05. Di balik harapan yang patah

2.5K 129 0
                                    

Kanjeng Ratu yang terhormat 👑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kanjeng Ratu yang terhormat 👑

.

.

.

"So... explain to me. why-did-you-do-that?" Ujar Kanjeng Ratu.

Masih dengan ekspresi datarnya. Tapi kalimat penuh penekanan itu berhasil membuat lawan bicaranya bergindik ngeri.

Kanjeng Ratu meneliti penampilan keduanya pagi ini. Anay masih mengenakan gaun semalam, rambut acak-acakan, make up berantakan yang belum sempat di hapus. Sedangkan Tian, kemeja kusut, rambut berantakan dan entah dimana dasi kupu-kupunya semalam.

Astaga! Kanjeng Ratu memijat pelipisnya.

"Nggak ada yang mau di jelasin?" Tanyanya lagi, menatap Anay lalu Tian. Keduanya menunduk diam, entah merasa bersalah atau otaknya blank.

Kanjeng Ratu mengangguk, kedua tangannya terlipat di dada. "Oke, so listen to what I'm going to say."

Sontak keduanya mendongak, menatap Kanjeng Ratu dengan perasaan was-was.

"Tante tau, perusahaan bukan prioritas utama kalian. Tapi, dengan menyandang nama besar Dirgantara dan Pramudya---You guys are joking in the wrong place." Kanjeng Ratu mendesah frustasi, lalu menatap Anay tajam. "Dan untuk kamu, jangan pikir kamu bisa lolos karena nggak ada yang tau kalau kamu adalah anak dari Dirgantara. Saat ini, Dewan komisaris dan para pemegang saham sedang membahas seberapa layak kalian berdua menjadi penerus, selain itu kalian juga pemegang saham. Kalian ikut bertanggung jawab atas nama baik perusahaan, prove that your brain can be used well."

Keduanya terbelalak, Anay menelan ludahnya susah payah.

"Tan, tapi aku---"

"Tiga puluh persen saham Pramudya Group atas nama Sekar Ayu Annaya. Itu wasiat Mami kamu." Ujar Kanjeng Ratu tegas.

"I'm really sorry." Ujar Tian lirih.

"Me too, Aunty." tambah Anay dengan mata berkaca-kaca.

Kanjeng Ratu menatap keduanya, "Apology accepted. You have to take a shower."

🌿

Tok tok!

Klek!

"Nay, siap-siap ya kita makan malam di luar."

Satu alis Anay terangkat, "Why suddenly?"

"No, nothing." Jawab Kanjeng Ratu sedikit ragu.

Anay bisa melihat ada sesuatu yang di sembunyikan Kanjeng Ratu, tapi dia memilih untuk tidak bertanya lagi.

Anay mengangguk, "Oke, I'll be ready in thirty minutes."

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di Royal Hotel & Resto. Tempat makan favorite Mami, batin Anay.
Terakhir kali dia menginjakan kaki disini... Enam tahum yang lalu.

Entah kenapa rasanya berat untuk datang ketempat ini lagi. Anay belum siap, tempat ini terlalu banyak menyimpan kenangan bersama kedua orangtua-nya.

Nay selalu kesini bareng Mami sama Papi, tapi malam ini...

"Nay? Kok ngelamun sayang, kamu kenapa?" tegur Kanjeng Ratu.

Anay berdehem pelan, "Aku nggak pa-apa kok, Tante udah pesen makanannya?" tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Kanjeng Ratu mengangguk sambil tersenyum, "Udah kok, Tante pesen yang kayak biasa. Tante tinggal ke toilet ya?" Ujarnya lalu bangkit dari duduknya.

Anay mengangguk.

Matanya memperhatikan sekeliling, mengamati interior dan suasana Resto yang sudah enam tahun tidak pernah di datanginya. Royal Hotel & Resto ini memang tidak terlalu ramai. Selain harus reservasi lebih dulu, pengunjung Resto ini biasanya juga pelanggan Hotel karena berada dalam satu gedung.

Masih sama...

Tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Anay mengamati foto keluarga yang dia jadikan lock screen. Anay dan Mami-nya duduk di samping kiri-kanan dengan senyum mengembang di rangkul sosok yang mereka cintai, sosok itu duduk di antara keduanya.

"Papi?"

"Annaya..." Dirga duduk di hadapan Anay. Rasa bersalahnya semakin bertambah saat melihat kekecewaan di mata putrinya.

Anay mengalihkan pandangannya. Dia tidak ingin menangis hanya karena melihat sosok yang selalu ia rindukan itu.

"Papi ngapain disini? Papi masih ingat punya anak?" tanyanya sarkas, tidak ada emosi di dalam kata-katanya.

Tidak ada isak tangis, tapi air mata itu sudah cukup untuk menjelaskan perasaannya saat ini.

"Annaya, Papi minta maaf. Papi---"

"Why? why just came now?" Sela Anay. Pertanyaan yang terus menghantuinya selama enam tahun terakhir. Dia benar-benar ingin tahu.

Dirga menghembuskan napasnya, dia juga merasakan sesak yang sama.

"Maafin Papi, Nay. Papi nggak punya pilihan lain. Kepergian Mami... seolah membawa sebagian hidup Papi. Rumah, kamar, kamu, Dan... Kenyataan bahwa saat ini hanya ada kamu dan Papi disini---" Dirga menghembuskan napasnya frustasi , matanya berkaca-kaca menatap Anay, "Harusnya... Mami juga ada disini kan?" Ucapnya lirih.

Tangisnya tidak bisa di bendung lagi. Anay tahu, sebesar apa pengaruh Mami di hidup Papi-nya. Terbiasa hidup bergantung satu sama lain lalu tiba-tiba di pisahkan oleh takdir untuk selama-lamanya, tentu itu bukan hal yang mudah.

"Bukan hanya Papi yang kehilangan Mami. Nay juga Pi... Nay juga kehilangan sosok Ibu. Tapi Nay nggak pernah sekalipun berpikir untuk pergi. Selama enam tahun ini, apa Papi pernah mikirin perasaan Nay?" Tanyanya menatap Dirga dalam, "I look fine, but no one knows my feelings. And, it's too late to regret."

Setelah menumpahkan kekecewaannya, Anay langsung beranjak pergi meninggalkan Dirga begitu saja. Tidak, dia tidak benar-benar pergi. Sesampainya di parkiran, air matanya kembali tumpah. Di antara deretan mobil yang terparkir dia menyembunyikan diri untuk menangis. Ada perasaan bersalah yang menjalar di hatinya, ini pertama kalinya dia berkata kasar kepada Dirga. Bagaimanapun Dirgantara tetaplah Ayahnya.

Anay berjongkok dengan kedua tangan menutupi wajahnya, berusaha meredam tangisnya sebelum beranjak pergi.

"Permisi!"

Harap-an !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang