Aku berjalan di tengah koridor sekolah yang sepi. Entah apa yang merasuki ku hingga hari ini aku bisa datang kesekolah sepagi ini. Tapi tak apalah, terimakasih setan apapun lah itu karena telah merasuki ku hingga aku tidak datang terlambat hari ini.
Sesampainya di depan kelas, langkah ku terhenti karena sosok dingin yang begitu halus masuk kedalam jantung ku, namun bukan sosok ghaib. Dia nyata. Nyata sekali. Sampai senyumku terkembang begitu saja saat melihat dirinya yang sedang duduk di kursi yang ada di pinggir koridor. Pria berjaket merah itu tengah asik membaca buku dalam kesendirian. Pria itu tidak terlalu tampan, perawakannya juga kurus krempeng seperti tidak makan satu bulan. Namun yang ku suka darinya adalah sikap dinginnya yang membuat ku penasaran. Dan rahang tegasnya yang menolong wajahnya hingga nampak terlihat tampan. Iya walaupun gak tampan banget seperti shawn mendes.
Aku berjalan menghampirinya. Namun sepertinya dia tidak melihat kehadiran ku. Mungkin karena terlalu fokus dengan bukunya, jadi ku putuskan untuk menyapanya terlebih dahulu.
"Hai... boleh aku duduk?" Lama aku menunggu jawabannya, namun dia tidak merespon, akhirnya aku memutuskan (lagi) untuk duduk di sampingnya tanpa menunggu jawaban darinya lagi.
"Lagi baca buku apa?" Ok. Basa basi pertama aku yang bangke banget di kacangin gitu aja.
Seketika dia berdiri dan kemudian langsung pergi begitu saja memasuki kelas.
Oh my ghost, susah susah aku beraniin diri buat basa basi yang bangke gitu doang, dan dia, si cowo dari teluk Alaska itu pergi begitu saja tanpa memperhatikan aku di sampingnya yang sedang nganga karena sikap cueknya yang nyebelin banget. Apakah dia kira aku ini setan kali yang gak keliatan batang hidungnya?. Atau... apakah karena setan yang sedang merasuki ku?, selain bikin aku dateng lebih awal setan ini sampai cowo dari teluk Alaska itu gak lihat aku kali ya?.
"Woy... ngapain lo bengong depan kelas?" Tiba tiba saja suara cempreng itu membuat ku kaget. Dari suaranya yang cempreng saja aku sudah tahu jika dia adalah Tari teman sebangku ku.
Dia teman pertama ku saat aku pertamakali memasuki dunia putih abu-abu ini. Aku masih ingat saa aku menjalani masa orientasi di SMA Nusa Bangsa ini, saat itu rambut panjang ku di ikat satu kebelakang. Penampilan ku benar benar seperti anak SD yang pertama kali masuk sekolah. Malu dan serasa pengen ngerengek ke abang ku untuk pulang lagi. Tapi itu sepertinya lebih memalukan, jadi aku memberanikan diri untuk mengikuti masa orientasi ini. Dan pada saat itulah saat aku sendiri seperti orang yang linglung Tari menghampiri ku dan menawarkan dirinya untuk menjadi teman pertama ku.
Saat itu penampilan Tari berbeda dengan ku. Dia begitu feminim dengan rambut panjang yang bergelombangnya tergerai kemudian penampilannya juga begitu mengikuti zaman, dia orang yang supel dan banyak teman. Berbeda dengan ku yang kaku dan pemalu serta penampilan ku yang terlihat biasa saja tidak semenarik Tari.
Namun sejak bertemu dengan Tari, kehidupan ku mulai berubah. Tari yang Ekstrovert mulai merubah pribadi ku. Aku sudah bisa berkomunikasi dengan yang lainnya. Aku sudah punya beberapa teman. Dan karena aku berteman dengan Tari banyak yang mengenal ku sekarang.
Aku tidak ingin di anggap menumpang ketenaran pada Tari. Karena aku ingin di kenal dengan menjadi diri ku sendiri, jadi aku tetap menjadi diri ku sendiri meskipun Tari membuat ku berubah menjadi tidak pemalu lagi. Tapi bukankah itu hal yang baik.
"Malah bengong lagi lo lin. Ck, udah cepetan ayo masuk entar bu Rahma ngamuk lagi gara gara lo telat lagi gimana" Kata kata Tari sukses membuat ku menghentikan lamunan ku dan membuat ku mengerutkan dahi. Bingung dengan perkataan Tari barusan.
"Tar, ini baru jam 06:30. Bu Rahma ngamuknya jam 07:10. Masih lama kali Tar" jelas ku yang kini membuat Tari yang jadi mengkerutkan dahinya dan kemudian langsung melihat jam tangan pinknya.
"Oh iya, ko tumben lo jam segini udah di sekolah?. Biasanya kan nunggu Bu Rahma ngebacotin lo baru lo masuk kelas" Jawab Tari sambil menatap ku dengan senyum malunya
"Astagfirullah Tar, gitu amat sama gue tuh" aku cemberut menanggapi ucapan Tari.
"Iya iya, sorry. Udah ayo masuk kelas!"
***
Seperti biasanya saat jam kosong begini anak anak yang lain memanfaatkannya untuk berselfi, bernyanyi, belajar, membaca buku, bermain handphone atau mengobrol seperti yang ku lakukan dengan Tari sekarang. Kami berdua buka murid yang buruk di sekolah justru kami berdua adalah murid yang lumayan berprestasi di sekolah. Aku yang jago berdebat dan berpikir ku yang luar biasa tentang teori teori dalam biologi, Dan Tari yang jago dalam matematikanya membuat kami menjadi murid yang pintar di kelas kami. Aku dan Tari sering mengikuti olimpiade di sekolah.
Tapi yang aku tidak suka dari Tari adalah saat dia mulai meremehkan kemampuan ku dan selalu ingin menyaingi kemampuan ku. Sejujurnya aku tidak ingin bersaing dengan teman ku sendiri, tapi walaupun begitu kami berdua selalu bersaing secara sehat.
"Lo tadi ngobrol sama Alaska lin?" Tanya Tari tiba tiba saja mengganti topik pembicaraan. Awalnya kami sedang mengobrol tentang film baru.
"Iya, gue iseng aja nyapa dia" jawab ku sekenanya. Memang benar, tadi aku hanya iseng saja menya Alaska. Iya cowok dingin kurus krempeng yang tadi pagi itu namanya Alaska Mahardika.
"Huh ko lo lebih dulu sih ngambil start nya?" Tanya Tari terlihat kesal.
"Ya, tadi tuh lagi pas aja momennya" jawab dengan nada bercanda.
"Ok kita satu kosong ya. Entar gue pastiin kalo gue yang bakal menang dan dapetin tuh cowo introvert" jelas Tari serius.
Maksud Tari apaan?. Bukankah ini hanya permainan?. Kenapa dia harus seambisius itu mendapatkan Alaska?.
"Apaan sih Tar. Lagian kita kan udah sepakat kalo kita akan bersaing secara sehat, jadi gak usah baperan deh" jelas ku menegaskan pada Tari masih dengan nada bercanda. Aku tidak ingin permasalahan sepele ini terlihat serius.
Seperti kesepakatan kami satu minggu yang lalu saat aku dan Tari berada di titik kejenuhan yang membawa kami kedalam permainan. Permainan yang menantang.
Flashback
"Aturan dalam tantangan ini yang pertama, kita harus bersaing secara sehat dan yang kedua semua aturan itu tidak penting" Jelas Tari terlihat menantang namun membuat ku bingung dengan perkataannya.
"Maksudnya apaan tar?" Tanya ku jujur yang tak memahami perkataan Tari.
"Maksudnya, dalam permainan ini gak ada aturan apapun. Dengan cara apapun itu jika salah satu di antara kita bisa mendekati cowok es itu, dia adalah pemenangnya" untuk kali ini penjelasan Tari dapat dimengerti, dan aku hanya mengangguk tanda mengerti.
"Gimana?... setuju?" Tanya Tari memastikan tawarannya
"Ok" dengan semangat aku menjawabnya.
Bersambung ke Bab 2....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Introvert Boy
Teen Fiction#MyStory 10 Oktober 2019 . . . . Kenapa aku harus terjebak dalam situasi rumit seperti ini? Apakah ini salah ku yang telah menerima tantangan itu? Ataukah salah dia yang membawa ku kedalam permainan rumit ini? Atau mungkin karena ambisi dan keegoisa...