Tiga

26 3 23
                                    

Selamat membaca
.
.

Aku dan Dhesy baru saja bermain di sungai yang letaknya tidak jauh dari rumah biyung hanya dengan berjalan kaki sambil menikmati pemandangan hijau pegunungan.

Kami menuju arah kembali kerumah, disepanjang jalan tumbuh pohon jambu mede atau masyarakat lebih mengenal jambu monyet. Yang lebih terkenal dari jambu monyet ini biji yang terdapat diluar buah berwarna cokelat kehitaman dan berkulit keras inilah yang disebut mede atau mete.

Aku mencoba meraih buah yang berwarna merah, "Niat banget sih Al, ngga nyampe juga kan," kata gadis berkacamata itu.

"Bentar Des, jarang-jarang nemu pohon yang lagi berbuah gini."

"Ini sudah ada tiga, masih kurang? Lagian buah sepet begini doyan banget."

"Ini yang terakhir habis ini kita pulang."

.

Digenggaman sudah ada empat buah jambu mede, Aku sudah tak sabar ingin mencobanya.

Sebuah mobil berwarna hitam terparkir di halaman rumah bersebelahan dengan mobil Lona. "Eh Des, itu mobil warna item punya siapa yak?" tanyaku pada Dhesy.

"Mana gue tau, kerabat lu kali," jawabnya.

"Ya udah lah gua sudah ngga sabar pengen icip-icip buah ini."

Aku segera bergegas menuju dapur untuk mencuci buah, ternyata ada biyung didepan tungku sepertinya mbok Je sedang membuat sesuatu. Ya dapur di rumah ini masih berlantai tanah jadi memudahkan untuk memasak menggunakan tungku, tenang di rumah ini juga ada kompor gas kok jadi kalau mau merebus air hangat untuk bikin teh ngga perlu nyalain tungku dulu. Tahu kan tungku yang bahan bakarnya menggunakan kayu kalau ngga tau silahkan cari di internet. Masak menggunakan tungku ini lebih sederhana dan membuat rasa masakan lebih enak. Ngga percaya? Sini main ke rumah mbok Je kalian akan di masakin sayur santan tahu yang banyak irisan cabai bikin kalian nangih dan ngga ragu untuk nambah.

Setelah mencuci keempat buah jambu mede ditambah biji mede yang didapat dari buahnya yang sudah jatuh, aku ikut bergabung duduk didepan tungku bersama biyung dan Dhesy tak lupa meletakkan biji jambu ke dalam bara, sambil menunggu bijinya matang aku menikmati buah yang tadi dipetik rasanya manis, asam sedikit sepat tapi enak.

"Aku tadi habis dari sungai terus lihat ada jambu ini, Biyung mau coba?" Aku menawarkan biyung.

"Nggak, itu asam," katanya sambil mengekspresikan raut mengerut.

"Enak loh Biyung, Ngga asam," kataku lagi.

"Sudah kamu makan saja," katanya.
Aku menyodorkan buah pada Dhesy, perempuan itu harus merasakan sensasi buah ini, "Des cobain deh." Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, "Manis kaga? Kata nenek lu asam," tanyanya memastikan.

"Cobain aja," suruhku. Dengan ragu dia menggigit sedikit buah itu raut wajahnya mengkerut, "Kampret buah asem udah gitu sepat doyan banget, lu aja yang habiskan," ucapnya sebal membuatku tertawa.

"Si Lona harus nyobain, biar ini sisanya buat dia," kataku.

Aku menoleh ke arah biyung, "Biyung, yang bertamu itu siapa?" tanyaku penasaran soalnya ini masih kanpagi  tumben aja gitu.

"Katanya teman Nugraha, katanya kebetulan lewat sekalian mampir," kata biyung dan aku ber-oh ria.

Bunyi suara nyaring dari dalam bara api tanda biji yang ku bakar sudah matang, aku mengambilnya kemudian membaginya pada Dhesy. "Nih cobain mete homemade."

Dengan ragu Dhesy mengambil Mede dari tanganku, "Awas kalau ngga enak ya." Aku mengangguk.

Terdengar derap langkah dari kaki-kaki mungil menghampiri kami, itu Mahesa anak dari sepupuku mbak Anti. Anak laki-laki itu datang bersama seorang anak perempuan, kalau aku tidak salah ingat anak perempuan itu yang tersesat di alun-alun Klaten kok dia bisa disini?

Aku menarik Mahesa untuk memangkunya, "Hei jagoan, ada apa kesini?"

"Mbak Al lagi ngapain?" tanyanya.
Pandanganku mengarah ke anak perempuan bersama Mahesa, aku mengelus rambutnya, "Kamu siapa namanya?"

"Shakila, Kak," jawabnya dengan volume suara yang kecil, apa ini anak malu? Bikin gemas deh.

"Kalian mau ini?" Aku menawarkan biji mede kepada kedua bocah itu dan mereka menerimanya. "Kulitnya dikupas dulu, begini." Mereka mengikutiku cara mengupas biji mede dari kulitnya, melihat ekspresi kedua bocah itu membuatku gemas, aku memeluk dan mencium pipi gembil Mahesa hingga membuat bocah itu tertawa.

"Mbak Al dipanggil pakde," kata Mahesa ditengah kunyahannya.

Pakde tau kalau aku ada di dapur? Oh iya pakde pasti lihat aku sebelum masuk dapur tadi secara rumah ini memiliki dua pintu, satu pintu utama menuju dalam rumah satu lagi pintu yang langsung terhubung dengan dapur.

Aku pamit pada biyung dan Dhesy untuk menemui pakde, kedua bocah berjalan di depanku menuju ruang tamu.

Aku berdiri di sebelah pakde Karto, "Ada apa Pakde?" tanyaku. Pakde menoleh kearahku begitupun seorang pria di hadapan pakde Karto ikut menoleh.

"Sini duduk dulu." Aku ikut duduk disebelahnya, "Kamu dari mana saja tadi?" tanya pakde.
"Cari jambu mede, ada apa Pakde?" tanyaku lagi.

"Pakde mau mengenalkanmu dengan seorang pria, laki-laki dihadapan kamu namanya Bagas," ujar pakde.

Pria berkulit putih, kaos berwarna peach dengan bawahan blue jeans di hadapanku tersenyum mau tak mau aku ikut tersenyum sebagai bentuk kesopanan.

"Dan Bagas perkenalkan ini keponakan saya Alana," katanya. Setelah ajang perkenalan pakde serta pria yang bernama Bagas itu asik mengobrol seputar bisnis dan pekerjaan, aku boleh pamit ke dapur aja ngga sih? Daripada ngga diajak ngobrol kan mending ke dapur disana jambu mede ku masih menunggu untuk diicip.

Aku mendekat ke pakde, "Aku ke dapur lagi ya Pakde." Pria paruh baya itu mengangguk.

.
.
Aku sedang mencuci piring bekas makan tiba-tiba suara Lona mengejutkan ku. "Dhesy kemana, Al?" tanya pria itu.

"Kaget gua, dia di kamar. Kenapa dah?"

"Eh tau ngga tadi gua ikut bantu bajak sawah, seru dah," ujarnya antusias.

"Iya iya seneng seneng mah lupa sama temen, giliran susah aja dateng ke temen ya Des?" Dhesy yang kebetulan muncul langsung ku kode untuk jadi sekutu.

"Nah iya Al, giliran susah ngajak ngajak. Itu temen?" sindir Dhesy makin memojokkan Lona.

"Apaan si kompor amat nih kampret," ujar Lona kesal sambil menunjukku.

"Lah emang bener kan Des?" Aku makin gencar membuat pria itu kesal, "Betul sekali," ucap Dhesy membuat Lona makin gondok dengan kami.

Lona melangkah keluar dapur, "Kemana lagi?" ledekku. Lona tidak menjawab, "Cowok kok baperan," ledek Dhesy lantang, sengaja biar si Lona dengar.

Pria itu menyembulkan kepalanya di pintu menatap kami, "Kampret," katanya sontak membuat aku dan Dhesy tertawa.

Kami menang🤣

.
.
.

Terimakasih sudah membaca🤗

#Thespiritofwriting03

Seikacang

With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang