our first day

365 56 34
                                    

Aku menggapai soda yang disodorkan Taehyung. Suara lenting akibat kaleng yang beradu mengawali tegukan.

Kami minum soda untuk merayakan kenaikan ke kelas tiga.

Bersama angin musim panas yang beberapa kali mengacak suraiku, Taehyung dengan tingkah tiba-tibanya menumpu tangan di atas kepalaku menghalang sapuan angin yang menerbangkan rambut-rambut di dahiku.

Aku bertanya karena heran, "kenapa?"

"Tidak apa-apa." Tapi dia tersenyum nyengir. Aku mengernyit dan geleng-geleng tak paham akan tingkahnya.

"Jihyun," panggilnya.

"Ya?"

"Kalau sudah lulus mau jadi apa?"

Sejenak aku tenggelam dalam pikiran. Aku belum memikirkannya. Tapi orang-orang sekitarku selalu memberi tuntutan seperti; kau anak pintar, belajarlah dengan baik. Orang tuamu mesti bangga padamu. Jadilah yang terbaik.

Dan hal demikian selalu memeluk pikiranku.

Tuntutan orang tuaku sendiri bukan main-main. Mereka tidak memberiku kesempatan untuk berpacaran di masa sekolah ini. Katanya, harus fokus dulu pada pendidikan dan karirmu.

Kakakku juga. Kak Hoseok adalah orang yang keras pada hal yang menyangkut diriku. Ia tidak pernah main-main kalau semisal ada sesuatu yang menyakitiku.

Salah satu contoh, kala kelas tiga di sekolah menegah pertama, seorang temanku pernah nyaris menciumku, dia selalu menguntiliku dan memaksa untukku jadi pacarnya. Aku berniat untuk atasi hal itu sendiri meski tahu kalau aku tak semampu itu untuk melawan seorang Yeonjun itu.

Aku tidak memberitahu keluargaku tentang hal ini. Namun, tahu-tahu Kak Hoseok muncul di kelasku saat Yeonjun ingin menciumku. Tak tanggung-tanggung, Kak Hoseok langsung menghajarnya.

Memang seprotektif itu Kakak dan orang tuaku. Sampai-sampai saat itu, teman lelaki sekelasku nyaris jarang berinteraksi denganku.

Jadi, apa mimpiku sekarang? Aku ingin jadi apa nanti? Aku terpikirkan.

Lantas bahuku mengendik, "Tidak tahu. Aku belum memikirkannya," jawabku.

Mata Taehyung membulat, "Serius tidak ada? Orang sepertimu tak punya impian satu pun?"

Aku mengangguk pelan.

"Lalu apa gunanya kau melukis-lukis gambar-gambar itu?" Taehyung mengingat aku pernah menggambar wajahnya.

"Hanya ingin saja."

"Eiy, itulah dirimu. Kau punya bakat maka kembangkanlah. Kau benar-benar berbakat di bidang itu."

Aku mengulas senyum kecil. Namun, apa gunanya kalau orang tuaku tidak setuju? Perlu diketahui, aku menggambar pun harus sembunyi-sembunyi.

"Jihyun."

Kepalaku mendongak dari rundukan.

"Percaya dirilah," lanjutnya.

"Hm?"

"Lakukan apa yang kau ingini. Mungkin terdengar jahat dan memberontak, tapi aku ingin kau menjalani hidup sesuai keinginanmu. Orang lain ingin kau hidup untuk mereka, lalu apa gunanya dirimu kalau terus di bawah ekspektasi mereka? Ingatlah kau hidup untuk dirimu sendiri bukan orang lain."

"Jika aku bisa, Tae," jawabku, lalu aku ingat bahwa sejak dini aku selalu menuruti keinginan orang lain, membuat mereka makin berekspektasi lebih di hidupku.

"Kau bisa," ucapnya. "Aku mendukungmu. Selalu."

Namun yang kulakukan malah tertawa sumbang mengabaikannya. Memang bisa? Kenapa dia menggebu sekali seolah semuanya akan menjadi nyata?

"Kenapa ketawa? Aku serius."

"Mustahil. Kau tahu keluargaku bagaimana, bukan? Kau pun tahu bagaimana sikap Kakakku." Aku berdecih.

Lantas dia terdiam tak tanggapi banyak. "Aku akan yakinkan Kakakmu."

Sontak aku mengernyit.

"Untukmu, aku akan memperjuangkannya. Aku ingin kau lebih menyukai hidupmu, melakukan apa yang kau sukai."

"Jangan bercanda," kataku mengabaikannya.

"Aku tidak bercanda kalau tentangmu."

Sorot mataku meliriknya aneh.

"Aku ingin kau bahagia dan aku penyebabnya," ujarnya membuatku bingung. "Maka percayalah padaku. Aku akan selalu di sisimu."

"Taehyung..."

"Ini mungkin terdengar aneh tapi aku sudah menyiapkan sejak lama. Ji, aku ingin jadi salah satu orang yang menjagamu, ingin kau percayai dan di sampingmu setiap waktu. Karena aku... ingin menetap padamu."

Aku terbelalak saat itu juga.

Sudah kukatakan bukan kalau tingkah Taehyung itu tak pernah terduga. Dan sekarang terjadi lagi. Terjadi begitu saja dan membuat jantungku berdebar kencang.

Aku tidak tahu harus membalas apa kala itu, hanya jadi bisu dan membuatnya maklum serta menunggu.

Tetapi, sejak hari itu aku tahu betul hatiku berkata bagaimana.

Aku paham perasaanku mulai hari itu.

Sudah kukatakan, aku tidak ingin kehilangannya, bukan?

Jadi, aku menetapkan hatiku padanya tanpa ragu. []

aku ngga tau ternyata ada nunggu ff ini juga 😪

𝘞𝘰𝘯𝘥𝘦𝘳𝘧𝘶𝘭 𝘜𝘴 (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang