"Na na na na na, oweyo weyoo. Look at me, look at me now na na na na na na na na. u ri sa rang un bujangan~ o o o ooOo, my love is on fire~ whooo. Now burn baby burn, bujangan~ ea, ea!"
"Aarrgh berisik, berisik! Mana ada bujangan. Lo kalau nggak bisa nyanyi mending diem aja deh, bikin kuping gue budek aja." Damar menjepit mulutku dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Aku mengaduh, lalu memukul punggung tangannya yang terasa sekeras batu menggunakan sendok milik ibu kantin.
Suaraku memang pas-pasan, tapi mau bagaimana lagi jiwa penyanyiku terus bergejolak sekalipun nggak hafal lirik mengingat aku pelupa kalau masalah gituan.
"Lebay banget, kalaupun lo bedek mah karena banyak congeknya!" Aku mengolok Damar. Sekalipun aku dan Damar sekarang bersahabat, tetap saja kita terlihat seperti bermusuhan karena saking seringnya saling lempar bahan olokan. Terkadang kita bahkan tidak tahu tempat, seperti sekarang, panasnya kantin tidak mengendurkan semangatku untuk balik mengolok Damar sekaligus memberinya cibiran sengit.
"Mulut lo, babu!"
Mendengar kata babu membuat moodku seketika hancur lebur sampai-sampai bakso tidak lagi membuatku nafsu. Aku sangat sensitif dengan kata tersebut semenjak aku masuk ke sekolah ini dan bertemu Barak. Tukang bully paling norak sepanjang masa.
Bagaimana tidak norak? Okay aku jelaskan satu per satu. Barak memiliki wajah biasa saja, kelebihan dia ada di bidang olahraga dan bertubuh tinggi. Dari yang aku duga Barak tidak pernah berkaca, sebab pernah aku dengar dia dengan pedenya bilang bahwa dirinya sendiri dikenal karena memiliki wajah rupawan. Demi apa! Yang benar Barak dikenal karena dia norak, kaleee.
Dari penjelasan di atas, itu masih belum menunjukan sisi norak Barak yang sesungguhnya. Barak, anak itu norak sekaligus jorok. Pernah aku lihat dia makan spaghetti pakai tangan, padahal setahuku semua orang makan spaghetti menggunakan sumpit, garpu atau sendok terkecuali anak kecil. sedangkan Barak... apanya yang kecil? Badannya tinggi besar, mukanya sangar kayak preman.
Lagi, pernah aku mendapati Barak tengah menjilat jari telunjuk dan ibu jarinya guna melumat remahan chiki yang menempel lekat. Okay, aku tidak akan bilang dia jorok seandainya Barak makan dengan tangan steril. Aku ingat saat itu Barak makan menggunakan tangan kiri, sebelum makan chiki Barak sempat memegang ponsel miliknya dan dia makan tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Ew. Lengkap sudah. Minimal cuci tangan atau lap pakai tisu basah kek.
Dan lagi Barak kalau makan bunyi keciplak-kecipluk bikin orang di sekitar merasa tidak nyaman!
Dan sialnya, Barak, dia menjadikan aku sebagai babunya. Kacungnya. Budaknya.
Bagaimana proses terjadinya aku menjadi budak Barak? Jawabannya ada di sini. Saat itu aku tidak sengaja menduduki ipod mahal miliknya. Bagaimana bisa aku menduduki ipod tersebut? Damn, anak itu menaruh ipod miliknya di kursi perpustakaan. Jadi sampai sini siapa yang salah? Ya Barak-lah. Masalahnya, saat setelah aku tidak sengaja menduduki ipod malang tersebut diriku langsung naik pitam dan marah-marah. Aku mengatai Barak bodoh, ceroboh, tolol dan lain sebagainya untuk memperkuat bahwa itu terjadi memang karena kesalahan cowok itu sendiri. Siapa suruh kursi digunakan untuk nampung ipod, sedangkan meja perpustakaan dia gunakan untuk nampung kepala sekaligus ilernya. Puncaknya, aku khilaf melempar ipod yang sebelumnya sudah aku duduki itu ke lantai. Dan yuhuuu~ rusak. Aku sedang tidak ada uang lebih dan tidak mau mengganti, alhasil aku menjadi budaknya sebagai ganti kerugian yang dia terima. Hey, hey hey beep beep aku juga rugi tau! Saat itu pantatku terkena radiasi dan aku juga darah tinggi karena terlalu emosi.
Yap, sudah. Kembali pada Damar yang sedang aku pelototi. "Udah nggak nafsu, nih buat lo!" Aku dorong mangkuk berisikan bakso dan kuahnya.
Damar mengumpat, "Anjir, bakso tinggal setengah lingkaran aja dikasihin ke gue!"