Cute boy

10 0 0
                                    

Secepat itu aku mengenalmu
Secepat itu aku menyukaimu.

Tepuk tangan meriah mengakhiri presentase Biologi yang dilakukan Kinar saat itu, ia sedikit membungkukan badan sambil tersenyum lalu kembali ke tempat duduk. Albi menghela napas pendek lalu menoleh ke arah Kinar yang duduk tak jauh di belakangnya. Gadis itu tidak tahu jika Albi tengah memperhatikannya, rasanya Albi ingin berkenalan lagi dengan Kinar. Mereka satu kelas tapi rasanya baru kali ini ia menyadari keberadaan Kinar.

Semua siswa berbondong-bondong menuju kantin, jam istirahat baru di mulai dan Albi sudah sibuk memperhatikan Kinar.

"Diliatin mulu, samperin dong!"

Celetuk Tama seraya memasukan uangnya ke dalam saku, mata Albi terus memperhatikan Kinar hingga gadis itu menghilang di balik pintu kelas.

"Naksir lo?" kini giliran Rey yang bersuara.

"Bacot!"

Albi berjalan mendahului Rey dan Tama yang terpingkal di belakangnya. Sesampainya di kantin, Albi tak melihat keberadaan Kinar seperti biasanya yang selalu membantu Bi Surti di warung. Pandangannya berpendar ke setiap sudut, tapi tetap saja Kinar tak ditemukan.

"Gue cabut dulu." ujar Albi lalu berlalu meninggalkan dua kawannya.

"Pasti lagi nyariin si Kinar." bisik Tama pada Rey menyaksikan Albi yang semakin jauh.

Beritahu Albi jika ia tak seharusnya melakukan ini. Hal konyol yang tak pernah ia lakukan sepanjang hidupnya. Sejak kecil Albi selalu dididik untuk selalu mengedepankan pendidikan, menomor satukan pelajaran tanpa embel-embel namanya pacaran. Ia pun tak pernah mendekati wanita manapun.

Namun entah mengapa kali ini berbeda. Ia tidak pernah tertarik menjalin hubungan dengan wanita manapun, tapi sejak ia melihat sosok Kinar, Albi seolah diseret paksa untuk menyelami gadis itu.

Setelah lumayan lama mengitari hampir seluruh sekolah mencari Kinar, Albi merasa sia-sia karna telah mengorbankan jam istirahatnya. Akhirnya ia pun berniat untuk kembali ke kelas saja, dan ketika melewati persimpangan perpustakan ia tak sengaja menabrak seorang gadis yang membawa tumpukan buku.

Klasik. Tapi itulah pertama kali sepasang iris mereka bertemu, saling beradu menatap satu sama lain.

"Maaf."

Ujar Kinar lalu bergegas membereskan buku yang berserakan, sedangkan Albi yang terlalu larut baru menyadari keadaan. Ia pun ikut membantu Kinar merapikan buku sambil sesekali tatapnya mencuri nakal ke wajah cantik Kinar.

Sungguh, Kinar cantik sekali. Albi jadi bingung, ini tuh Kinar yang terlalu cantik atau Albi yang selalu menutup mata dari semua wanita.

"Ayo aku bantu."

Percaya, deh. Ini adalah pertama kali Albi bicara dengan seorang wanita selain ibunya. Dan kalimat barusan sukses membuat jantung Kinar meletup tak karuan. Dan ini juga pertama kali Albi menyadari jika ia sudah bolos jam pelajaran karna menemani Kinar di perpustakaan.

"Kamu kenapa nggak masuk kelas aja?"

Lima belas menit yang lalu mereka sudah berkenalan, dan sama-sama tahu kalau mereka ternyata satu kelas.

"Lagi bosen aja." sahut Albi.

Ia membalik halaman berikutnya lalu berujar, "Kamu juga kenapa nggak ke kelas?"

"Oh, aku di suruh Bu Vera nyiapin beberapa materi." Kinar tersenyum kecil kala mengatakan itu. Ia jadi ingat, ia tak pernah bicara dengan laki-laki manapun. Kinar hanya punya satu teman.

Albi mengangguk, sementara tangannya terus berputar membalik halaman per halaman. Tak ada yang bicara, selain hanya suara gesekan buku dan meja di sana, tak jarang sesekali ia mencuri pandang ke arah Kinar, begitupula sebaliknya.

Terlalu biasa namun tetap manis untuk diingat.

Sejak kejadian tersebut entah bagaimana mereka lebih sering tertangkap bersama. Rey dan Tama pun baru menyadari kalau sohibnya itu sedang dekat dengan seorang gadis.

"Lo lagi jatuh cinta?" tanya Rey kala Albi tak henti-hentinya tersenyum sambil membalas pesan.

"Gak usah di tanya kali Rey," Tama membenarkan letak stick Billiard yang ia pegang, memasukan satu bola kala melanjutkan, "Mukanya udah merah gitu kayak tomat. Hahaha."

Dan Albi pun tak segan untuk melayangkan bantal ke arah Tama. Rey pun ikut tertawa menyaksikan Albi yang memerah malu.

"Ini udah jam sepuluh loh." ujar Rey melihat jam dinding di ruangan itu.

"Lo gak pulang lagi, Al?"

"Ini, kan rumah gue."

"Rumah orang tua lo maksud gue."

Mereka tau telah melemparkan pertanyaan paling sensitif diantara mereka. Melihat raut Albi yang mendadak tak menyenangkan, Tama pun mencoba mencairkan suasana.

"Hhmm, gimana kalo malem ini kita berdua nginep di sini?"

Dengan senyum cerah Tama menatap Albi dan Rey bergantian, berusaha mengatakan seolah itu adalah ide brilian.

"Kalian udah tau jawabannya," Albi beranjak dari duduknya. "Gue nggak ngijinin siapapun nginep di rumah gue."

Jika Albi sudah mengatakan hal demikian, mereka tahu kalau Albi bukan sedang bercanda.

Dan dengan penolakan kesekian kalinya Rey dan Tama akhirnya harus pulang tanpa tawaran apapun, sejujurnya mereka pun sudah tahu bahwa Albi memang tak akan pernah mengijinkan siapapun menginap di rumah pribadinya. Sudah diijinkan main saja sudah untung. Dan ketika mobil dua kawan Albi sudah menghilang, lagi-lagi Albi harus menghembuskan napas jenuh tatkala berujar, "Tak ada gunanya, Pak Su."

"Tuan hanya memohon untuk kali ini saja." Suardi asisten sekaligus orang kepercayaan ayah Albi. Sudah ratusan kali ia membujuk Albi agar kembali pulang.

"Katakan padanya aku tidak akan pernah pulang sebelum ia menghentikan semuanya." dan detik itu pula Suardi harus menelan penolakan lagi.

Tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang paham keadaan Albi sesungguhnya. Tidak ada, selain dirinya sendiri. Bersama denting jarum jam yang berdetak sunyi, Albi menatap lembaran usang yang keindahannya tak akan pernah pudar.

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VIRGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang