Sesuatu yang Hambar dan Bumbu-Bumbu

33 4 0
                                    

"Pat"

Patra hanya berdehem dan asyik dengan ponselnya.

"Patra" Ulangku. Kali ini sambil melempar tissue bekas.

"Jorok amat sih lu!" Protes Patra sambil menatap gumpalan tissue yang sempat mengenai tangannya dengan jijik. Aku mencibir. "Kenapa sih ?"

Aku memainkan es batu yang tersisa di dasar gelasku. Bingung. "Aku sama Cakra kok gini-gini aja, ya ?"

"Gini-gini aja gimana ?" Pat memperbaiki posisi duduknya. "Lo kali yang begini-begini aja. Cakra mah maunya serius dan nikah sama lo"

Aku diam karena Pat ada benarnya.

"Perasaan lo ke Cakra gimana ?"

Aku mengangkat bahu. Dua minggu belakangan ini, setelah Cakra kembali dari Australia, hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Kadang ia mengajakku makan siang atau mengantar-jemput kemanapun aku pergi. Di akhir pekan, ia duduk berjam-jam di kafe hanya untuk menemaniku menulis.

"Ya berarti dia supportive dan nggak cemburuan lagi dong. Seperti yang lo mau, kan"

"Gimana mau cemburu, kan aku sama dia terus, Pat"

"Ya terus masalahnya apa, Sabiya ? Kan dia pacar lo" Pat menyesap hot green tea-nya. "Lo belum jawab pertanyaan gue"

"Tentang ?"

"Perasaan lo ke Cakra"

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi sambil menatap jalanan yang mulai ramai. Memang banyak tempat hiburan di kawasan ini, mulai dari pusat perbelanjaan, kafe, restoran keluarga, sampai kelab malam. Apalagi, ini malam minggu.

"Atau perasaan lo sekarang malah buat Ardhito ?"

Aku memalingkan pandanganku ke Patra. "Pat!"

Patra mengedikkan bahunya dengan cuek. "Kan mungkin aja"

"Aku cuma ngerasa hubunganku sama Cakra jadi hambar"

"Yang hambar itu hubungan lo atau perasaan lo ?"

***

"Kamu kenapa, Bi ?"

Hari ini aku, diantar Cakra, menyerahkan naskah finalku ke pihak penerbit. Hal yang tidak kusangka adalah hari ini juga, setelah satu jam lamanya menunggu di kantor penerbit, aku mendapatkan approval untuk naik cetak.

One step closer menuju terbit.

Malamnya, aku dan Cakra makan malam di warung sate langganan Cakra. Kami makan di dalam mobil karena warung sedang ramai pengunjung. Mirip seperti saat aku dan Ardhito makan nasi goreng.

Astaga, bicara apa sih aku. Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir Ardhito beserta antek-antek kenangan tentangnya dari pikiranku.

"Nggak kenapa-napa kok" Aku tersenyum, lalu kembali fokus dengan makananku.

Tapi tidak juga, sih. Entah mengapa rasanya aku lelah sekali. Kepalaku berisik, ada banyak yang berputar-putar disana. Perasaanku kusut tanpa kutahu penyebabnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua ini kembali hening dan lurus.

Harusnya kabar dari pihak penerbit tadi membuatku sangat senang, kalau boleh hiperbola. Tapi yang kurasakan hanya sedikit. Sisanya hanya perasaan-perasaan yang tidak cocok sekali dengan hal-hal baik yang kuterima hari ini.

"Kamu akhir-akhir ini sering diam lho, Bi" Cakra menggigit sate ayamnya. "Yakin nggak ada apa-apa ?"

Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Cuma ter-distract sama hectic-nya nulis aja kok"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang