Dulu, sebelum dirinya diboyong ke Provinsi Sumatera Utara, Devan tinggal bersama kakek dan neneknya di Jakarta. Orangtua kedua yang mengasuhnya, merawatnya tanpa pamrih, di saat Ima harus menemani Tomy, suaminya dinas ke luar kota. Namun, kejadian buruk menimpa Devan kala itu.
Harusnya hari itu menjadi hari yang menyenangkan ketika ia bersama kakek dan neneknya menjemput sang ibu di bandara. Harusnya dia bahagia bisa menarik paksa sang ibu masuk ke sebuah toko mainan, dan memborong berbagai mainan yang ia inginkan. Harusnya. Namun, semua tak seperti yang ia terka ketika sebuah mobil sedan menabrak mobil yang dikenderai sang kakek, dan mencederai mereka yang ada di dalamnya.
Devan, dan neneknya turut menjadi korban. Namun, entah karena dirinya ada di belakang, tak terkena hantaman langsung mobil sedan yang menabrak dari arah depan atau memang dirinya sedang berada dalam keberuntungan. Luka di tubuhnya hanya berupa goresan. Tapi tidak dengan kakek, neneknya, orangtua sang ibu yang harus meregang nyawa di depannya.
Pertama sang nenek, meninggal ketika sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit. Dan kakeknya ... tak mendapatkan perawatan yang optimal ketika dibawa di UGD dan ditangani dokter yang terlihat kelelahan hari itu. Mungkin sudah begitu banyak pasien yang ditangani, hingga dia tampak lamban mengambil tindakan sebagai pertolongan utama.
Ia ingat, ketika dokter itu berteriak kepada seorang perawat, ketika darah segar keluar dari mulut kakeknya. Anak kecil berusia sepuluh tahun, hari itu hanya bisa melihat dan menangis, tanpa sang ibu yang masih menunggu di bandara, dan berpikir jika mereka telat menjemput karena macet.
Melihat bagaimana raut bingung dokter yang menangani sang kakek kala itu, juga kepanikan yang semestinya tak muncul di saat yang begitu genting, Devan bertekad jika ia akan menjadi seorang dokter yang bisa menyelamatkan pasien dengan mengerahkan semua kemampuan terbaiknya. Ia harus bisa mengontrol emosi, agar pasien yang menaruh harapan di tangannya, tak menerima tangis keluarga yang menanti kabar baik dari pasien yang ditangani.
Namun, setelah lima tahun ia menjadi dokter IGD, Devan kemudian paham jika dokter adalah manusia yang kadang tak mampu mengontrol emosinya ketika mendapatkan tekanan bukan sekadar dari kewajibannya yang harus menyelamatkan pasien, namun juga keluarga pasien, dan kondisi fisik yang kadang telah terlampau lelah.
Hari ini, ia bahkan baru akan menyeruput tehnya, kala seorang perawat datang dan mengatakan ada pasien sesak napas. Bergegas, melupakan jika seharian perutnya belum terisi dengan secuil makananpun, Devan segera menemui pasien dan melakukan pemeriksaan.
Selesai menangani pasien sesak napas karena alergi selai kacang, Devan yang baru menelan satu suap makan siang yang baru bisa ia nikmati di sore hari, perawat datang dan mengatakan jika ada pasien kecelakaan.
Dia belum menghabiskan makanannya, ketika harus melakukan operasi pada pasien yang mengalami luka parah pada area perut yang bisa mengancam jiwa jika tidak segera ditangani. Devan lelah. Ketika ia baru keluar dari ruang operasi, dan seorang perawat mengatakan jika pasiennya, wanita berusia dua puluh tahun yang baru saja menjalani operasi usus buntu enggan meminum obat jika bukan dirinya yang menemani.
Devan mengurut kening. Mengangkat tangan, pria itu menyerah pada kondisi tubuhnya yang butuh istirahat. "Bisa ditunda sebentar? Saya mau makan. Sebentar saja," katanya lalu segera pergi menuju ruangan.
Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis ilmu bedah, Devan tak menyesal kala ia memutuskan untuk menjadi dokter IGD saja. Di sana, jauh lebih membutuhkan dokter yang kompeten, karena menangani pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, dokter IGD harus memiliki pemahaman yang lebih jauh jangkauannya dari sekadar dokter umum biasa.
Namun terkadang ia merasa lelah, dan ingin menyerah, ketika menjadi dokter IGD, ia dipaksa untuk memiliki kesigapan, bukan hanya gerak, namun kecepatan berpikir, juga ketenangan di antara kepanikan pasien maupun keluarga pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Mata Turun Ke Hati
RomanceCara kerja cinta memang terkadang tak munafik. Karena tak jarang semua dimulai dari fisik. Jadi siapa yang bilang jika cinta itu buta? Bullshit! Cinta itu pamrih. * Cerita sudah dibukukan. Ebook akan tersedia di playstore bulan 1/2 2020. Mau memba...