7* Ingatan Samar (REVISI)

1.1K 89 2
                                    

Riana sedang sibuk dengan laptopnya, beberapa pertanyaanku juga enggak ditanggapi. Aku bosan, padahal ini baru jam delapan pagi, tapi suasana di sini benar-benar enggak sehat buat kepalaku.

Berguling-guling di atas tempat tidur, bersenandung enggak jelas demi bisa memancing Riana untuk bersuara. Tapi, bukannya respons baik yang aku terima, sebuah bantal justru melayang bebas ke wajahku. Suara Riana pun terdengar.

"Bisa diam enggak, sih? Ganggu banget suaramu tuh! Bikin mules."

"Kalau mules ke kamar mandi, dong." Mulutku berkata semaunya. Sepertinya aku harus beli filter di toko online.

Riana ini sungguh tidak tahu kalau aku sedang jenuh atau dia pura-pura tidak tahu. Tugasku masih jam sepuluh. Itu pun pergi dengan Arfan dan hanya membawa berkas kerja saja. Arfan sama sekali tidak memberikan aku pekerjaan yang berat seperti Arian dan Riana.

Tugas si kembar lebih mulia dariku. Melakukan presentasi dan mewakili Arfan berbicara. Sedangkan aku hanya berperan layaknya babu yang menunggu perintah dari majikan. Arfan sialan.

"Kamu bosen, Zi?" Aku menoleh. Menghentikan aksi guling-gulingku di atas kasur. Sudut bibirku naik sedikit. Dan berakhir dengan mencibirinya.

"Kalau sudah tahu, kenapa nanya segala?" protesku agak kesal. Riana malah tertawa dan kembali mengabaikan keberadaanku.

Aku mendekatinya. "Arfan enggak ada nitipin tugas buat aku?"

Riana menggeleng. "Cuma ngasih pesan, aku sama kamu harus selalu berdua. Soalnya sebentar lagi kita mau keluar."
"Ke mana?"
"Ketemu sama Pak Sucipto. Mau bahas anggaran."

Telingaku terasa tidak asing dengan nama Sucipto. Seperti pernah dengar, tepatnya di mana, aku lupa.

"Siapa itu Pak Sucipto?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku.

"Kamu enggak update nih sama dunia bisnis. Dia itu Bos besar yang lagi naik daun. Nah, sekarang ini lagi minta jasa kita buat membangun perusahaan cabang. Tamboya Pustaka. Penerbit yang lagi hits. Buku-buku terbitannya juga berkelas semua. Kamu harus baca. Ada filosofi manusia, pembedahan jiwa, cara mendekatkan diri kepada Tuhan, ilmu filsafat dan masih banyak lagi. Aku rasa buku-buku itu cocok buat otakmu yang bermasalah itu."

Aku melempar bantal yang ada di sebelahku ke arah Riana. Dia hanya tergelak.

Nama Pak Sucipto masih terngiang-ngiang di kepalaku. Semakin aku berusaha mengingatnya, nama itu terdengar semakin tidak asing. Jujur saja, perutku juga terasa agak mual, mungkin efek belum sarapan.

Riana menyentuh punggung tanganku. "Kamu kenapa? Kok, pucat? Sakit?"
"Enggak, aku baik-baik aja."

"Eh, Pak Sucipto punya anak?" Mulutku malah kelepasan bertanya lagi.
Riana langsung mengrenyit. "Kenapa? Mau deketin anaknya?" Bantal yang ada di sebelahku langsung melayang indah ke wajah Riana. Dia malah tertawa.

"Oke-oke, maaf." Riana merebahkan tubuhnya sambil melakukan peregangan ringan, "dia punya anak, namanya Dias dan Rea. Kakak beradik yang isunya enggak bisa akur sama keluarga."

Tubuhku seperti kehilangan tenaga. Jangankan bergerak, bersuara saja tidak mampu. Nama itu, sekarang aku ingat. Pantas terasa familiar, rupanya itu nama keluarga dia. Pria tua yang tidak tahu malu dan merusak keluarga kami.

Sentuhan di bahuku membuyarkan segala lamunan. "You okay? Hari ini kamu agak aneh. Yakin enggak sakit? Mau istirahat aja? Nanti aku bilang ke Arfan supaya kamu engga usah ikut kami." Wajah Riana terlihat khawatir. Tanganku bergerak untuk mencubit hidung pesek Riana. Dia mengaduh kesakitan dan membalasku dengan pukulan yang lumayan bikin badan sakit.

Sang Pemilik Hati [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang