Bu Asmi tak berbohong ketika beliau mengatakan harus pergi ke desa sebelah untuk bekerja. Sore harinya, Bu Asmi pamit. Harus ke desa sebelah karena cucunya sedang sakit dan pergi bekerja di pagi buta.
Sebelum kepergian Bu Asmi, wanita paruh baya itu sudah memasak banyak sekali. Untuk makan siang, makan malam, dan jika masih ada sisa bisa dihangatkan di esok hari. Juga tak lupa berpesan kepada Felix bahwa setiap hari akan ada yang mengantar makanan. Felix malu, jujur saja. Ia bukan tamu agung yang harus dijamu setiap hari.
Karena Felix tahu diri, ia memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan pada Bu Asmi dengan alasan tak ingin merepotkan masalah makanan. Meskipun pada awalnya ditolak, paksaan lembut dari Felix akhirnya beliau terima.
Langit sore itu sangat cerah. Felix keluar dari rumah, menuju teras dan duduk bersila sambil menikmati pemandangan yang terhampar dihadapannya. Ponselnya ia keluarkan, tak lupa mengambil potret langka tersebut dan berniat akan memamerkannya kepada orang tuanya.
Tak lama ia kembali berdiri, mengambil sandal asal kemudian berjalan mengitari rumah. Samping kanan terdapat pesawahan, samping kiri dan belakang ada kebun yang berisi berbagai sayuran, sementara bagian depan rumah dihadapkan dengan jalan setapak yang hanya bisa dilewati satu mobil. Jarak antar rumah cukup berjauhan, masing-masing memiliki beberapa petak tanah yang sebagian besar dipakai untuk berkebun.
Di seberang rumah, Felix bisa melihat beberapa anak kecil yang tengah bermain. Rasanya menyenangkan sekali bahkan hanya dengan melihatnya.
Sementara di ujung jalan sana, ia bisa melihat pria paruh baya yang tengah membawa sesuatu. Mampu menyita perhatian Felix, akhirnya ia hampiri. Felix ikut berjongkok karena pria tersebut sedang duduk di pinggir jalan, tampaknya sedang beristirahat.
"Jualan ya, Pak? Jualan apa?" tanya Felix.
Pria yang tengah mengipasi wajahnya dengan topi lusuh yang dibawanya, sadar dengan kehadiran Felix. Kemudian kembali memakai topinya dan membuka barang jualannya.
"Ieu 'A, aya gorengan. Sok mangga, nyéépkeun sateuacan uih. (Ini Mas, ada gorengan. Silahkan, mau ngehabisin sebelum pulang.)" Jawabnya dengan menggunakan bahasa daerah.
Felix tersenyum kaku, tak tahu harus menjawab apa. Dirinya kerap kali mendengar teman-temannya yang berbicara dengan bahasa daerah daerah, namun dirinya tak pernah memahami artinya karena dari kecil ia tak pernah diajari apapun. Maklum, Ibunya asli Jakarta sementara sang Ayah berasal dari Australia.
Yang ia tangkap dari penjual ini hanya kata 'gorengan', selebihnya ia tak mengerti. Yang kini ia lakukan hanya mengusap tengkuknya canggung, apalagi pria dihadapannya seperti tengah menunggu jawaban dari Felix.
"Teu tiasaeun bahasa sunda, Mang. Tamu ti kota. (Gak bisa bahasa sunda, Mang. Tamu dari kota.)" Felix mendongak, menemukan Changbin yang tengah berdiri disampingnya.
"Eh, 'A Changbin nuju aya didieu? (Eh, Mas Changbin lagi ada disini?)" tanya penjual tersebut.
"Nuju libur, Mang, (Lagi libur, Mang,)" jawabnya singkat, kemudian dirinya mengeluarkan uang sepuluh ribu dan menyerahkannya pada si penjual. "Campur, ya. Sepuluh ribu."
"Eh, biar gue aja yang bayar." Felix yang sadar bahwa Changbin tengah membayar, berusaha menahan.
Dan jawaban dari Changbin, terdengar menyebalkan sekali bagi Felix. "Ngapain kamu yang bayar? 'kan saya yang mau makan, kamu ya beli aja sendiri."
Felix menganga. Sangat kesal. Tak mau kalah, akhirnya ia mengeluarkan satu lembar pecahan uang yang sama. Naasnya, barang dagangan penjual tersebut sudah habis. Benar-benar dikuras oleh Changbin.
KAMU SEDANG MEMBACA
butterfly ; changlix
FanfictionTentang Changbin dan Felix yang bertemu di desa.