Stephanie Aussie Radcliffe , seorang gadis berambut panjang blasteran Korea-Australia yang kini tinggal di Indonesia. Vava panggilnya, gadis belia yang tertarik pada dunia basket sejak sekolah dasar. Bermula dari sebuah pemikiran yang mengatakan bahwa bermain basket itu mudah, hanya sekedar lari, melompat, melempar, lalu masuk ke dalam ring, dan mencetak gol, selesai. Tapi semua tak semudah yang dibayangkan.
"Va, lo pasti bisa."
"Yak, three point. Pertandingan hari ini selesai, dengan dipimpin oleh Valtameri High School Selamat."
Akhirnya selesai.
"Wuih, hebat. Nih minum buat lo."
Kelima sahabat Vava, datang untuk melihat pertandingan hari ini. Selalu, mereka selalu datang disetiap pertandingan. Bahkan mereka selalu bergantian untuk saling mendukung satu sama lain.
"Tunggu bentar, gue mau bilang makasih ke anggota gue." kata Vava dan pergi menjauh dari mereka. Yap, Vava seorang kapten basket disekolahnya. Jadi, bagaimanapun Vava harus tetap berterimakasih kepada mereka atas kerja keras dan kekompakan mereka.
"Wey selamat, makasih banyak btw. Semoga dipertandingan selanjutnya kita bisa lebih baik dari sekarang, Amiin. Applause for us. Coach, thanks ya udah ngajarin kita-kita." ucap Vava yang diikuti suara tepuk tangan dari teman-temannya.
"Your welcome."
"Iya coach, makasih." kata gadis yang lainnya.
Saatnya pembagian medali. Vava maju pertama diikuti oleh anggota lainnya. "Selamat ya," kata juri yang mengalungkan medali di leher Vava. Gadis itu tersenyum ceria, ada rasa bangga yang melekat di hatinya. Meski bukan untuk yang pertama kalinya, Vava tetap merasa ini adalah pencapaian yang luar biasa.
°°°
"Vava in here." Teriak Vava ketika telah sampai di rumahnya. Sepi, hanya itu yang bisa digambarkan oleh Vava mengenai keadaan rumahnya.
"Brother, where are you? Tadi kok ga nyamperin Vava, sih?" lagi-lagi Vava berteriak dan sekarang mulai berjalan mengelilingi rumahnya, mencari keberadaan sang kakak. Hampir semua ruangan kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan disini.
Vava mulai kelelahan dan memasuki kamarnya. Baru saja membuka pintu, Vava dibuat kaget dengan apa yang terjadi di kamarnya. Boneka-boneka yang awalnya berada di kasur kini sudah berserakan kemana-mana. Selimut yang awalnya tertata rapi sekarang terlihat kusut. Vava melihat ada gundukan dikasurnya yang tertutup selimut. Gadis itu mulai mendekati kasurnya dan perlahan membuka selimutnya.
"Loh, abang?" ucap Vava ketika melihat seorang laki-laki yang tidur di kasurnya. "Wake up, ngapain tidur disini sih? Kan ada kamar sendiri." Vava menarik tangan kakaknya, tapi yang ditarik tetap diam saja dan tidak peduli.
"Ih, abang bangun!!!" Teriak Vava akhirnya.
"Ngapain sih berisik lo!" jawab laki-laki itu pada akhirnya karena merasa tidurnya terganggu.
"Abang ngapain tidur disini? Bukannya tadi abang nonton pertandingan Vava, kok tiba-tiba udah disini?" Laki-laki itu'pun duduk di kasur Vava masih dengan muka bantalnya. Vava juga duduk pada akhirnya, tapi ia duduk di sofa sudut kamarnya.
"Pertandingan apaan?" tanya laki-laki itu. Bryan Nicholas Radcliffe, dua tahun lebih tua dari Stephanie Aussie Radcliffe.
"Pertandingan basket gue woy!!" teriak Vava kesal. "Jangan bilang lo ga dateng?" tanya Vava sekali lagi, kemudian bangkit menunju ke kamar mandi. Otaknya benar-benar butuh pendinginan. Bryan hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Laki-laki itu lupa soal janji yang ia lontarkan pada adiknya kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENUA
Teen FictionCerita ini berkisah tentang persahabatan enam gadis yang penuh ambisi dengan kelebihan yang berbeda-beda. Pertandingan, permusuhan, perdebatan, dan percintaan turut serta mendampingi kisah mereka. Cerita ini bermula dari pendidikan menengah pertama...