2* [REVISI]

1.9K 129 12
                                    

Mencari jodoh itu, sama halnya seperti kamu sedang bermain puzle dengan anak kecil. Bikin kesal, lelah hati, dan harus mengikuti arusnya sampai anak itu merasa puas. Sama seperti yang sedang aku rasakan.

Aku pikir, mengabulkan permintaan Ayah itu tidak akan sesusah ini. Nyantanya, sulit sekali. Meski punya banyak kenalan teman laki-laki dan perempuan, mereka semua tidak lulus dari kriteria yang aku cantumkan. Bahkan sepupu temanku saja tidak bisa aku loloskan karena wataknya berseberangan dengan Kak Zaina. Rasanya kakakku terlalu lembut untuk mereka yang bar-bar.

Aku tidak mau Kak Zaina kecewa, sedih dan tidak bahagia dengan pasangannya kelak. Ini sudah hari ketiga dan belum ada hasil sama sekali dari pencarian. Banyak yang tidak pas. Contohnya, Bang Ravin. Dia ganteng, baik, pengertian, pintar, tapi aku tidak tahu gimana salatnya, ngajinya, sikapnya kalau di rumah dan tentang hatinya terhadap perempuan. Bang Ravin adalah laki-laki ke delapan yang sudah kucoret dari daftar nama.

Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang sempurna, mereka pasti memiliki cacat. Kalau memang ingin memilih dan meminta, minimal yang rajin solatnya. Soal harta dan tahta masih bisa diajak kerja sama.

Meski belum ada hasil apa pun, hal itu tidak membuatku menyerah. Demi kebahagiaan Kak Zaina, demi masadepanku, demi ketenangan ayah. Intinya, demi kita semua,

Hari ini aku tidak terlalu lelah karena ada yang menemaniku. Mas Hamzah. Ya, Mas Hamzah Basmallah. Orang yang dimintai tolong oleh ayah untuk membantuku. Berhubung hari mingggu, ayah menelponnya untuk menemaniku keluar. Katanya sih sekalian ngajak aku jalan-jalan keliling kota.

"Kamu lapar? Kita makan dulu ya." Suara Mas Hamzah membuyarkan lamunanku.

"Lapar, tapi enggak nafsu makan," jawabku.

"Makan dulu, enggak baik kalau diikutin. Kamu bisa sakit."

Suara Mas Hamzah terasa begitu menyenangkan di telingaku. Aku bisa merasakan kalau pipiku agak panas, bahkan suara Mas Hamzah membuatku nyaman. Aku mengangguk pelan, tidak ada salahnya mengikuti nasihatnya. Toh hanya disuruh makan, bukan nyemplung ke jurang.

Aku melihat jalanan sekitar. "Mau makan apa, Mas? Di sini enggak ada yang jualan makanan."

"Bukan di sini, Zian." Suara tawa Mas Hamzah yang berat tiba-tiba membuat hatiku berdesir. Astaghfirullahal'adzim! Istighfar, Zi!

Aku menggigit bibir bawah mencegah pikiranku agar tidak kemana-mana, tapi senyum Mas Hamzah benar-benar tidak bisa lepas dari pandanganku. Rasanya seperti ada cahaya matahari waktu melihat senyumannya. Boleh waktu dijeda sebentar? Mubazir kalau pemandangan ini disia-siakan. Sekian tahun tidak berjumpa, ternyata banyak perubahan yang terjadi pada Mas Hamzah.

Masa Hamzah memberhentikan mobilnya tepat di pinggir jalan dekat angkringan alun-alun Jogjakarta. Kalau sudah sore ini begini, semua angkringan pasti penuh. Banyak yang pacaran dan sekadar jalan-jalan sore bersama keluarga.

"Ramai," kataku dengan malas.

"Sudah, ikut saja. Yuk, turun." Dia melihatku sambil tersenyum. Duh, kenapa selalu tersenyum, Mas? Hatiku rasanya tidak kuat, kalau aku kena diabetes gara-gara senyumanmu bagaimana. Bisa repot, karena obatnya harus menikah sama kamu.

"Kamu enggak usah khawatir, sudah ada tempat yang aku pesan. Jadi, enggak mungkin penuh," katanya sambil keluar dari mobil. Kapan dia memesan tempatnya.

Mas Hamzah mengetuk kaca jendela mobil. "Ayo," katanya. Suara Mas Hamzah mengejutkanku lagi. Aku hanya tersenyum kaku sambil mengikuti Mas Hamzah menuju salah satu angkringan.

Aku merogoh tas untuk mengambil ponsel. Di layar tertera pukul lima sore. Untunglah tadi sempat mampir ke masjid untuk salat asar, jadi mau makan pun tenang karena tidak ada tanggungan.

Semakin aku jalan ke dalam angkringan, rupanya makin ramai, yang mendomonasi adalah anak muda. Ada yang berpasangan, ada pula yang beramai-ramai dengan kawan. Pemandangan yang jarang aku dapatkan selama tinggal di Tangerang karena terlalu sibuk melukis dan menulis cerita.

"Zian, kita makan di sana." Mas Hamzah menunjuk penjual nasi kucing. Ah, makanan kesukaanku. Kenapa bisa pas begini.

"Mas, di sana ramai sekali. Malu ih."

"Kalau malu, kamu bisa pinjam helm Pak Budi buat nutupin wajahmu."

"Siapa coba Pak Budi, aku enggak kenal." Aku berdecak meninggalkan Mas Hamzah lebih dulu menuju angkringan nasi kucing.

Namun, tiba-tiba Mas Hamzah sudah berada dua langkah di depanku. Langkah kakinya yang lebar dengan kaki sepanjang itu wajar saja kalau dia bisa mendahuluiku. Pandanganku tertuju pada punggung tegapnya. Lebar, kokoh, dan tampak berwibawa. Mirip seperti karakter tokoh yang ada di dalam novel romasa. Aku Rasa Mas Hamzah cocok untuk menjadi salah satu di antara banyaknya visual karakter dalam cerita.

Ya Allah, kenapa gagah banget Arjunaku! Kalau sekeren ini sih aku semakin bersemangat daftar jadi calon istrinya, tapi aku teringat Kak Zaina yang belum dapat pasangan. Lagi-lagi aku harus menenggelamkan pikiran itu. Daftas jadi calon isrinya dulu enggak masalah kali ya.

Tunggulah, Mas Hamzah! Setelah misi ini selesai, aku akan mendaftarkan diri jadi istrimu. Paling pertama! Ingat itu. Wahai hati, jangan sampai belok ke orang lain, ingat berjuang itu indah, jadi jangan sampai kalah dengan segala rintangan yang menghadang.

Kita berdua sudah duduk di tempat yang Mas Hamzah pesan. Mas Hamzah melambaikan tangan ke seorang wanita paruh baya, sepertinya orang itu adalah penjualnya. Mas Hamzah memesan makan dan minuman, setelahnya penjual itu pergi untuk menyiapkan pesanan.

"Ngomong-ngomong kamu masih suka makanan ini?" tanya Mas Hamzah sambil menunjuk spanduk yang bertulisakan warung leseh, tapi arah tangannya tertuju pada nasi kucingnya.

Aku mengangguk penuh semangat. "Nasi kucing adalah yang terbaik! Di Tangerang susah sekali dapat makanan seperti ini. Kalaupun ada, rasanya beda sama yang asli Jogja," ujarku sambil tertawa.

"Tentu saja, setiap makanan daerah memiliki rasa khasnya sendiri kalau makan di tempat asalnya, belum lagi cara penyajiannya yang memiliki daya tarik tersendiri," jelas Mas Hamzah.

Aku setuju. Memang setiap makanan memiliki rasa khas masing-masing kalau dimakan di tempat asalnya. Semua terasa nikmat. Aku sendiri sudah merasakannya.

"Oh iya, kita sudah jalan dari tadi pagi tapi aku belum bertanya soal kabar kamu." Dia menyunggingkan senyumnya lag, "bagaimana kabarmu selama di tangerang?"

"Aku baik. Sangat baik. keluarga di sana menjagaku dengan amanah."

"Oh, begitu. Syukurlah."

"Ngomong-ngomong, berapa lama kamu harus mencari laki-laki yang pas untuk Kak Zaina? Sebulan? Dua bulan? Atau tiga bulan?" tanya Mas Hamzah.

Pertanyaan Mas Hamzah membuatku sdikit berpikir, aku sendiri bahkan belum tahu mau sampai kapan. "Tidak terprediksi kapan waktunya, Mas. Jalani saja dulu sampai lumutan."

Aku tergelak, sama halnya dengan Mas Hamzah. Dia bahkan berkata kalau aku sama sekali tidak berubah dari kecil. Mudah membuat orang tertawa, aku hanya membalasnya dengan kedipan satu mata sambil menyombongkan diri.

"Kalau begitu tugasku menemanimu juga masih panjang, ya?" ujarnya yang hanya kubalas dengan senyuman. Bingung harus jawab apa. Kalau yang ada di hadapanku ini orang lain, mungkin aku bisa mengajaknya bicara sepanjang waktu tanpa khawatir topik bicaranya habis, tapi ini berbeda, orang yang aku ajak bicara sekarang adalah pujaan hati dari kecil. Rasanya jadi agak canggung.

To be continued ...

Sang Pemilik Hati [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang