Yogyakarta, tanah kelahiran yang selalu kurindukan. Sungguh, aku menyukainya meski tempat ini terasa asing bagiku. Sedikit sekali kenangan yang terekam dalam ingatan. Aku yang terlahir di sini tapi tidak pernah merasa jika di sini bukan tanah kelahiranku. Aku besar di luar kota dengan bundaku. Namun semenjak bunda meninggal, ayah selalu memintaku untuk ikut dengannya di sini.Ini sudah bulan ketiga aku di Yogyakarta dan selama itu juga ayah terus mengajakku bicara soal perjodohan. Tidak, jodoh ini bukan untukku, tapi untuk kakakku yang belum juga menikah diusianya yang sudah 26 tahun. Ayah bilang aku harus mencarikannya jodoh sampai ke pelosok desa maupun kota besar.
Kata-kata Ayah barusan membuatku tersedak. Aku memerhatikan Ayah yang sedang asik menikmati kopi hitamnya. Pemandangan setiap pagi yang tidak pernah bisa lepas dari mataku beberapa bulan ini. Dia bahkan tidak terlihat seperti merasa bersalah karena membuatku tersedak.
"Bagaimana? Permintaan Ayah gampang, kan?" kata Ayah dengan wajah semringah.
"Kenapa harus aku? Kak Zaina bisa cari sendiri 'kan!" protesku.
Aku tidak suka dengan permintaan ayah barusan. Kenapa aku harus mencari jodoh untuk Kak Zaina. Dia bukan balita yang harus dijaga. Bukankah dia sudah bisa memilih dan memilah hal baik untuknya.
"Kamu tahu sendiri, kakakmu itu enggak bisa dekat sama laki-laki. Beda sama kamu yang supel." Ayah melihatku sambil menyesap kopi hitam kesukaannya. "Jadi tolong bantu ayah, ya."
Aku mengerling malas. Selama tiga bulan di Yogjakarta ayah selalu meminta hal aneh, salah satunya perjodohan Kak Zaina. "Ayah, kalau nanti Kak Zaina enggak suka sama laki-laki yang aku pilih, bagaimana?"
Kulihat Ayah bergeming cukup lama. Tapi, beberapa saat kemudian ayah tersenyum padaku. Cangkir yang ada di tangannya diletakkan begitu saja ke atas meja. Firasatku tidak enak, aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi di sini.
"Kalau Zaina menolak," Ayah menjeda, "ya kamu cari lagi. Masa nyerah begitu saja!" kata ayah sambil menggebrak meja pelan, kedua alis matanya naik turun sambil tersetawa kecil.
Nah, betul kan. Kalau sudah begini aku tidak bisa menolak. Apa lagi melihat ayah tertawa. Hal yang jarang sekali aku lihat, tapi tetap saja tidak bisa menerimanya. permintaan yang terdengar sederhana tapi memiliki dampak yang besar untuk kehidupan seseorang
"Aku enggak bekerja di lembaga pencari jodoh!" kataku dengan wajah masam, "jadi, aku enggak bisa menerima tugas dari ayah."
Aku mendengar Ayah menghela napas. "Tapi, Zi. Kamu 'kan punya banyak koneksi para pencari hilal jodoh. Masa engga bisa."
Astaghfirullahal'adzim. Aku mengelus dada sambil menggeleng pelan. Kenapa ayah ngebet banget mau nyariin jodoh buat Kak Zaina? Apa semua orangtua yang memiliki anak gadis pasti seperti ini.
Mendadak ekspresi Ayah berubah jadi lebih serius. "Zi, kamu tau 'kan kalau Ayah sudah tua?
Aku hanya melirik ayah. Awalnya tidak mau menggubris perkataannya yang membahas soal umur yang sudah tua. Aku menulikan pendengaran dan berlagak tidak acuh. Rasanya terlalu malas kalau sudah bahas soal usia. Akhir dari pembicaraan ini pasti tidak jauh dari persoalan nikah dan kehidupan bersama sang pujaan hati.
"Ayah janji, kalau kamu mau bantu ayah carikan jodoh untuk Zaina, Ayah enggak akan melarang kamu buat terjun ke dunia yang kamu suka. Termasuk melukis dan menulis."
Salah satu alis mataku naik. Mencari kebohongan di mata ayah. Hasilnya, nihil. Negosiasi yang lumayan menarik. Dari dulu memang aku senang menulis, tapi tidak pernah mendapat persetujuan ayah. Katanya masa depan dari melukis itu tidak jelas.
"Zian?" panggil ayah sambil memasang wajah memelas.
"Ayah." Aku balik memelas. Tidak mau kalah.
Ayah menatapku tajam, lalu menghela napas. "Ya sudah kalau kamu enggak mau. Nanti Ayah minta tolong Hamzah saja."
Mendengar ayah menyebut nama itu mulutku refleks berhenti mengunyah, aku memerhatikan ayah yang masih setia menyesap kopi hitamnya dengan nikmat.
"Hamzah? Maksud Ayah, Mas Hamzah?" ujarku yang hanya dibalas anggukan ayah.
Bagaimana kabar Mas Hamzah. Sudah lama kami tidak berjumpa. Apa dia masih ingat denganku. Aku melirik Ayah yang masih menikmati kopinya. "Baik, Zian setuju. Tapi kalau Zian berhasil, Ayah harus menepati janji, ya?" kataku, ayah langsung mengangguk setuju.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, sudah waktunya aku berangkat kerja. "Zian berangkat ya, Yah."
"Ke mana?" tanya ayah.
"Mau kerja, dong, Yah. Masa ke lembaga pencari hilal jodoh." Ayah tergelak, "aku berangkat ya, Assalamu'alaikum."
Samar-samar aku mendengar suara Ayah yang menjawab salamku sambil tertawa. Aku tersenyum. Jadi, seperti ini rasanya diberi tugas? Ada perasaan bahagia, tapi juga kesal karena dipaksa.
Ayah dan aku tidak serumah sejak lama. Kira-kira sudah delapan tahun. Aku bahkan lupa rasanya bergurau dengan ayah. Namun, semenjak aku datang ke kota ini, semua terasa berbeda. Kehadiran seorang ayah yang lama kurindukan tiba-tiba datang lagi. Tidak, bukan ayah yang datang tapi aku yang kembali datang ke rumahnya.
Baiklah, mari kita lihat. Di mana aku bisa menemukan si penghuni hati untuk Kak Zaina. Di jalanan, di rumah makan, hutan, atau di pegadaian. Di mana pun itu tidak masalah, asalkan jangan di pemakanan. Kalau di sana, aku bukan bertemu mas jodoh untuk Kak Zaina, tapi bertemu tukang gali kubur dan mayat.
Ayah tidak memeberi tahu kapan tenggat waktunya, dia hanya bilang mencari. Berarti mau setahun, dua tahun atau tiga tahun sekali pun tidak masalah, yang penting aku bisa mendapatkan laki-laki yang bisa menjadi pendamping untuk Kak Zaina. Masalahnya sekarang adalah Kak Zaina menyukai laki-laki yang seperti apa. Kami bahkan tidak pernah membicarakan laki-laki setiap telponan. Boro-boro membahas jodoh, bahas makanan kesukaan saja kami jarang.
Lalu kenapa kami teleponan? Jawabannya sederhana, Kak Zaina senang mengganggu selama aku masih di Tangerang. Bahkan saat aku datang ke Jogja, dia tidak pernah sekalipun berhenti menggangguku. Heran, dulu bunda ngidam apa sampai lahir anak seperti Kak Zaina yang jahilnya keterlaluan.
Kembali ke masalah mas jodohnya Kak Zaina. Di manakah dirimu sekarang. Di bumi bagian mana. Jangan terlalu jauh,karena mencarimu sama halnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Susahnya bukan main. Masih banyak yang harus dilakukan, mulai dari mencari tahu tipe laki-laki impian Kak Zaina, semau yang dia suka sampai yang tidak disukainya. Laki-laki yang bagaimana dan seperti apa tipenya. Apa lagi aku harus melewati masa seleksi dan wawancara dulu.
Tunggu, ini proses pencarian jodoh atau proses melamar kerja? Kenapa ada wawancara segala. Rasanya ini semua terlalu resmi untuk sebuah perjodohan legal.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemilik Hati [REVISI]
RandomSang Pemilik Hati Zian berusaha untuk mengabulkan permintaan ayahnya mencarikan laki-laki yang bisa menjadi imam untuk Zaina, Kakaknya. Tapi, siapa sangka, calon suami kakaknya adalah laki-laki yang selama ini di kaguminya sejak kecil. Lantas, apaka...