Mikrokosmos - Pt.2

19 0 0
                                    

🎠🎠🎠

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎠🎠🎠

Langit berubah gelap, menunjukkan keindahannya dengan memancarkan sinar bulan dan sedikit bintang. Jani baru saja selesai mengerjakan tugas sekolahnya dan sekarang ia berada di atas tempat tidurnya sambil memainkan ponselnya, tapi ketika baru ingin membuka salah satu aplikasi, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

"masuk," izinnya.

Datanglah seorang lelaki yang diketahui adalah kaka laki-lakinya sendiri. "Apa lo ada perlu yang sangat penting, sampai lo repot-repot datang ke kamar gue?" tanyanya sinis.

Pemilik nama lengkap Gaelan Aindriu itu diam. Elan hanya memberikan sebuah amplop lalu pergi meninggalkannya.

Setelah Elan keluar, ada sebuah notifikasi masuk ke ponsel Jani.

"Gue mau lo dengerin dan disana ada surat tolong dibaca."

Begitulah pesan yang dikirimkan Elan. Jani menatap amplop itu heran, haruskah ia mendengarkan dan membacanya?

Ia ragu. Maka dari itu, amplop itu ia letakkan di laci meja belajarnya, membiarkannya disana sampai ia tidak ragu lagi membukanya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Jani  menutup matanya perlahan memasuki alam mimpinya.

🎠🎠🎠

Jani membuka novelnya, membaca dengan serius sambil mendengarkan lagu favoritnya. Belum satu halaman ia membacanya, tiba-tiba meja digebrak oleh seseorang, membuat Jani melepaskan earphonenya dan menutup novelnya. Jani menatap orang itu tak suka.

"Oh jadi lo yang namanya Jani?" tanyanya tak sopan.

"Ya?" Jani menjawabnya dengan singkat.

Tiba-tiba saja tangan orang itu mengarah ke rambut Jani. Ditariknya rambut Jani sampai Jani pun tak percaya dengan tingkah perempuan satu ini. Ia berusaha melepaskan tangan yang menjambak rambutnya, tapi ia tak bisa.

Jani malu, sangat malu. Dilihat oleh banyak orang seperti ini, teman sekelasnya pun hanya diam melihat yang terjadi padanya tak ada yang berani menolongnya kecuali satu orang yang sedang berjalan ke arahnya.

"Van, lepas!"

Tangan itu melepaskan rambut Jani setelah ada sebuah suara yang mengintrupsi kegiatannya. Mata Vanora takut menghadap sumber suara itu, dan benar saja dugaannya bahwa orang yang mengganggunya adalah Wira.

"Apa yang lo lakuin, Van?" tanya Wira sebisa mungkin mengatur nada bicaranya.

Matanya melirik tajam ke arah Jani, memberi peringatan bahwa ini belum selesai. "Engga, gue cuma main kesini dan gue liat rambut dia bagus,"

Kini tangan Vanora kembali mengelus rambut Jani tapi tidak dengan tarikan yang kuat seperti sebelumnya. Jani yang melihat itu benar-benar muak, sampai akhirnya ia berlari ke luar kelas.

Wira yang saat itu ada di samping Vanora langsung tergeser karena ulah Jani. Tak ada persiapan baginya untuk mengejar, karena setelah ia berjalan ke luar kelas sosok Jani sudah tidak terlihat. Kini, mata Wira menatap Vanora sekilas sampai akhirnya ia bersuara lagi, “Bubar kalian semua! Hanya orang bodoh yang cuma diam tanpa memisahkan.”

🎠🎠🎠

Cairan bening terus mengalir dari matanya, ini sudah jam pulang. Tapi, Jani masih setia duduk disana dan menangis.

Tak ada seorang pun yang ingin kesini, jadi Jani bisa menangis sepuasnya. Taman belakang sekolah adalah tempat pilihan Jani sekarang.

“Udah, jangan nangis lagi. Cengeng banget sih lo,” ujar seseorang.

Jani belum bisa berhenti menangis, tetapi ketika sebuah sapu tangan mendarat di pipinya Jani terdiam. Membisu, tidak bisa berkata apa-apa. Matanya mengadah ke depannya, matanya membulat tak percaya.

“Lo!” Jani bersuara setengah berteriak disela tangisnya.

“Iya ini gue, kenapa? Engga suka? Ini kan sekolah, siapa aja boleh kesini dan ngga ada larangan.”

Jani bungkam. Benar yang diucapkan lelaki itu, ini tempat bagian dari sekolah, siapa saja bisa datang kesini. Kini, tangisan Jani mulai sedikit mereda mungkin dikarenakan kehadiran Wira, makanya Jani terlihat malu dan takut dibilang cengeng olehnya.

“Lo harus pulang, ini udah mau malam.” Wira bersikap dada sambil menyuruh Jani untuk pulang karena matahari yang hampir terbenam.

“Ya, gue bakal pulang.” ujarnya cuek meninggalkan Wira begitu saja.

🎠🎠🎠

Tengah malam Wira masih belum bisa tertidur, perutnya lapar. Langkah kakinya menuntun ke arah dapur tepatnya kulkas. Dibukanya kulkas, menampilkan banyak camilan sampai dia sendiri bingung ingin mengambil yang mana, tetapi pilihannya jatuh pada sebuah apel dan beberapa snack.

Lampu rumah sudah dimatikan sejak tadi, kemungkinan orang rumah sudah pada tertidur. Wira berjalan mengendap ke atas membawa camilannya, tetapi pergerakkan terhenti karena seseorang menepuk bahunya. Wira tegang, dia tidak berharap bertemu sekarang dengan keberanian yang ada, badannya berputar 45° dan menemukan sosok Orion.

“Lo laper? Makanya diem-diem gini ngambil makanan?”

Orion bersikap dada, menunggu jawaban adiknya ini. Yang ditanya hanya memamerkan gigi kelincinya, membuat Orion menjewer telinga Wira.

“Lo apaan sih, sakit tau!”

Kali ini justru Orion yang tertawa mendengar keluhan adiknya kesakitan. “Makanya, kalau disuruh makan ya makan akibatnya begini kan ngambil makanan tengah malam,”

Wira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Iya, maaf tadi gue emang gak nafsu makan hehe..”

“Yaudah sana, ke kamar. Jangan tidur malam banget, besok lo harus sekolah!” suruh Orion mendorong tubuh Wira menaiki tangga.

Wira hanya menganggukkan kepalanya, lalu berjalan menuju kamarnya dan memulai memakan camilan yang diambil ditemani sebuah film horor terpampang di layar laptopnya.

🎠🎠🎠

Maaf ya bab ini udah lama updatenya sedikit pula, huhu.. Aku tau belum maksimal dalam membuat cerita ataupun updatenya juga. Aku harap kalian sabar dan selalu setia nunggu setiap cerita aku. Makasih buat kalian yang selalu nunggu aku update💜💜

Aku cuma minta vote dan komen kalian sebagai penyemangat aku hehe

love,
anyiis

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MikrokosmosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang