Bagian 3•

65.5K 1.3K 3
                                    

Gavin menatap dingin ke arah Felly yang tengah menatapnya juga dengan ke dua mata indahnya yang tengah berkaca-kaca seperti ingin menangis. Ia sudah berada di cafe ini hampir 15 menit yang lalu, namun istri cantiknya itu baru saja menyadari keberadaannya, itu saja karena kode dari Alice, mungkin jika Alice tidak memberitahu Felly mengenai dirinya berada di sini, mungkin gadis itu masih melamun hingga saat ini. Gavin tidak menyangka bahwa kerjaan Felly setiap hari di cafe hanya melamun layaknya orang yang tengah dalam masa keputus asaan.

"Pak, jus buah naganya enak banget. Mau coba?" tawar Nadin sembari menyodorkan gelas berisi jus buah miliknya ke arah Gavin, namun di abaikan oleh pria dingin itu. Salah satu tangan Gavin terulur, mengambil cangkir berisi kopi susu hangat yang tadi ia pesan lantas menyesapnya dengan pelan. Netranya masih menatap ke arah Felly yang juga masih setia menatapnya.

"Ih Pak Gavin kayak anak kecil aja, belepotan!" kekeh Nadin yang langsung mengambil tisu dari atas meja lalu mengusapkannya di sudut bibir Gavin yang terdapat bekas kopi susu yang tadi sempat ia cesap. Setetes air mata Felly lolos dari kelopak matanya yang indah, ia marah, hatinya sakit karena cemburu. Ia saja yang istri sah Gavin tidak pernah mengelap sudut bibirnya, kenapa wanita lain bisa menyentuhnya? Dan Gavin sama sekali tidak berusaha untuk menolak.

"Kalo gue jadi lo, sekarang gue bakal samperin si Gavin terus gebukin tuh cewek sialan!" bisik Alice tepat di depan telinga Felly, setelah itu ia beranjak dari duduknya lalu meninggalkan Felly yang tengah merasakan sakit hati, ia harus kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur sebagai seorang juru masak. Sedangkan Felly memalingkan wajahnya ke arah lain, ia tidak mau menatap ke arah Gavin lagi. Air matanya mengalir dengan deras, membuatnya melipat ke dua tangannya di meja lantas menenggelamkan wajah cantiknya yang di hiasi air mata di atas lipatan ke dua tangannya di meja. Isakan tangisnya mulai terdengar sampai ke gendang telinga Gavin dan juga sebagian para pengunjung Cafe, mereka semua dengan kompak menatap ke arah Felly yang tengah terisak. Gavin menarik ke sudut bibirnya, membentuk senyuman simpul nyaris tak terlihat, ternyata istri cantiknya tengah cemburu.

"Bisa cemburu juga? Kirain gak bisa." gumamnya dengan pelan lantas kembali menyesap kopi susu miliknya dengan pelan.

"Bapak tadi ngomong apa?" tanya Nadin merasa bahwa bos dinginnya itu tadi mengatakan sesuatu dengan nada suara yang sangat rendah hingga dia tidak bisa mendengarnya dengan baik.

"Gak ada!" balas Gavin denga nada dingin andalannya, netranya masih menatap ke arah Felly yang nampak tengah sesegukan, namun walaupun begitu, ia sama sekali tidak punya niatan untuk menghampiri gadis itu hanya untuk sekedar menyampaikan kalimat yang bisa menenangkannya.

"Itu klien kita pak!" seru Nadin yang membuat Gavin reflek menatap ke arah dua orang pria yang baru saja menghampiri mereka dan duduk tepat di hadapannya. Acara makan siang bersama dengan klien sembari mengobrol ria mengenai bisnis di perusahaannya mulai berjalan, sesekali Gavin melirik ke arah Felly yang masih duduk di sana, suara isakan gadis itu sudah tak terdengar lagi.

Alice melihat itu dari depan pintu dapur cafe sembari melipat ke dua tangannya di dada, menatap iba ke arah sahabatnya yang merasakan bagaimana rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Ia juga merasa geram dengan Gavin yang selalu tidak pernah menganggap Felly ada, pria itu sudah kelewat dingin. Bersikap dingin pada orang lain itu biasa, namun apakah pria itu tidak bisa bersifat hangat pada istri sahnya? Gavin sangat keterlaluan.

Salah satu tangan Alice terulur merogoh saku celemeknya, ia mengambil ponsel pintarnya yang ia letakkan di dalam sana lantas mengusap layarnya. Ia menyentuh layar saat ia menemukan sebuah nama yang akan ia hubungi, setelah nada sambungan terdengar, ia langsung menempelkannya di daun telinganya.

"Halo Alice!" sapa seorang wanita dari seberang telepon.

"Halo Bibi, bagaimana kabarmu?" tanya Alice hanya untuk sekedar basa-basi, helaan nafas kasar terdengar dari hidung seseorang yang tengah ia telepon.

"Aku tidak suka kamu basa-basi, langsung pada inti. Kenapa kamu menelpon bibi?" tanya wanita yang ei sebuta Alice dengan sapaan 'bibi' dari seberang, Alice tersenyum kecil, ia selalu menyukai wanita tua yang tengah ia telpon saat ini. Sangat paham dengan pribadinya dan juga keinginannya.

"Hubungan Felly dan Gavin semakin buruk!" adunya dengan jelas. Sambungan telepon langsung terputus, membuat Alice semakin melebarkan senyumannya dengan merekah. Setelah itu ia kembali menaruh ponsel pintarnya ke dalam saku celemek dan berjalan masuk ke dalam dapur cafe.

|×||×||×|

Acara makan siang dengan klien sembari mengobrol ria mengenai bisnis sudah selesai, Gavin dan Nadin berjalan keluar dari Cafe dan menghentikan langkahnya tepat di teras Cafe karena hujan deras mengguyur bumi hari ini.

"Kok hujan ya pak, kan dingin!" pekik Nadin memberi kode pada Gavin supaya pria itu memberikan jaz hitan yang ia kenakan untuk dirinya layaknya di dalam sebuah film-film romantis yang pernah ia tonton. Namun sepertinya Gavin menganggap suara Nadin barusan angin lalu, pria itu tidak peduli jika Nadin kedinginan. Memangnya dia siapanya Nadin? Pacar bukan, dia seorang bos!

Nadin menghela nafasnya dengan kasar lantas melingkarkan ke dua tangannya ke lengan kekar Gavin yang terasa sangat keras, membuat Nadin memekik senang dalam hati. "Setelah ini kan kita pulang pak, gimana kalau bapak mampir saja di rumah sewaan saya? Saya bakal bikinin bapak kopi susu hangat. Sekalian berteduh pak, rumah saya gak jauh dari sini." tawar Nadin dengan suara lembut yang di buat-buat untuk menggoda bos tampannya. Reaksi Gavin tetap sama, diam tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia merasa risih dengan tangan Nadin yang berada di lengannya.

Salah satu tangan Gavin terulur hendak melepaskan tangan Nadin yang bergelayut manja di lengannya. Namun belum sempat ia melepaskan tangan Nadin, ada seseorang yang tiba-tiba lewat di tengah-tengah mereka, membuat pegangan tangan Nadin terlepas dari lengannya dengan paksa dan agak sedikit kasar.

"Maaf saya mau lewat!" ucap Felly dengan suara yang serak khas orang yang baru saja menangis. Nadin mendengus kesal dan hendak meneriaki wanita itu dengan kalimat sumpah serapahnya, namun ia urungkan niatnya, mengingat bahwa ada Gavin di sisinya. Ia tidak mau membuat Gavin menganggapnya sebagai wanita yang kasar, ia mau di anggap Gavin sebagai gadis yang lemah lembut dan baik.

"Iya gak papa kok!" sahut Nadin menjawab permintaan maaf pura-pura dari Felly barusan. Mendengar suara Nadin barusan, Felly menghetikan langkahnya di depan Gavin tepat empat langkah dari jaraknya dengan suaminya, lalu menolehkan kepalanya ke belakang. Netra hitam hazelnya bertemu dengan mata elang Gavin yang menatapnya dengan dingin dan wajah yang datar nyaris sama seperti tembok walaupun pria itu tampan.

Dengan kesal Felly kembali melanjutkan langkah kakinya, menerobos hujan lebat yang tengah turun saat ini. Tidak peduli dengan tubuhnya yang akan sakit setelah kehujanan, ia marah, ingin menangis merasakan cemburu. Ia benci Gavin, walaupun hanya sedikit. Rasa cintanya pada Gavin jauh lebih besar dari pada kemarahannya saat ini, jika Gavin meminta maaf padanya mengenai kejadian hari ini, maka dia senang hati akan memaafkannya dengan syarat Gavin tidak boleh mengulanginya. Namun sepertinya itu tidak akan terjadi, ekspresi Gavin sama sekali tidak menyiratkan rasa penyesalan dan juga tidak merasa bersalah. Felly sekarang meragukan bahwa suami tampannya itu memiliki hati. Seseorang yang memiliki hati tidak akan bersikap seperti itu walaupun tengah berbuat salah.

Bugh. Semua orang yang tengah berteduh di teras cafe tersentak kaget saat melihat Felly terpeleset hingga jatuh terbaring di tanah. Kepala gadis itu terbentur dengan sangat keras hingga tak sadarkan diri.

"FELLY!"

My Cold HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang