"Al, ini harusnya bahasannya ngga melenceng sejauh ini. Bisa diedit lagi ngga?"
"Duh, Mas. Kenapa ngga bilang dari kemarin, ini anak-anakku sudah kerja keras."
"Tapi ini ngga seharusnya bahas ini. Ini ngga penting. Malah ada informasi penting lain yang harusnya ada di sini malah ngga ada. Kalo bisa si ditambah dengan info dari dosen. Buat wawancara sama dosen."
"Harus buat lagi?" jawab Alvi dengan wajah yang sudah sangat malas berinteraksi dengan Zayn.
"Iya. Nanti aku buatkan daftar artikel mana yang butuh wawancara dosen dan artikel mana yang bersifat hiburan."
"Yaudah deh,nanti ngobrol lagi. Aku kelas dulu deh."
Alvi bergegas pergi dari hadapan Zayn. Bekerja dengan Zayn merupakan tekanan tersendiri bagi Alvi karena Zayn adalah sosok yang sangat menuntut kesempurnaan. Kesal sering kali terucap dari mulutnya. Apalagi jika sedang bercerita dengan teman-teman dekatnya, "Males banget ih Zayn banyak mau."
"Udah ngga pake Mas lagi?" jawab temannya menanggapi.
"Bodoamat. Kesel banget tau, doi perfeksionis banget, susah imbanginnya."
"Haha tapi cerita yang lo buat untuk pemenuhan komitmen masih tentang Mas-nya?"
"Hehe kesel kan bukan berarti udah ngga suka, Ta."
"Kalau ternyata ZM tuh Zayn Malik gimana, Al?"
"Udah, udah pasti bukan dia santai aja. Kalau misal dia... apa sekalian aku confess aja?"
"Kalo lo berani si gue kasih nih jempol empat-empatnya buat lo."
"Lebay."
***
Masih kesal dengan pemimpin majalahnya itu, Alvi pura-pura tak melihatnya tatkala ia sedang sama-sama menunggu di gedung bahasa di bagian belakang kampus menunggu hujan reda. Alvi tak dapat menembus hujan karena ia lupa tak membawa payung. Sedang asik menunggu, tiba-tiba orang di sampingna memberikan payungnya kepadanya, "Al, pegangin dulu bentar."
Sementara si empunya payung menembus hujan menuju penyeberangan. Tak disangka, ia membantu seorang nenek tua berjas hujan yang sedang kesulitan menyeberang. Selain karena sudah tua dan penglihatannya sudah tak baik-baik saja, hujan hari itu juga mempersulit seorang nenek tua melihat jalanan. Zayn menuntunnya menyeberang jalan dengan hati-hati dan lembut. Setelah sampai seberang jalan, ia melambaikan tangannya kepada Alvi memintanya untuk menghampiri membawakan payung miliknya.
Alvi berlari kecil di tengah hujan dipayungi oleh payung abu-abu milik pujaan hatinya. Masih terkagum oleh perilaku si Mas pujaan hatinya itu, jantungnya masih berdegup kencang dan rasanya tak karuan. Fokusnya pun hanya tertuju pada si Mas tersebut sehingga ketika akan menyeberang, ia lupa melihat kiri-kanan dan hampir saja tertabrak. Alvi melangkah mundur, Zayn mencegah untuk meneruskan langkahnya, "Situ aja, Al. Aku aja yang ke sana."
"Thanks udha dijagain payungnya."
"Sama-sama, Mas."
"Mau balik bareng aku aja, Al. Tapi naik motor."
"Ga apa-apa si asal gratis. Hehe."
Di bawah payung yang sama, dibersamai dengan nyanyian alam yang begitu menenangkan hati, mereka berjalan menuju parkiran belakang. Momen itu adalah momen paling romantis dalam hidup Alvi yang pernah ia rasakan.
"Kosanmu di mana, Al?" Zayn bertanya memecah keheningan.
"Aku tinggal di rumah saudaraku di daerah Cigadung."
"Jauh banget."
"Hm iya, biasanya aku bawa motor si cuma karena hari ini lagi males aja jadi pake ojek online deh."
"Hmm," hening lagi untuk beberapa saat, "Al, ceritanya udah sampai mana?"
"Hah?"
"Ngga lupa kan sama komitmennya?"
"Itu jaketnya Mas Zayn?" matanya membulat penuh, raut wajahnya panik.
"Kamu kira memang siapa?"
"ZM kan banyak.."
"Memang kamu dekat sama yang lainnya? Kayanya paling dekat denganku karena kita udah sekolah dari SD sampai kuliah pun di tempat yang sama."
"Hehe," Alvi hanya membalas dengan senyum canggung.
"Deadline pemenuhan komitmen minggu ini, kan? Sabtu depan aku minta udah dalam bentuk fisiknya, ya," katanya sambil tersenyum manis sampai menggetarkan hati Alvi.
***
Sabtu telah tiba, Alvi sudah menyiapkan hati, pikiran, jiwa dan raganya untuk memberikan novel buatannya kepada seseorang yang di juga adalah tokoh utama fiksi tersebut. Alvi memilih waktu pukul 7 malam untuk memberikan buku itu di selasar dekat himpunan, di depan kafe dekat jurusannya. Ia memilih waktu tersebut agar ia dapat menyembunyikan semburat merah dari Zayn akibat ulah Zayn.
"Ini, Mas," Alvi menyodorkan kedua tangannya yang memegang novel buatannya sambil terus menunduk tak berani bertatap muka dengan Zayn.
Zayn membuka halaman pertama buku tersebut, menelisik ilustrasi yang digambarkan di halaman kesatu buku tersebut. Ia merasa familiar dengan momen dan perawakan yang digambarkan di dalamnya. Dia sekilas membaca beberapa paragraf dalam fiksi tersebut.
"Al," yang dipanggil masih tak mau memperlihatkan wajahnya, ia hanya mengangguk pelan, "Alvi Zain," lanjutnya.
Hatinya tergetar dan ia mencoba menengadahkan kepalanya berusaha bertatap muka dengan Zayn. Zayn hanya menyunggingkan senyum manisnya yang lagi-lagi membuat Alvi tak karuan. Avi membuang muka, mencoba menghindar dari pandangannya. selang beberapa detik, ia memandang Zayn lagi, dan dia masih menatap Alvi dalam sambil tetap tersenyum menggoda.
"Don't look at me like that please," wajahnya sudah hampir merah legam karena malu bercampur senang itu.
Zayn, bukannya menuruti apa yang dikatakan Alvi, ia malah mendekat dan berkata, "Wanna make this fiction to be non-fiction story with me, Alvi Zain?"
****
AKHIRNYA UPLOAD LAGI SYALALALALA
Silakan berimajinasi dengan karakter Alvi Zain dan Zayn Malik yuhuu
Btw memang nama Alvi nih ada Zain-nya ya.....
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKOTERS X Idol
Short StoryIni cerita alias kehaluan gue dengan main lead idol (baik itu kpop, artis Jepang atau idol barat si, tergantung kesukaan temen-temen gue juga) dan teman-teman gue yang udah baik kasih gue video saat gue ulang tahun padahal lagi asik liburan. I hope...