Siang hari itu akan menjadi siang yang paling ia benci. Saat dimana kehormatannya harus direnggut paksa. Tidak peduli seberapa banyak rontaan, tendangan, teriakan dan perlawanan yang ia berikan, tetap tidak akan bisa mengalahkan sepuluh orang pria yang sudah terliputi nafsu. Yang sudah kehilangan akal sehat, dan hati nurani. Yang lupa bahwa walaupun tidak ada yang melihat, akan ada Tuhan yang senantiasa memperhatikan mereka dua puluh empat jam. Termasuk kegiatan bejat mereka.
Malam harinya gadis itu ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tatapan matanya kosong. Ia sudah hancur. Fisik dan psikisnya sudah rusak. Dua bulan tanpa keluar rumah. Hanya diam, menangis, lalu berteriak.
"Dia itu anak lo, kalau dia diperkosa ya salah dia dong!!! Suruh siapa genit!!?"
"Eh lo pikir lo nggak punya andil apa?! Makanya punya anak tuh ajarin yang bener!!!"
Teriakan-teriakan itu masih terdengar, menggema di penjuru rumah. Membuat hatinya yang tadi tenang, mendadak penuh dengan perasaan benci pada dirinya sendiri. Dirinya sudah kotor, tidak akan bisa dibersihkan lagi. Tidak ada lagi yang mengingkannya. Ia sudah terbuang.
"Keluar yuk? Siapa tahu kamu butuh suasana baru." Ajak sang kakak. Ia ikut merasa sakit hanya dengan melihat keadaan adiknya. Bahkan saat pertama kali ditemukan, adiknya itu takut akan sentuhan. Ia akan berteriak lalu menjauh. Ia sangat bersyukur sekarang keadaan adiknya sudah lebih baik. Ia tidak peduli pada orangtuanya yang saling menyalahkan atas kejadian yang menimpa adiknya. Ia pikir yang patut disalahkan adalah pria bejat itu. Selama ini yang disalahkan jika ada pelecehan seksual pasti korbannya. Sedangkan si pelaku masih bisa hidup tenang dan mencari mangsa lainnya.
Akhirnya gadis itu memutuskan untuk keluar rumah. Sudah lama ia tidak keluar dan melihat keadaan sekitarnya. Baru saja ia dan sang kakak berjalan menuju sebuah taman guna menghibur diri, telinganya mendadak sensitif dengan bisikan-bisikan para tetangganya.
"Oh itu yang waktu itu diperkosa? Pantes sih, siapa suruh cantik?"
"Ih sok cantik banget sih. Gue malah bersyukur dia kena kejadian itu. Biar dia tahu rasa!!!"
"Pantes sih dia kena, badannya dia itu ngundang banget sih."
"Gila, mau ditutupin sampe kayak orang-orangan sawah juga tetep aja kelihatan seksi. Beruntung banget kemarin yang nyicip."
"Gue udah lihat videonya. Panas banget bro!"
"Diih wajar sih diperkosa, orang dianya gitu."
"Eh katanya dia nggak diperkosa tahu, tapi suka sama suka."
"Kucing kalau dikasih daging seger kayak gitu mana ada yang nolak sih? Gue juga mau."
Gadis itu menutup kedua telinganya guna menghalau suara-suara yang tidak ingin ia dengar.
"Nggak usah didengerin dek." Ucapan sang kakak sudah tidak terdengar lagi. Suara yang bergema di telinganya adalah suara orang-orang yang saat ini menyalahkannya atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Bukan ia yang salah disini. Tapi para pria bejat itu yang seenaknya menarik dirinya ke sebuah gedung tua yang jarang didatangi warga.
"Bukan aku yang salah." Gumamnya.
"Bukan aku yang salah." Gumamannya semakin keras.
"Bukan aku yang salah!"
"Bukan aku yang salah!!"
"Bukan aku yang salah!!!" suaranya semakin meninggi lalu tergantikan oleh suara teriakan nyaring darinya.
"BUKAN AKU YANG SALAH!!!!"
Gadis itu memandang sekitarnya, lalu pandangannya terpaku pada sebuah benda yang mengkilat. Seakan memanggil dirinya untuk mengambilnya. Tatapannya kosong, namun bibirnya tersenyum sembari memegang pisau yang pastinya tajam itu.
"Dek simpan pisaunya ya. Kamu nggak salah. Mereka yang salah." Sang kakak mencoba membujuk adiknya yang saat ini sedang melajukan pisaunya pada pergelangan tangan adiknya.
"Dia bilang kita yang salah? Nggak salah ngomong tuh? Adeknya sendiri yang salah." Bisik para tetangga yang menyaksikan secara langsung bagaimana gadis berbaju putih itu menyayat pergelangan tangannya dengan perlahan.
"DIAM KALIAN SEMUA!!!" sang kakak murka. Yang ia inginkan adalah adiknya berhenti menyakiti dirinya sendiri.
Sayatan-sayatan mulai jelas terlihat, lalu dengan cepat tertutup oleh darah yang mengalir. Mengubah baju putih itu dengan warna merah. Senyum gadis itu makin melebar saat melihat lelehan darah di pergelangan tangannya. Ia menengadahkan kepalanya, meresapi rasa sakit yang ia timbulkan dari sayatan itu. Rasanya menyenangkan! Memang tidak mengurangi rasa sakit dihatinya namun setidaknya memberinya sebuah wadah untuk menyalurkan rasa sakitnya. Semakin lama, sayatan itu semakin cepat bertambah, diiringi dengan bertambah lebarnya senyumannya. Gadis itu menatap sang kakak yang sudah menangis di hadapannya. Yang tidak ada henti-hentinya meminta dirinya berhenti.
"Kakak, ini rasanya enak lho. Mau coba?" tanya gadis itu riang. Seakan-akan hal yang ia tawarkan itu adalah hal yang menyenangkan. Sampai gadis itu mendengar suara-suara yang mengatakan bahwa dirinya gila. Tawa itu berubah isakan. Lalu ringisan.
"AAAAAAAAAAAAAA BUKAN AKU YANG SALAH!!!" Teriakan itu menjadi akhir. Tidak ada lagi sayatan. Berganti dengan sebuah tusukan tepat di dadanya, ia koyak lukanya agar dapat mengurangi rasa sakitnya. Nihil. Rasa sakitnya masih ada. Rasa sakitnya tidak berkurang, malah semakin bertambah. Ia koyak lebih dalam sampai ia tidak dapat menemukan nafasnya. Sampai darah dalam tubuhnya mengalir deras. Menggantikan air mata yang seharusnya keluar. Kematian, menjadi akhir dari rasa sakitnya.
Castle of glass atau istana kaca adalah istana yang indah. Banyak orang menginginkannya karena keindahannya. Berebut untuk mendapatkannya. Namun istana kaca adalah istana yang rapuh. Sedikit saja ada kerusakan, tidak ada lagi yang menginginkannya. Mereka tidak tahu bahwa keinginan mereka untuk mendapatkan istana kaca itu telah merusaknya secara perlahan. Kerusakan itu menjadi cacat dalam keindahan itu. Akhirnya dirusaklah istananya karena cacat itu sudah menganggu keindahannya. Sampai akhirnya, istana itu dihancurkan berkeping-keping. Tidak bersisa.
YOU ARE READING
The Way I Love You
Short StoryKumpulan drabble singkat dalam rangka mengikuti #angstober2019 Prompts list by Rexa Anne