Aku tidak tahu kapan semuanya dimulai. Tapi aku tahu, bahwa ia sudah tak ada di sini.
***
Malam itu bulan bersinar terang sekali, layaknya sore yang belum berakhir. Kesunyian di hutan itu terusik oleh suara gesekan daun yang terinjak seirama. Laki-laki itu berlari, terus masuk ke dalam hutan seakan tak takut jika kegelapan itu menelannya dan tak akan pernah membiarkan ia lepas kemudian.
Deru napasnya terdengar keras, sama sekali tidak ia tahan mengingat tak akan ada orang yang melihatnya di sana.
Bisikan yang sedari tadi ia redam seakan tak mau menghilang dari kepalanya. Suara-suara itulah yang membuatnya sampai ke titik ini. Ke titik di mana tak ada lagi yang perlu dijadikan alasan untuk melanjutkan hidup.
“Hei, mau mendengar ceritaku?”
Langkah panjangnya terhenti. Ada suara di depan sana. Begitu halus seolah sedang mengajaknya berbicara untuk melewati malam panjang yang akan berlalu sebentar lagi. Laki-laki itu mendekat, seperti tertarik oleh nyanyian hutan di malam hari yang diterangi sinar bulan kebiruan.Sepertinya anak itu menyadari kehadirannya yang bagai hantu. Di luar dugaan, ia malah tersenyum seolah mengenal siapa pemuda bertubuh tinggi yang kini berada di dekatnya. Ia pun berkata, “Apa kau mengira aku hantu?” pemuda itu terkejut dengan pertanyaan yang terlontar kepadanya. “Pastinya tidak, ya. Soalnya kau tidak terlihat takut.” senyum anak itu lagi.
Sang pemuda menurunkan bahu yang tanpa sadar naik. “S-sedang apa kau di sini... sendirian?” tanyanya gugup. Si anak perempuan itu terdiam sejenak, lalu menggembungkan kedua pipinya. “Karena aku hantu.”
Lagi-lagi si pemuda terkejut hingga kedua bahunya naik. Namun, ketika melihat dengan matanya bahwa sosok yang mengaku bahwa dirinya hantu itu tertawa, ia menyadari benar kalau yang dikatakannya hanyalah kebohongan semata. Ia pun tersenyum.“Bolehkah, aku ikut duduk?”
“Kau tidak takut?”
Pemuda itu memperhatikan si gadis dengan seksama. “Untuk apa aku takut pada seorang gadis kecil?” kekehnya. “Hee... nyalimu besar juga, ya.” pemuda itu mengalihkan wajah kemudian. “Seharusnya aku yang bilang begitu.”
Keheningan melanda di tengah terangnya sinar bulan yang terpantul di permukaan danau kecil di hadapan mereka. Anak itu lebih pendiam dari yang ia duga di pertemuan tadi. Saat ini ia hanya memeluk kedua kakinya sambil tak melepaskan pandangan dari bayangan bulan di depannya.
“Jadi, kau tak mau mulai bicara lebih dulu?” anak perempuan itu bergumam kemudian. “Aku akan memulainya dengan perkenalan. Kau bisa memanggilku dengan sebutan apapun yang kau sukai. Maksudku, terserah kau ingin memanggilku apa.”
Laki-laki di sampingnya sontak melongo mendengar pernyataan itu. “ Dari mana itu bisa disebut perkenalan?” katanya dengan aneh.
Gadis misterius itu hanya terus diam, seakan menunggu jawaban dari sang laki-laki. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memanggilmu Mori? itu kesan pertamaku ketika melihatmu pertama kali di hutan ini. ” anak perempuan itu menoleh, sedikit tertarik dengan tawaran itu. Matanya membulat seakan langsung setuju dengan nama yang diberikan lelaki asing yang baru saja ada bersamanya beberapa saat lalu.“Bagaimana? kau suka?”
“Lalu aku harus memanggimu apa?”
Pertanyaan baru kembali terucap dari mulut sang gadis sebelum laki-laki itu mendengar pendapatnya. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, “Kau boleh memanggilku Yami.” Sontak gadis yang diberi nama Mori itu mengangkat sebelah alisnya ketika pemuda itu menyebutkan nama yang ia yakini bukanlah nama sebenarnya.
“Kenapa ‘kegelapan’?”
“Karena begitulah keadaanku yang sekarang.”
Senyum pedih yang terpancar dari pemuda itu meredupkan pandangan sang gadis yang baru saja berbinar. Ia ikut menunduk memainkan rumput di bawah kakinya.
“Nah, karena perkenalannya sudah selesai, bolehkan kalau kita langsung mulai bercerita?” suara Mori terdengar tidak sabar, tapi matanya masih menatap ke bawah dengan serius, seolah yang sedang diajaknya bicara bukan Yami, tapi rumput hijau itu. “Kau benar-benar tidak pandai basa-basi, ya...” Yami terkekeh.
Selang beberapa detik sebelum akhirnya sang pemuda memutuskan untuk memulai ceritanya.Sebelum ini, dia adalah seorang mahasiswa yang selalu mendapat peringkat tinggi di angkatannya. Bisa dibilang dia seorang yang sempurna yang bisa diandalkan dalam hal apapun. Terlalu sempurna bahkan sampai membuat orang-orang disekililingnya selalu menjunjung tinggi segala tentangnya.
Tapi, itu hanya yang mereka lihat. Tidak ada yang tahu bahwa si sempurna itu sebenarnya tak memikirkan hal yang sama dengan yang mereka pikirkan. Ia selalu merasa bahwa dirinya tidak akan diterima jika bukan karena prestasi yang terus ia bangun itu. Makanya, datangnya hari itu adalah sebuah petaka baginya.
Ketika ia sekejap mata terlena dalam kesenangan. Hanya sekejap saja, semua yang ia miliki hilang bagai tak pernah ada. Dan benar apa yang ia pikirkan, mereka semua pergi meninggalkannya. Dan pada detik itu ia baru menyadari, bahwa selama ini ia hanya dimanfaatkan oleh mereka yang mengincar kesempurnaan.
Baiklah, jika itu yang mereka pikirkan.Mulai berubahnya sikap Yami pada teman-temannya, semakin meyakinkan orang-orang itu bawa Yami bukanlah orang yang tepat untuk mereka jadikan ‘teman’. Dan akhirnya, gunjingan demi gunjingan pun mulai bertebaran bersamaan dengan kabar-kabar buruk tentangnya. Entahlah, dunia ini begitu rumit dan sulit ditebak. Tak semuanya berjalan sesuai yang kita inginkan.
Ditengah semua pikiran itu, tanpa disadari, kaki panjangnya telah mengantarkan pemuda itu ke dalam gelapnya hutan yang sunyi, menenggelamkan suara-suara yang tak mengenakkannya. Lenyap kemudian.
“Hmm... begitu.” hanya itu yang keluar dari mulut Mori begitu Yami menyelesaikan ceritanya dengan menunduk menutup wajah dibalik lengan. Mori tampak tak bergairah. Tanpa berkata-kata, ia menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan hijau, tidur menyamping membelakangi pemuda itu.
“Kau enak, ya...”
Yami menoleh pelan ke arah gadis itu, tatapannya sedikit terkejut. Sejauh ini ia mengira anak itu pasti akan merasa kasihan atau setidaknya memberikan semangat pada dirinya yang tengah terpuruk kini.
“Oh, iya. Sejak awal kau yang berkata akan menceritakan tentang dirimu, kan? sekarang giliranmu.” sahutnya pasrah.
Mori masih dalam posisinya.
“Kau lihat pohon besar dibelakangmu?” spontan Yami langsung melihat kebelakang punggungnya begitu Mori mengeluarkan pertanyaannya. Tepat di belakang mereka, sebuah pohon besar berdiri kokoh bagai sedang melindungi mereka dari gelapnya hutan di belakang sana.“Sepanjang ingatanku, aku selalu bersamanya sampai saat ini. Selesai.”
Yami tak bereaksi, sama seperti gadis itu ketika ia menyelesaikan tuturan kisahnya beberapa saat yang lalu. Ia ikut membaringkan tubuh di samping gadis itu, namun juga membelakanginya. “Menyedihkan.” satu kata kemudian terucap. “Kalau begitu, biarkan aku tidur di sini menemanimu malam ini.”Keduanya terlelap dalam dentingan musik hutan yang dimainkan oleh sang angin.
TBC...
Hauuu👋
Yume mo promoin lgi cerita yg udah lamaaa bgt Yume buat,,
Yah.. karna bisa diblg Yume juga nyaris jdi Hikikomori gara2 jdi anak kamaran🌚Boleh dong ya,, sebagai isian santai tanpa beban😅 (gw ngomong apaan sih-_-)
Gitu aj deh,, happy reading guys!!
Jgn lupa vote n comentnya... Gratis sumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Moon in the Lake
Kurzgeschichten#Budayakan follow sebelum membaca:)# SUMMARY: Aku tidak tahu kapan semuanya dimulai. Tapi aku tahu, bahwa ia sudah tak ada di sini.