Sakitnya Pras.

2.2K 139 30
                                    

"Kak Agra mau pulang?"

Suara di seberang sana membuat Arimbi berjingkrak kesenangan. Gadis itu tak menyadari sekarang berada di mana. Di kampus. Seseorang berdaham dari arah belakang. Arimbi sempat menoleh. Namun pemuda bernama Althaf itu langsung berlalu begitu saja. Arimbi dibuat menganga oleh pemuda itu. Sekian detik kemudian, ia mengangkat bahu tak peduli.

🌿🌿🌿

"Emangnya kabar yang beredar itu beneran, Bi?"

Arimbi mengangguk. Ucapan sahabat di sampingnya tak begitu ia respon dan memilih menyibukkan diri dengan mencoret kertas kosong di pangkuannya.

"Kata psikiater gimana?"

Tangan Arimbi terhenti, "Gak usah bahas papa gue lagi. Intinya papa udah gila. Dokter jiwa yang nanganin Papa Pras bilang, papa udah gila permanen," tukasnya.

"Ya gak mungkinlah. Gila permanen. Emangnya spidol."

"Udah gak usah bahas papa, Keyla. Biarin aja kek gitu."

Arimbi bangkit dan meninggalkan Keyla. Keyla menatap langkah Arimbi yang semakin menjauh. Ia hanya bisa memandang iba pada sahabatnya itu.

Seseorang menjitak kepala Keyla dari arah belakang, "Lagian ngapain bahas papanya sih, Dek?"

Keyla menoleh sejenak, "Gue cuma penasaran sama kabar itu. Makanya gue nanya sama orangnya langsung." Ia pun berdiri menghadap pemuda di belakangnya. "Kak Althaf dengerin pembicaraan gue sama Arimbi tadi?"

"Dikit. Pulang yuk!" ajak Althaf.

Keyla mengangguk dan memeluk lengan Althaf. Mereka berjalan menuju keluar kampus.

Dari kejauhan, Arimbi menoleh dan melihat Althaf dan Keyla dengan tatapan yang sulit diartikan. Selebihnya ia berlalu sembari memeluk buku-buku tebal di tangannya. Arimbi merasa sendirian. Faesya yang memang cuek walaupun mereka satu kampus. Agra yang lebih akrab malah entah di belahan bumi bagian mana sekarang. Sang sahabat Keyla yang jadi teman hang out-nya malah asik dengan pertanyaan mengesalkan dan pacar barunya. Pulang ke rumah sama saja dengan melihat kesedihan sang mama yang tak berujung. Arimbi melempar kaleng kosong di depannya sampai tepat mengenai tempat sampah yang menganga lebar di ujung sana. Namun ia tak peduli. Pikiran suntuk lebih memenangkan dari rasio akal normalnya kini.

Di tengah kegamangan batin, tangan Arimbi malah menyetop taksi yang akan lewat di depannya. Menuju tempat pulang. Yaitu rumahnya. Kamar tujuannya.

🌿🌿🌿

"Arimbi sudah pulang? Gak salim sama mama?" sapa Adara.

Ekspresi setengah tak bergairah dengan langkah lesu menuju pada sang mama. Punggung tangan lembut Adara, ia ciumi. Tangan hangat yang sudah melahirkannya ke dunia, selalu memberinya kekuatan dan peneguh ketika hatinya akan runtuh. Namun Arimbi tak mau melihat pada Adara. Karena Arimbi tahu, kelopak mata mamanya itu pasti sedang bengkak dengan sisa bening di  sudutnya.

"Apa begini sikap anak mama?"

"Maaa ..., Arimbi capek," keluh Arimbi.

Bukannya mengiyakan dan membiarkan Arimbi menuju ke dalam kamarnya, Adara malah menggenggam tangan sang putri dan mendudukkannya di sofa.

(Bukan) Harapan di Atas SajadahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang