangan yang mengulur ke bahunya. "Kamu tenang dulu, marah-marah nggak akan membuat Ayah kamu hidup lagi."

"Aku ingin ke Riau. Sekarang!" katanya seraya melangkah, menaiki anak tangga terburu-buru lalu membanting pintu kamar.

Revira segera menyusul. Jika laki-laki itu sudah marah, sulit untuk meredamnya, selalu memgambil tindakan tanpa berpikir panjang. Jika Revira menyuarakan masukan, suaminya itu tidak akan mendengarkannya sama sekali. Revira tidak akan melarang laki-laki itu pergi ke Riau, meski dia ingin melarangnya.

"Mas, jangan terburu-buru. Aku ikut ke sana."

||||

Kemarin sore, Kahfi sudah memijak tanah Jawa Timur, tepatnya di salah satu pondok pesantren yang berada di bawah pimpinan Almukarom Hj. Hasanudin Zainal Muttaqin. Jangan tanya senangnya tingkat berapa, karena satu tahun yang lalu dia menginginkan masuk pondok. Namun, Harits menjanjikan akan memasukkan cucunya ke pesantren setelah hafal Al Quran.

Pagi harinya anak itu sudah aktif dalam kegiatan pesantren dan berbaur dengan santri lainnya. Sikapnya yang ramah dan terbuka memudahkan orang lain menerima kehadiran Kahfi. Ditambah Almukarom Hj. Hasanudin Zainal Muttaqin memperkenalkan Kahfi sebagai orang yang sudah hafal Al Quran, semakin banyak yang kagum terhadap Kahfi. Usai perkenalan itu, Kahfi menemui pimpinan pondok ke rumahnya, kemudian menyuarakan isi hati yang tadi tertahan.

"Hafalan Kahf nggak penting diumbar, Ustadz. Uma dan Kakek menghafal Al Quran karena ingin dimuliakan Allah, ingin meninggal berstatus hafidz-hafidzoh, bukan untuk riya. Begitu pun dengan Kahf."

Tiga kalimat dari bibir mungil seorang anak delapan tahun membuat mata guru besar berkaca, tidak percaya bahwa anak sekecil itu begitu menjaga hatinya untuk tidak menumbuhkan rasa riya.

Detik itu juga, pria gemuk nan gagah berkepala lima itu menitikkan air matanya seraya mengucap maaf dari lubuk hatinya.

"Kahf udah maafkan daritadi. Tapi jangan bilang kesiapa-siapa lagi soal hafalan Kahf. Takutnya Uma dan Kakek marah."

Setelah menitikkan air mata harunya lagi, pria itu merengkuh Kahfi dalam pelukan. Dikecupnya ubun-ubun anak itu seraya merapalkan doa. Inilah yang dinamakan anak shaleh, kecusian hatinya yang begitu dijaga.

"Assalamuaikum, Guru." Seorang santriwan tunduk seraya mengecup tangan gurunya. Setelah salamnya dijawab, dia mengutarakan alasan menghampiri pria itu. "Di luar ada tamu. Mereka adalah keluarga dari Dek Kahfi."

Kahfi mendongak, matanya menyidik pemuda yang berdirimya sedikit membungkuk.

"Saya temui sekarang. Tolong jaga Kahfi di sini."

Pria yang sering disapa Guru Hasan mempersilakan dua tamunya duduk, menjamunya dengan makanan terbaik yang dipunya. Sedikit basa-basi perkenalan untuk menyingkirkan rasa canggung lalu beralih ke cerita.

"Saya baru tahu kemarin tentang kematian Ayah. Saat itu juga saya terbang ke Riau bersama istri, sampai di sana malam hari. Saya menyesali dan benci kepada diri sendiri karena terlambat tahu tentang kematian Ayah." Laki-laki menekan kedua matanya dengan jari jempol dan jari telunjuk, berusaha untuk menahan air mata. "Pulang dari pemakaman, saya diberitahu tetangga bahwa keponakan saya ada di sini. Saya langsung ke sini, untuk menjemputnya, karena Kahfi tidak punya siapa-siapa lagi selain saya dan istri saya."

Hasan tersenyum seraya mengangguk. Sahabatnya, telah menceritakan sedikit tentang kehidupan keluarga yang berbeda keyakinan. Harits dan keluarganya lahir di Bali, menganut keyakinan yang menjadi mayoritas di sana. Singkat cerita, istrinya meninggal karena sakit. Kepergian orang tercinta, siapa yang tidak kehilangan?

Ternyata, kepergian itu memgundang hidayah datang menyapa. Berawal dari lantunan ayat suci Al Quran yang didengarnya saat dia melewati masjid.

Begitu indah lantunan kitab suci umat Islam ketika dibacakan.

Lalu, dia melihat muslim dari luar masjid. Ketika adan terkumandang, mereka berbondong-bodong masuk, ketika iqomah diserukan, buruan mereka adalah shaf pertama. Dalam hitungan detik, puluhan muslim dapat tertib mengatur barisan begitu rapi. Dia kagum kepada umat Islam, begitu pun dengan anak sulungnya bernama Zaid. Keduanya memeluk Islam, sayangnya si bungsu tetap dalam pendiriannya untuk tetap meneruskan kepercayaan nenek moyangnya.

Untuk memperdalam Ilmu agama, Harits masuk pesantren yang diasuh oleh Ayahanda Almukarom Hj. Hasanudin Zainal Muttaqin, sedangkan Zaid, sulungnya Harits melanjutkan program studi magister di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Nama yang diwariskan orang tuanya adalah Wisnu Yasir Hamid, setelah memeluk Islam diganti menjadi Muhammad Harits Ma'ruf.

Hasan ragu jika menyerahkan Kahfi kepada Pamannya. Namun, dia tidak punya kuasa penuh untuk menjadi hak asuh Kahfi. "Ya, kalian memang keluarga dari Kahfi, tapi sebaiknya anak itu tinggal di pondok ini dulu. Selain amanah dari sahabat saya, Harits, Kahfi akan lebih senang tinggal di sini."

"Maaf sebelumnya,  bukan kami tidak mau mengizinkan, tapi kami butuh Kahfi," kata Revira memancarkan sorot memohon.

"Beri Kahfi waktu seminggu untuk tinggal di sini. Bagaimana?" tawar Hasan dengan hati-hati. "Minggu depan biar saya antar langsung ke tempatmu. Izinkan Kahfi tinggal di sini dulu, saya mohon. Karena ada beberapa hal yang harus saya tanamkan dalam hatinya untuk menghadapi lingkungan barunya."

||||

Kahfi [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang