Bazar Buku

94 11 13
                                    

"Lho ?"

Hanya kata itu yang bisa aku suarakan saat mata kami bertemu. Diantara lautan manusia yang ada di aula ini, entah kenapa aku harus bertemu dengan Ardhito.

"Kamu ?"

Dia menunjukku sambil tersenyum samar. Aku juga mencoba tersenyum meskipun rasanya canggung sekali. Kami berhadapan, terpisah beberapa langkah. Orang-orang tak henti berlalu lalang diantara kami, tapi sama sekali tidak membuat kami berhenti saling bertatapan.

Haduh, seperti di film-film roman saja.

Ardhito mendekat, membuat jarak kami nyaris nihil. Aku bahkan bisa menghidu aroma Bvlgari Aqua dari tubuhnya, segar tapi kalem.

"Kamu kok disini ?" Tanyanya.

Aku mengernyitkan dahi, heran. Memangnya kenapa kalau aku disini ? Ini kan bazar buku. Apa dia lupa kalau aku suka membaca ? Apa dia lupa kalau kamarku lebih mirip perpustakaan, dibanding kamar tidur seorang perempuan ? Apa dia lupa kalau aku lebih senang menghabiskan waktu di toko buku daripada di butik ? Apa dia lupa kalau... tunggu, tunggu. Memangnya kenapa kalau dia lupa ?. Bukankah sudah sewajarnya dia melupakan hal-hal tentangku ?.

Aku menggelengkan kepala, seolah dengan begitu, segala pikiran-pikiran ngaco bisa rontok dari otakku.

"Sendirian ?"

"Iya. Kamu ?"

"Sama"

Kami berdua sama-sama diam. Ardhito membolak-balik halaman buku tentang arsitektur, sedangkan aku hanya berdiri mematung memperhatikannya. Dia tidak banyak berubah kecuali gaya berpakaiannya yang hari ini tampak lebih formal; kemeja polos merah marun yang lengannya digulung hingga siku, celana panjang abu-abu gelap bermodel slim fit yang terlihat pas di kaki panjangnya, dan sepatu pantofel hitam mengilat. Berbeda sekali dengan dia yang terakhir kali kulihat bertahun-tahun lalu.

Ah, ternyata sudah lama sekali aku tidak melihatnya.

"Apa ?"

"Hah ?"

"Jangan melihatku terus-terusan. Nanti naksir lagi"

Walaupun itu terdengar sangat narsis dan menyebalkan, tapi aku tidak bisa menahan tawaku. Bisa-bisanya ia melemparkan candaan setelah apa yang terjadi diantara kami selama ini.

"Kamu masih mau disini ?"

"Memangnya kenapa ?" Ardhito menutup buku yang dia bolak-balik.

"Aku mau ke kafe. Mau ikut ?"

"Memangnya aku boleh ikut ?"

"Kenapa nggak ?"

"Karena nanti ada yang marah"

"Pacarmu ?"

"Pacarmu"

Aku hanya tersenyum dan bergegas ke coffee shop yang ada di bagian depan gedung, meninggalkan Ardhito yang masih saja lebih senang berbelit-belit daripada memberikan keputusan mau ikut atau tidak.

"Ikut" Bisik Ardhito yang tiba-tiba sudah berjalan di sampingku dengan ekspresi sok cool. Aku meliriknya, ia balas melirikku sambil tersenyum lucu, membuatku tersenyum geli melihat tingkahnya. Dasar pria ini, masih saja menggemaskan.

Ehm, maksudku, kekanakan.

"Kalau kamu menikah, jangan lupa undang aku"

"Hah ?"

"Kamu kan sudah lama pacaran. Finansial juga sudah stabil"

Aku melipat tanganku di atas meja kafe. "Lalu ?"

"Nunggu apa lagi untuk menikah ?"

"Nunggu seseorang"

"Memangnya pacarmu kemana ?"

"Memangnya aku bilang akan menikah sama pacarku ?"

Hening. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ardhito. Tapi tiba-tiba saja aku teringat dengan Cakra--pacarku. Cakra adalah pria baik yang dikirimkan Tuhan untuk menyadarkanku bahwa tidak semua pria itu brengsek. Cakra mencintaiku lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Ia tidak pernah ragu untuk memaafkanku setiap kali aku menyakitinya--hal yang tidak hanya satu-dua kali aku lakukan. Aku pun mencintai Cakra, meskipun tidak sebesar rasa cinta Cakra padaku.

Tapi untuk menikah dengan Cakra, rasanya aku tidak bisa membayangkan.

Aku tidak bisa membayangkan ada Cakra di masa depanku. Aku tahu aku jahat sekali, tapi aku tidak bisa meskipun aku pernah mencoba membicarakan masa depan dengan Cakra; akan seperti apa pernikahan kami nanti, bagaimana kelak rupa anak-anak kami, berapa jumlahnya, dan dimana kami akan tinggal.

Karena sejak dulu aku hanya menginginkan satu nama.

Dan nama itu bukan Cakra.

Dua tahun yang kujalani dengan Cakra pun tidak bisa membuat nama itu berubah menjadi nama Cakra.

Mungkin aku bisa mencintai Cakra atau orang lain, berpacaran dengan pria lain, memanggil orang lain dengan sebutan "sayang", tapi hatiku tidak pernah bisa berbohong perihal siapa yang dia inginkan. Hanya nama itu yang kuinginkan untuk ada di masa depanku, aku siap menghadapi apapun yang ada di masa depan. Asal bersamanya.

"Lalu, kamu mau-nya menikah sama siapa ?"

Untuk beberapa detik, aku menatap mata Ardhito yang sedang menunggu jawabanku. Pria itu lalu meraih cangkir black coffee yang ada di dekat tangan kanannya, lalu menyesap isinya. Aku memperhatikan gerakan Ardhito dengan detail; saat dia menikmati kopinya, menyibak poni yang panjangnya mulai mengganggu pandangan, dan menopang dagunya untuk bersiap kembali menunggu jawabanku. Seolah aku sedang merekam sesuatu yang akan kusimpan sehingga bisa kulihat-lihat lagi di lain waktu, kalau rindu.

"Yah, dia malah bengong" Gumam Ardhito

Aku tidak bisa memberikan jawaban apapun, selain senyum misterius. 

Ternyata memang benar, hatiku tahu siapa yang dia mau. 

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang