P e r h a t i a n.
Ini part khusus Aji.
S e k i a n.
Hari ke hari ku lewati dengan kebosanan. Sudah satu minggu aku menetap di rumah neneknya Davi. Sekilas info, saat kami bertiga tiba di sini, kami mendapat kabar bahwa neneknya sudah meninggal setahun yang lalu. Rumahnya masih utuh, hanya sedikit berdebu dan menakutkan. Mungkin, sudah lama tidak dihuni.
Jujur, aku merasa tidak enak karena mengingat perbuatanku yang jahat serta kejam kepadanya. Akupun tak habis pikir, kenapa Davi bisa memaafkanku. Apakah hatinya terbuat dari baja? Akupun tak mengerti ini semua.
Aku hanya bisa duduk, makan dan minum, dan tertidur. Aku tidak ada uang untuk mengobati kakiku yang pincang akibat tertembak saat melarikan diri, serta tidak dapat bekerja seperti biasa. Setiap kali Davi pulang mengamen, ia selalu membawa satu nasi bungkus yang kita makan bertiga. Aku merasa sangat membebaninya.
Setiap kali aku bertanya, 'mengapa kamu masih mau mengurusku yang telah berbuat jahat kepada mu?'
Dia selalu menjawab, 'sejak kecil, bapak selalu mengajarkan kepadaku bahwa kita harus meneladani sifat dan sikap yang dimiliki junjungan kita, yaitu Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak pernah membalas perlakuan kasar ataupun caci maki orang lain. Justru sebaliknya, beliau selalu mendoakan orang yang telah berbuat jahat dan dzolim kepadanya. Meskipun aku tidak sebaik beliau, setidaknya aku bisa meneladani sifat dan sikapnya yang mulia.'
Hatiku bagai tertusuk pisau yang tajam, kata katanya sangat mengingatkanku akan dosa yang telag ku perbuat selama ini. Aku membisu dan tangisku pecah, kenapa anak sekecil Davi bisa sikapnya lebih dewasa daripadaku yang umurnya jauh diatasnya.
Ia mengajarkan kepadaku cara untuk sholat. Karena sholat adalah tiang agama, katanya. Akupun selama satu minggu ini, selalu mengikuti kajian rutin yang diisi ceramah oleh ustadz Yang ada di kampung ini.
Semakin hari pemahamanku akan Islam semakin bertambah. Meskipun aku cacat sekarang, dan tentunya polisi sedang memburuku. Setidaknya, jika aku di vonis hukuman mati nantinya, aku sudah bertaubat ke jalanNya. Jalan yang diridhoi Allah.
siang itu, bapaknya Ali mengalami kejang-kejang yang luar biasa. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dengan tongkat kayu yang dibuatkan Davi untukku, aku berjalan ke luar rumah mencari pertolongan.
Kebetulan pak ustadz yang sedang melintas di depan rumah, mendengar teriakkanku meminta tolong. Aku sangat bersyukur karena masih ada yang mau menolong ayahnya Davi.
"Tolong tolong!" Teriakku dari depan pintu, aku tak dapat berjalan lebih jauh. Karena khawatir tongkat yang aku gunakan sebagai penunjang tubuhku akan patah.
"Astaghfirullah, ada apa pak?" Tanya pak ustadz yang sedang melintas, lalu menghampiriku.
"Tolong saya pak ustadz, bapaknya Davi di dalam sedang kejang-kejang," paparku dengan nada cemas dan khawatir.
Dengan cepat pak ustadz mengecek tubuh bapaknya Davi, lalu terakhir memeriksa denyut nadi. Ia menggelengkan kepala. Aku menjadi semakin bertambah panik.
"Innalilahi wa inna ilaihi Raji'un," ucapnya membaca kalimat tarji.
Davi dengan cepat memasuki rumah tanpa salam. Sebungkus nasi yang seperti biasa dibawanya saat pulang, dilemparkan begitu saja ke sembarang arah.
"BAPAAK!!!!" Pekiknya kencang. Tubuhnya langsung ambruk memeluk seseorang yang sudah tidak bernyawa itu. Tangisnya sangat keras, dan tak henti henti.
"Sudahlah nak Davi, sebaiknya kamu ikhlaskan bapak kamu. Mungkin ini sudah ajalnya," nasehat pak ustadz sambil mengelus pundak Davi.
"Maafkan abang Davi, abang bagai manusia tidak berguna. Yang tidak bisa menjaga bapak kamu," ucapku mengiba. Aku benar benar sedih, karena kejadian ini mengingatkanku akan bapak yang telah meninggal sejak usiaku sama seperti Davi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bian [PROSES REVISI]
Non-Fiction---{Proses revisi}--- "Tolong Bi, jangan siksa Bian," mohon Bian sambil menangis karena Bi Dira menarik tangannya dengan kasar. "Udah ikut aja nggak usah bawel, atau ... lo mau gw tambah lagi siksaannya, hah?!" ancam Dira. Dira menghentikan langkah...