9. [Lingkungan Baru]

204 29 0
                                    

||||
.
/Apakah manusia memgira akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "kami telah beriman" dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.\
~Al-Ankabut: 2-3~
.
||||

"Kahf, hati-hati di sana, ya."

Kahfi tersenyum seraya mengangguk. Setelah mencium tangan pemuda itu, Kahfi mengangguk lagi tanda pamit. Baru tiga langkah dari gerbang, Kahfi kembali lagi untuk memeluk pemuda tadi. "Kak Rahman harus ingat Kahf terus. Sesekali ke Bali, temuin Kahf di sana, ya."

"InsyaAllah, Kahf." Beberapa saat dia membiarkan anak itu memeluknya sebelum berpisah. Isakan kecil yang keluar dari bibir Kahfi membuat Rahman segera melepas pelukan itu lalu berjongkok di depan anak tersebut. "Hei, kok nangis? Cengeng, ah," katanya sambil mengusap air mata Kahfi. "Sudah jangan nangis, kamu harus segera ke bandara, takutnya ketinggalan pesawat."

"Iya, Kak, assalamualaikum."

Rahman tersenyum seraya mengangguk, lalu menjawab salamnya. Setelah Kahfi melangkah menjauh dari gerbang pesantren, pemuda itu melambaikan tangan.

Tiba di Tabanan, Bali, satu jam sebelum masuk waktu duhur. Felix menjemput sahabat ayahnya dan keponakannya di bandara. Melihat senyum Kahfi yang mengembang, Felix teringat istrinya. Ini permintaan Revira, ingin mendidik seorang anak.

Sepanjang perjalanan, Kahfi tidak henti-hentinya melihat sekitar seraya mengucap dzikir. Subhanallah, walhamdulillah, walā ilāhaillallah, wallahu akbar, walahaula, walaquwwata illa billah hil 'aliyil adzīm.

Dari pesantren sampai rumah pamannya, Kahfi tidak memutuskan dzikir itu. Bahkan ketika dia memejamkan mata di pesawat, bibirnya masih bergerak tanpa suara. Meskipun tadi dzikirnya sempat terhenti saat harus menjawab pertanyaan pamannya di bandara.

Mata Revira berbinar kala Kahfi tersenyum di depan pintu. Sedetik kemudian, pelukan langsung Kahfi dapatkan dari wanita itu. Felix tersenyum turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan istrinya. Sudah bertahun-tahun keluarga Felix mendambakan seorang anak, kehadiran Kahfi sepertinya akan mewujudkan impian mereka.

Felix berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Kahfi dan Revira. Dia membisikkan sesuatu kepada Revira yang masih memeluk keponakannya. "Sayang, ajak tamu kita masuk dulu. Melepas kebahagiaannya nanti saja, ya."

Revira mencium kening keponakannya selayak memperlakukan seorang anaknya sendiri sebelum berdiri dan mengajak Hasan masuk rumah.

Sedikit perbincangan terjadi sebelum Felix pamit sebentar bersama istrinya untuk pergi dari ruangan itu. Revira langsung menatap suaminya penuh tanda tanya setelah sampai di kamar dan melepas cekalan lembut dari Felix.

"Apa kamu yakin ingin merawat Kahfi?"

"Yakin, Mas. Sangat yakin. Kenapa sih pertanyaannya itu terus? Aku bosan menjawabnya."

"Masalahnya, Kahfi itu--"

"Berbeda keyakinan dengan kita?" Revira segera memotong ucapan suaminya, kemudian tersenyum tipis seraya duduk di tepi tempat tidur. "Memangnya ada apa dengan keyakinan? Setiap individu memiliki hak kebebasan untuk memeluk agama, dan setiap masyarakat ditekan supaya menghormati perbedaan dan kepercayaan yang ada, karena Indonesia itu negara Bhineka Tunggal Ika, Mas."

Felix mengusap wajah dengan kasar, lalu duduk di samping istrinya. "Bukan begitu, Sayang. Mas nggak pa-pa tentang keyakinan yang dianut Kahfi. Mas hargai itu. Yang jadi permasalahannya, bagaimana jika Kahfi tahu tentang keyakinanan kita?"

"Memangnya kenapa kalau dia tahu?" Revira balik tanya.

"Dia masih anak-anak, mana paham soal menghargai perbedaan. Lingkungan dulunya homogen, sedangkan di sini berkebalikan, dia dituntut untuk menghargai perbedaan. Aku rasa, Kahfi akan sulit beradaptasi."

"Sekolah akan menanamkan nilai-nilai pancasila, sehingga muslim dan non muslim bisa disatukan."

"Terserah kamu, deh. Mas ikut keinginan kamu saja." Akhirnya Felix menyerah. Dia membuntuti istrinya yang keluar, menemui Kahfi dan Hasan lagi. "Sayang, bagaimana jika Kahfi tidak suka dengan lingkungan heterogen seperti di sini? Tahu sendirikan jika muslim di sini adalah minoritas?" bisik Felix saat memijak tangga terakhir.

"Mas! Udahlah, jangan bahas itu!" Revira mempercepat langkahnya, tidak mau berdebat lebih lanjut dengan suaminya itu. "Maaf lama," ucap Revira merasa bersalah kepada Hasan juga keponakannya.

"Tidak pa-pa. Oh iya, terimakasih atas sambutan dan jamuan terbaiknya. Tapi maaf, saya harus segera pulang." Hasan menghadap ke anak di sampingnya, lengkungan bibir ke atas ditunjukkan khusus untuk Kahfi. "Ingat selalu pesan yang keluar dari bibir saya. Al Quran adalah modal hidup, tanamkan dalam hati, jangan hanya tertempel pada otak saja. Di manapun Kahf berada, ingatlah selama kaki masih berpijak di bumi Allah. Bagaimanapun keadaannya, jadikan Allah satu-satunya tempat untuk segalanya."

Nasihat singkat itu langsung Kahfi simpan di memorinya, nanti akan dia tulis. Takutnya jika suatu waktu dia lupa, tulisan tersebut bisa mengingatkannya. Seminggu di pesantren, Kahfi aktif mencatat poin-poin yang berisikan nasihat dari Almukarkarom Hasanuddin.

"Apa tidak sebaiknya kita makan siang bersama dulu?" tawar Felix.

"Terimakasih sebelumnya. Saya harus pamit sekarang."

Baru saja Hasan berdiri, Kahfi juga ikut berdiri. "Sebelum Guru pergi, Kahf mau salat berjamaah bersama Guru. Boleh, ya?"

"Boleh."

Keduanya pamit kepada Felix dan Revira. Dikarenakan waktu yang mendesak, Almukarom Hasanudin mengajak Kahfi setengah berlari untuk mencapai masjid. Berlari atau tidak, sudah dipastikan jika mereka akan terlambat dikarenakan jarak memuju masjid terlalu jauh dari rumah paman Kahfi. Setidaknya dengan berlari tidak terlalu terlambat, nanti bisa berjamaah berstatus masbuk.

"Mas, bagaimana jika Kahfi tersesat di luar sana? Dia kan belum tahu tempat-tempat di sini." Revira menampilkan wajah cemas sejak Kahfi keluar dari rumah.

"Kan ada gurunya."

"Bagaimana jika gurunya nggak mau anterin Kahf pulang ke sini lagi? Dan beliau memilih untuk segera pulang."

"Gurunya sangat sayang dengan Kahfi, mana mungkin  melakukan hal seperti itu."

"Tapi, Mas--"

"Sudahlah, Sweety. Kekhawatir kamu terlalu berlebihan." Felix memyentuh bahu Revira untuk menenangkan, tapi segera ditolak oleh tangan wanita itu.

"Mas, cepat susul Kahfi, antar dia untuk beribadah. Pakai mobil, ya. Biar pulangnya cepet."

"Re ... aku capek," keluh laki-laki itu.

"Mas ...." Revira semakin menunjukkan binar kesedihan. Mau tidak mau, lelah atau tidak, Felix tidak ingin membuat istrinya sedih.

"Iya," ujar Felix diiringi helaan napas.

Senyum di bibir Revira segera mengembang. Wanita itu buru-buru mengambil kunci mobil di kamarnya dengan semangat juang 45. Kemudian mendorong-dorong suaminya untuk menyusul Kahfi.

||||

Kahfi [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang