9. || BIAN

216 22 2
                                    

Bagaimana kabar Mbok?" tanya ismi dengan nada santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagaimana kabar Mbok?" tanya ismi dengan nada santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Alhamdulillah, mulai membaik nyah."

"Bagus kalau begitu, saya harap mbok sudah mengetahui jika mbok tidak dapat berkerja lagi di keluarga kami,  dengan mau tak mau mbok harus kembali ke kampung," lanjutnya.

Terdengar helaan nafas dan rintihan orang yang sedang menangis dari seberang telepon. Ya, si mbok tentu saja sedih karena harus berhenti bekerja di rumah yang sudah lama diabdinya.

"Sudah nyah."

"Yasudah kalau begitu, secepatnya saya akan mengurus kepulangan si mbok ke kampung," final ismi dan memutuskan telepon secara sepihak.

Mbok Inah menghela napas berat, mengusap tetesan demi tetesan air yang mengalir deras di pipinya yang berkeriput. Ia tahu, bahwa majikannya memang tidak perduli dengan kondisinya, sebenarnya bukan itu yang membuatnya sedih. Ia takut bahwa Bian makin di siksa dengan siksaan yang lebih parah lagi, sementara tidak ada yang melindunginya sama sekali. Ia teringat akan masa kecil Bian yang selalu berada di gendongannya, ia membacakan sholawat ketika Bian hendak tidur, rela begadang demi menunggu Bian tertidur pulas serta tidak menangis lagi, memandikannya dan mengajarinya dari mulai merangkak sampai Bian bisa berjalan, Mengobati luka ketika Bian terjatuh, menyuapi Bian makan, membuatkannya susu si tengah malam dan menjaganya agar Bian dapat tertidur. Juga si Mbok layaknya guru yang mengajarinya berhitung, membaca dan menulis, serta mengenal binatang dan tumbuhan di sekitar. Juga Mengajarinya menendang bola, dan bermain-main di taman.

"Aden, jangan lari lari...." teriak si mbok dengan napas tersengal.

Bian kecil menghentikan kakinya, menoleh ke belakang melihat si Mbok yang kecapean karena mengejarnya.

"Ayo Mbok, kejar aku lagi. Kalau nggak, aku nggak mau makan. TITIK!" ucap Bian merajuk.

Si mbok pun mengejar bian kembali demi sesendok nasi yang di bawanya masuk ke mulut anak kecil itu.

-x-

Mia menghampiri Ismi yang kala itu sedang menonton televisi di ruang tamu. Mengambil camilan yang ada di atas meja dan memasukannya ke mulut. Kebetulan di luar sedang hujan. Sekaranglah, waktu yang tepat untuk orang bersantai-santai.

"Adik-adikmu kemana?" tanya ismi. Kemudian, menyeruput secangkir teh hangat ke dalam mulutnya.

"Mereka tidur, mungkin karena kecapean," jawab Mia sambil melipat kedua kakinya di atas sofa.

Keduanya melanjutkan aktivitasnya masing-masing tanpa ada obrolan lebih lanjut.

Tok....
Tok....
Tok....
 
Ketukan pintu membuat keduanya menoleh satu sama lain.

"Kamu buka sana," perintah ismi. Mia bangkit dari duduknya berjalan mendekati pintu, lalu membukanya.

Guztav segera masuk menerobos Mia yang ada dihadapannya. Ia berjalan secepat mungkin menuju kamar Bian dan merebahkan anak kecil yang sedang tertidur itu di atas kasur. Mia yang sedari tadi mengekori papanya hanya berdiri di depan kamar bian tanpa berniat masuk.

Bian [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang