ㅡ 3. Dirimu Yang Sebenarnya

7.5K 1.2K 67
                                    

"Apa cita-cita Jeno saat dewasa nanti?"

"Aku ingin jadi dokter!"

"Kenapa kau ingin menjadi dokter?"

"Karena aku ingin.. menyembuhkan orang-orang disekitarku!"

"Jeno, menjadi dokter bukan hanya harus menyembuhkan penyakit seseorang, tetapi memberi dorongan kepada pasien agar ia yakin sembuh dari penyakitnya. Apa kau bisa?"

"Um!"

✾✾✾

Sejak kecil, aku sangat ingin menjadi dokter. Berada di lingkungan orang tua yang mempunyai nama baik, membuatku harus menjaga itu semua. Aku harus bersikap sopan, berprestasi, dan harus membanggakan keluargaku.

Ayah adalah seorang dokter spesialis anak. Saat itu, ayah membawa tas berwarna hitam dengan bentuk segiempat. Ia selalu pergi berkerja dengan setelah jas warna putih yang tampak membosankan. Namun, ayah bilang, ini adalah seragam terbaik didunia. Aku yang belum mengetahui apapun tentang dunia kesehatan, menganggap hal itu adalah suatu keanehan.

Aku yang masih kecil mencoba berbagai macam hal, untuk mencari jati diri. Bersepeda, bermain basket, sepak bola, bahkan hingga ke alat musik. Aku diberi kebebasan untuk mencoba semua hal, selagi aku menyukainya.

Lee Jeno kecil menyukai bersepeda. Aku menaiki kendaraan tanpa mesin tersebut, tak menghasilkan polusi meskipun perlu tenaga lebih itu menggerakannya. Mengayuh sepeda kecilku menyusuri kompleks perumahan, taman, hingga aku mulai berani menyusuri bukit dibelakang rumah.

BUGH.

Aku tak ingat apapun. Memoriku berputar antara pepohonan rindang, ranting-ranting, hingga terakhir aku melihat sepeda kecil kesayanganku terbalik.. ada darah yang mengucur dari pelipis dan lututku. Untuk pertama kali aku merasakan sakit yang luar biasa disekujur tubuh, sampai tak sadarkan diri.

Aku terbangun di ruangan kerja ayah. Dengan perban yang menutupi lutut kanan juga setengah kepala. Ayah menjelaskan bahwa lutut dan dahiku sobek, sehingga harus dijahit. Selama dijahit, aku tak sadarkan diri. Ayah menyuntikan anestesi.

Hari-hariku dihabiskan dirumah sakit  setelahnya. Ayah selalu memantau kesehatanku, namun ia tetap menjalankan tugasnya memeriksa kesehatan anak-anak.

Figur tinggi dan tegapnya berbanding terbalik dengan sifatnya yang begitu mengayomi. Senyuman tulusnya tercipta saat ia selesai melakukan pemeriksaan, dan karena hal sederhana itu, ia menebarkan kebahagiaan begitu banyak.

Aku ingin menjadi seperti dirinya. Berguna bagi orang-orang disekitarkuㅡdan dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain.

“Ayah, aku ingin menjadi dokter.”

Mimpiku, berawal dari sana.

✾✾✾

“Bagaimana perkerjaanmu, Jeno?” tanya Ayah pada acara makan malam keluarga kami. Sejak aku menjadi seorang dokter, aku jarang mempunyai waktu untuk dihabiskan bersama keluarga.

Ayah tetap seperti dulu. Sikap hangat dan paras lembutnya. Yang berbeda hanyalah kerutan diwajahnya yang semakin bertambah usia.

“Baik. Aku menikmati saat memeriksa pasien.”

“Ayah teringat saat kau kecil. Kau dengan mudahnya memutuskan ingin menjadi dokter, Ayah kira hanya keinginan belaka. Tapi hingga dewasa, kau terus mengejarnya.”

Doctor J. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang