Binhwan - Live, Left or Love (2)

761 76 30
                                    

Maaf menunggu lama.
Happy reading~

.
.
.
.
.
Semua terasa bias kala rasa mulai menghias. Menuntut sebuah penjelasan, berharap secercah balasan.
.
.
.
.
.

Sudah tiga hari semenjak Hanbin dirawat, Jinhwan menjauh darinya. Pria itu sudah diizinkan pulang saat Hanbin masih belum sadar. Hanbin selalu menunggu kehadiran Jinhwan namun pria mungil itu tidak menjenguknya sama sekali. Hanya Bobby yang rutin datang menjenguk Hanbin. Orang tua Hanbin sudah tidak bisa diharapkan, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

"Hei, binnie-ya. Kau melamunkan apa?" Bobby baru datang membawa kantung plastik berisi buah-buahan untuk Hanbin.

"Tidak, bob. Aku hanya bosan." Hanbin yang sedang duduk kembali menengok ke arah jendela tepat berada di samping tempat tidurnya. Pikiran Hanbin kembali tenggelam dalam imajinya. Menerka apa saja yang telah dialami pria mungil itu tanpa kehadiran Hanbin disisinya.

Apakah Jinhwan makan dengan baik?

Apakah Jinhwan menikmati udara dingin tanpa dirinya?

Bagaimana Jinhwan pergi ke suatu tempat tanpa diantar olehnya?

Siapa yang menemaninya memakan cheese cake?

Apakah Jinhwan-- merindukannya?

Bobby memerhatikan Hanbin lamat-lamat. Tatapannya menyiratkan kekosongan seperti tidak ada tanda kehidupan. Bobby ingin sekali mengatakan pada Hanbin, ingin sahabatnya tau bahwa masih ada Bobby yang selalu ada untuknya.

"Bin, kau belum menyentuh makananmu. Ayo makan."
Suara bariton Bobby memecah keheningan diantara mereka. Namun Hanbin mengendikkan bahunya dengan acuh lalu menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak lapar, Bob." Ujar Hanbin

"Tapi kau harus makan! Bukankah kau ingin segera keluar dari sini?!" Nada bicara Bobby mulai sedikit meninggi. Lama-lama ia merasa geram karena Hanbin begitu kerasa kepala.

"Tapi aku tidak lapar."
Hanbin tetap keras kepala. Kedua mata Hanbin tidak bersitatap dengan Bobby. Hanbin masih hanyut dalam dunianya sendiri.

Bobby semakin geram. Ia menarik dagu Hanbin, memaksa netra kelamnya bersitatap dengan manik sipit Bobby,
"Aku tau sekarang kau sedang patah hati, Bin. Tapi jangan menjadi dungu seperti ini. Jinhwan hyung tidak akan suka dengan pria bodoh!"

Mungkin Bobby terlalu keras pada Hanbin, tapi rasa khawatirnya pada Hanbin mendorong Bobby untuk mengatakan hal itu. Semenjak di rawat, Hanbin tidak pernah menyentuh makanan jika tidak ada yang membujuknya. Bobby tidak bisa tinggal diam.

"Kau tidak akan sembuh jika terus keras kepala seperti ini, Bin!" Lanjutnya

Hanbin menghela napas berat. Maniknya menyorot sendu dengan kehampaan luar biasa, pertanda ia mulai lelah dipermainkan oleh ekspektasinya.

"Bisakah kau berhenti, Bob? Bahkan jika aku mati, tidak ada yang peduli!" Lirih Hanbin, ia menundukkan kepala menyembunyikan air mata yang mulai membasahi kedua pipinya. Hatinya mulai lelah.

Hanbin hancur. Kini tak ada lagi sosok Kim Hanbin yang selalu tegar ketika rasa sakit datang bertubi-tubi. Sejak dulu, orangtuanya selalu sibuk bekerja mengumpulkan banyak harta tanpa memikirkan keadaannya. Mereka beranggapan dengan harta berlimpah bisa membuat Hanbin bahagia. Setelah Hanbin berhasil mendirikan sebuah agensi, hal itu hanya menjadi topik untuk dipamerkan ke rekan bisnis keluarganya. Tak ada ungkapan bangga dan kasih sayang tulus yang ia terima dari orang tuanya, hanya sebuah tuntutan menjadi sosok sempurna, tak bercela.

BobJun BinHwan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang