Bagian 1 Bayi Cantik

16 2 0
                                    


"Bayinya perempuan, Bu…" ujar bidan memperlihatkan bayi yang sedang menangis tersebut padaku.

Bayi itu begitu bersinar. Kulitnya putih bersih. Berbeda sekali dengan kami kedua orang tua dan kakak-kakaknya yang memiliki kulit berwarna sawo matang.

Bidan membersihkan tubuhnya yang gembil dan meletakkannya dalam timbangan. Bayi itu dibungkus ya dengan kain dan dikembalikan padaku untuk menyusui. 

Wajahnya begitu bersinar. Tidak bosan-bosan aku memandangnya. Begitu pula suamiku. Ia terlihat begitu sumringah dengan kehadiran bayi cantik ini. Walaupun sebenarnya kami menginginkan bayi laki-laki, tetapi tetap merasa bahagia karena memiliki bayi yang sangat menawan.

Setelah menginap semalam di klinik bidan, aku dan suami memutuskan pulang ke rumah. Melahirkan secara normal tentu saja memudahkan ku bergerak. Begitupun jahitan yang kuterima tidak begitu banyak. Alhamdulillah banyak sekali kemudahan yang kurasakan saat melahirkan bayi ini. Mungkin karena kami sudah berpengalaman dengan kedua anak sebelumnya. Jadi semua terasa lebih mudah dilalui.

"Mamaaaa!" Teriak kedua putri kami saat suamiku membukakan pintu mobil untukku. Keduanya seperti tidak sabar menanti kepulangan adik bayi mereka.

Ya. Sebelumnya aku telah memiliki dua orrang putri dengan jarak usia terpaut hanya setahun. Setelah empat tahun, aku baru melahirkan putri cantik dalam gendonganku ini.

Mereka terlihat bahagia, saat aku menunjukkan sang adik.

"Ih,  adik bayinya lucu!" Si sulung mulai berkomentar.

"Dia juga cantik. Kulitnya putih bersih," lanjut anak kedua.

Si kakak meletakkan tangan di sebelah adik bayi. Membandingkan antara kulitnya dan kulit adik bayi. Aku hanya diam memperhatikan celotehan anak-anak itu. 

"Mungkin, karena masih bayi makanya putih. Ntar kalau udah segede kita juga jadi hitam." Si kakak sulung menjawab.

"Mana ada kayak gitu," celutuk sang adik.

"Ada kan, Ma?" Tanya si Kakak memastikan.

Aku tertawa geli mendengar obrolan para balita ini. Mungkin dikiranya manusia itu semakin besar semakin hitam. Hanya karena membandingkan kulit antara adik dan mereka.

Anulika dan Anindita, kedua anakku ini qadarullah Allah berikan kulit sawo matang. Sama seperti aku dan ayah mereka.

Hidungku biasa saja, tidak terlalu mancung, tidak pula pesek. Beda dengan suamiku, hidungnya agak sedikit besar. Kata orang-orang, hidung buah jambu. Ada-ada saja. Dan ini menurun pada Anindita.

"Wah! Ada tamu di rumah kita. Sini-sini, Nenek gendong dulu!" Ujar ibuku yang baru saja tiba di kamarku tempat kami sedang berkumpul.

"Cantiknya cucu Nenek!" Kata ibuku lagi sambil memandang sang bayi yang masih tertidur pulas.

"Nek, adik kulitnya putih banget ya," sahut Anulika.

"Iya. Beda banget sama kalian," jawab ibuku spontan.

Rasa hatiku menjadi tidak enak. Kuperhatikan lekat wajah sulungku itu. Ah, ada gurat sedih di sorot wajahnya mendengar ucapan sang nenek. 

Tenanglah, Nak! Ayah dan Ibu tidak akan memandang kalian dari warna kulit. Kalian semua sama di mata kami. 

#tantanganforsen_oktober






ArabellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang