Jangan Hari Ini, Ya? Ok ? Ok!

59 11 12
                                    

"Halo ?"

"Iya-"

"Astaga, kamu kemana aja sih, Bi ? Ditelepon nggak bisa, di chat nggak balas. Chatku tadi pagi juga malah dibaca doang"

Aku memutar bola mataku. Kesal. Baru juga bicara satu kata, lawan bicaraku diujung sambungan sana sudah mengomel panjang lebar.

"Aku baru selesai meeting, Cakra"

"Meeting sama siapa ?"

"Mas Emir, editorku".

Cakra diam. Aku diam, tapi aku seolah bisa menebak apa yang akan diucapkan Cakra.

"Berdua aja ?"

Tuh, kan, tebakanku benar.

"Iya"

"Di kantor ?"

"Di kafe"

"Kok tumben di kafe ?"

Aku mendengar ada nada curiga dalam suara Cakra. Tapi, sudahlah, Cakra sudah sering seperti itu. Apalagi sudah hampir sebulan kami tidak bertemu, hampir setiap hari pula kami ribut hanya karena perkara sepele. Sifat Cakra yang posesif dan gampang curiga membuatku lelah dan putus asa.

"Mas Emir yang ngajak"

"Ya kan kamu bisa minta meetingnya di kantor aja"

Aku menghela napas. "Memangnya, kalau meeting di luar, salahnya dimana ?"

"Beneran cuma meeting ?"

Mendengarnya, aku berusaha untuk tidak membanting gelas orange squash yang ada di hadapanku.

"Iya. Memangnya kenapa sih ?"

"Lho, kok kamu jadi nyolot ?"

"Udahlah, Cak. Aku lagi pusing banget, nggak pengen ribut"

"Siapa juga, sih, yang ngajak ribut. Kamu aja yang tiba-tiba aneh, nggak bisa dihubungi, ternyata lagi di luar sama orang lain"

"Oke iya, aku yang salah. Kamu emang yang paling benar"

Klik. Aku memutus sambungan telepon begitu saja dan meletakkan ponselku di meja dengan gerakan sedikit melempar. Astaga, kenapa sih Cakra harus se-menyebalkan ini di saat-saat seperti ini. Aku memijat pelipisku yang tiba-tiba berdenyut. Pembuluh darahku terasa seperti akan meledak, saking kesalnya. Aku harus segera merampungkan revisi dari Mas Emir agar bukuku bisa segera terbit, sedangkan pacar yang seharusnya memberikan support, malah bertingkah seperti bayi.

Cobaan apa ini, Tuhan.

Dulu, Cakra tidak seperti ini. Well, tidak separah ini, sih. Tapi makin kesini, ia semakin menjadi-jadi. Sejujurnya, aku lelah dengan sikap Cakra yang selalu curiga, posesif, dan cemburu, bahkan pada hal-hal kecil. Ia bilang, ia begitu karena mencintaiku. Tapi jika memang Cakra mencintaiku, harusnya ia percaya padaku. Iya, kan ?. Hal-hal seperti ini yang sering membuat kami ribut karena masalah sepele.

"Kusut amat itu muka"

Aku mengangkat wajah dan terkejut saat mendapati Ardhito sedang berdiri disamping mejaku. Aku Cuma tersenyum sambil membereskan barang-barangku.

"Udah mau balik ?"

"Iya"

"Bareng aku yuk"

Aku menatap Ardhito sebentar. "Nggak usah, To. Makasih"

"Kamu bawa kendaraan sendiri ?"

"Engga, aku naik taksi"

"Sudah, bareng aku aja. Lagian rumah kita kan searah"

Aku tersenyum. "Tapi aku nggak pulang ke rumah. Aku pulang ke butiknya Pat. Jauh, nggak searah sama rumah kamu"

"Ah" Ardhito menggaruk belakang kepalanya, salah tingkah "Nggak apa-apa, aku anter. Nggak sejauh dari kutub utara ke selatan kan ?"

Aku tertawa kecil. Dasar, Ardhito, masih betah saja bertahan dengan candaan super garing-nya.

"Ya sudah, kalau kamu maksa" Aku membenarkan strap ransel di bahuku. "Lumayan, menghemat anggaran transportasiku"

* * *

"Wah, Kalandra" Gumamku saat mendengarkan intro lagu yang terputar di mobil Ardhito.

Ardhito menoleh sekilas. "Kamu dengerin Kalandra juga ?"

"Iya" Jawabku sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik. "Habis, musiknya asyik banget. Disamping liriknya yang relatable banget sama kehidupan"

Ardhito tertawa sambil tetap fokus ke jalanan. "Setuju. Aku juga suka Kalandra karena itu"

Lalu kami sama-sama diam sambil menikmati alunan musik alternative rock dengan lirik-lirik satir yang menyindir kehidupan di zaman modern seperti sekarang.

"By the way, To" Setelah dua lagu Kalandra rampung dan kami masih saling diam, aku mencoba membuka obrolan. Ardhito menoleh sekilas, lalu kembali fokus menyetir. "Kamu di kafe tadi sendirian ?"

"Oh, nggak. Tadi sama klien" Ardhito memindahkan persneling mobil. "Kamu sendirian ?"

"Aku sama editorku tadi. Tapi dia balik duluan"

"Jadi, sekarang kesibukanmu adalah menulis ?" Aku tertawa mendengar pertanyaan Ardhito yang berbeda dari apa yang biasanya kuterima. "Kok ketawa ?"

"Soalnya, orang-orang biasanya nanyanya 'jadi, sekarang kesibukanmu cuma menulis ?'" Aku memberikan penekanan pada kata 'cuma'.

Ardhito tersenyum. "Nulis tuh bukan 'cuma', kali, Bi. Apalagi yang kayak tulisan-tulisanmu gitu. Tulisan-tulisan di wattpad-mu selalu top read, bukumu best seller"

"Tahu darimana ?"

"Baca. Kalau baca bukumu, aku pinjam punyanya Arimbi, sih" Ardhito nyengir. "Masih ingat Arimbi, kan ?"

Arimbi adalah adik perempuan Ardhito. Dulu, saat masih bersama Ardhito, aku dan Arimbi sangat dekat. Apalagi umur kami hanya terpaut empat tahun. Aku bahkan lebih sering hang out dengan Arimbi, daripada dengan kakaknya yang supersibuk ini.

"To, kita itu lost contact baru empat tahun. Bukan yang puluhan tahun gitu" Aku gemas. "Ya pasti masih ingat, lah. Memangnya aku se-pikun kamu ?"

"Kumat, deh, cerewetnya"

Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. "Sorry"

Ardhito terkekeh geli melihat reaksiku, membuatku jadi salah tingkah. Bukan apa-apa, aku selalu takut kalau tingkah atau ucapanku annoying bagi orang lain. Makanya aku lebih banyak diam dan cenderung kaku setiap berinteraksi dengan orang lain.

"Arimbi pasti senang sekali kalau ketemu kamu" Kata Ardhito lagi.

"Aku bisa sampai bikin buku begini salah satunya juga karena Arimbi, kok"

"Wah dia pasti senang kalau tahu dia dapat compliment dari salah satu penulis favoritnya"

Aku tersenyum mengenang Arimbi. Sejak dulu, gadis periang itu selalu antusias membaca tulisan-tulisanku, bahkan saat aku sendiri tidak percaya diri. Ia juga yang selalu mendukungku untuk terus menulis dan membantu mempublikasikan tulisan-tulisanku lewat sosial medianya.

Ah, aku jadi rindu Arimbi dengan segala energi positifnya itu.

"Arimbi sehat, kan, To ?"

"Fisiknya sih sehat, otaknya mah enggak. Makin gesrek dia karena lagi skripsi"

Kami tertawa, menenggelamkan suara Kalandra yang sedang menyindir bobroknya pemerintah lewat lagu-lagunya.

Ardhito lalu berdehem. "Kamu nggak nanyain kabar Mama, Bi ?"

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang