Kabut pekat menyelimuti, hawa dingin menyergap. Pandangan Vio mengabur, tapi ia masih bisa melihat bayangan dua orang yang sangat dicintainya.
"Mama," panggil Vio. "Oma." Mata Vio berkaca-kaca, ia menerjang kabut menghambur ke arah dua orang itu.
Tapi yang terjadi hanya angin yang berhasil Vio dekap. Vio mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok keduanya yang tiba-tiba menghilang.
"Mama, Oma!" teriak Vio, suaranya bergema di tengah malam. "Jangan tinggalin Vio sendiri, Vio takut," cicitnya.
Vio berputar, matanya terus mengedar mencari-cari sosok mama dan omanya. Tapi sepertinya sia-sia, mereka menghilang. Vio terduduk lemas, meratapi kesendiriannya.
"Mama, Vio takut. Oma jangan pergi. Kenapa kalian tega tinggalin Vio sendirian." Vio menutupi wajahnya, tangisnya pecah.
"Viona." Suara merdu itu menginterupsi Vio.
Vio menghentikan tangisannya, kepalanya mendongak mencari arah suara yang memanggilnya.
"Viona Sayang."
"Mama, Oma," gumam Vio saat melihat sosok dua perempuan mengenakan gaun putih, berdiri tak jauh darinya. "Mama, Oma." Vio beranjak berdiri, matanya berbinar.
"Maafin mama sama Oma ya Sayang. Kami harus pergi," ucap wanita muda itu.
"Mama mau ke mana?" Vio berjalan mendekat. "Mama gak boleh pergi. Mama gak boleh tinggalin Vio sendiri. Mama ...." Belum sempat Vio menggapai keduanya, bayangan itu tiba-tiba menghilang digantikan asap putih.
"Mama ...."
"JANGAN PERGI!!!" teriak Vio, matanya terbuka lebar dengan keringat bercucuran di dahi.
Vio mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ia berada di kamarnya. Lagi-lagi Vio mengalami mimpi buruk.
Sudah seminggu semenjak kematian oma, wanita yang mengasuh Vio sejak kecil. Rasa kehilangan membuat Vio selalu diliputi kesedihan, hingga mimpi-mimpi buruk itu datang setiap malam, membuat Vio gelisah dalam tidurnya.
Vio berjalan menuruni tangga, langkahnya terhenti saat ia tiba di ruang makan.
"Kamu sudah bangun?" sapa seorang wanita yang sedang menyiapkan sarapan. "Duduklah, mama sudah buatkan sarapan."
Vio mengabaikannya, ia melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mengambil segelas air dingin.
"Pagi," seru seorang gadis, wajahnya tampak ceria. "Pagi, Viona," sapa gadis itu.
Lagi-lagi Vio mengabaikannya, ia hanya melirik sekilas gadis itu. Gadis yang seumuran dengannya. Vio hendak kembali ke kamarnya, namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seseorang berjalan ke arahnya.
"Duduklah, ada yang mau papa obrolin sama kamu." Pria itu tersenyum tipis pada Vio.
Vio tak menyahut, tapi ia menurut untuk duduk. Mulutnya masih bungkam ketika ia duduk berhadapan dengan pria itu yang ternyata Dimas, papanya.
"Papa sudah urus kepindahan kamu, jadi hari ini kamu kemasi semua barang-barang kamu———"
"Vio gak bakal pergi," sela Vio memotong ucapan papanya.
"Viona, papa gak mungkin biarin kamu sendirian di sini————"
"Udah biasa sendiri." Lagi-lagi Vio menyela ucapan papanya.
"Viona, please. Kali ini saja jangan bantah papa. Ini amanat oma dan juga kewajiban papa buat ngerawat kamu."
Viona mendengus. Ia menatap papanya dengan datar. "Papa tetep bakal maksa aku kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
VIONA (Terbit)
Ficção AdolescenteLuka masa kecilnya membentuk Viona jadi pribadi yang tertutup. Trauma akan kematian ibunya membuat Viona membenci semua lelaki. Namun semua berubah ketika Viona pindah ke sekolah barunya. Viona tak tahu kenapa cowok itu terus menatapnya, matanya ya...