[ 8 ] Sharing and Approaching

16.7K 1K 9
                                    

Kinanti melangkah keluar dari lift yang membawanya ke lantai lima belas hunian apartemen mewah di Jakarta itu. Lobby berlantai marmer putih berlapis karpet merah tebal menyambutnya. Ia melangkahkan kakinya ke salah satu nomor hunian, unit milik Kinen. Melakukan rutinitasnya selama hampir seminggu ini, menjadi jari pengganti untuk Kinen. Pekerjaan yang ringan, namun tak begitu ringan ketika berada di posisi Kinanti, mendengar langsung kata-kata dalam novel Kinen yang menurutnya sangat berlebihan dan sok romantis. Belum lagi setiap argumentasi yang ia keluarkan setiap otaknya mendeteksi kalimat yang tak sesuai dengan logikanya. Energinya terkuras habis hanya untuk perdebatan alot yang sering kali diakhiri dengan Kinen yang --sedikit-- mengalah dan mengikuti saran Kinanti. Mario cukup puas dengan hasil naskah Kinen yang ia ketik dengan berbagai suntikan masukan dari Kinanti. Seperti sebuah napas baru dalam naskahnya, begitu yang selalu Mario katakan setelah membaca beberapa bab yang telah mereka --Kinan dan Kinen-- hasilkan bersama. Kinan tersenyum puas mengingat hal itu.

Langkah kaki jenjangnya terhenti begitu menatap pintu apartemen Kinen yang masih berjarak kurang lebih sepuluh meter dari posisinya sekarang. Sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang membuatnya menghentikan langkah hanya untuk menatap bingung sosok yang tengah berdiri tepat di hadapan pintu apartemen Kinen.

Sesosok wanita paruh baya yang cantik dengan rambut kecokelatan tampak celingukan tepat di depan pintu apartemen Kinen. Keraguan tampak jelas dari gelagatnya. Ia seperti ingin menekan bel tapi detik berikutnya mengurungkan niatnya dan menunduk menatap lantai. Kinanti mengernyit memperhatikan perilaku wanita di hadapannya yang terlihat aneh.

Apa mungkin ia mengenal Kinen? Tapi kenapa gelagatnya aneh begitu kalau ia mengenal Kinen? Seperti gelagat seorang pencuri yang berusaha menerobos rumah targetnya. Kinan mengendikkan bahu.

Ia memutuskan berjalan menuju sosok itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Kinanti sopan. Mengagetkan si wanita di hadapannya yang berjengit kaget, persis seperti pencuri yang tertangkap basah.

Si wanita paruh baya di hadapannya tiba-tiba saja mengambil ancang-ancang untuk kabur dan bergegas pergi. Kinanti bahkan belum melihat wajahnya walau cuma sekilas.

"Bu... tunggu..." panggilan Kinanti terhenti ketika matanya menemukan sesuatu yang tergeletak di lantai tempat ibu tadi berdiri. Kinanti berjongkok untuk melihat lebih dekat objek temuannya. Sebuah kartu debit.

Margaretha Sander Prawira.

Prawira...

Prawira...

Tunggu dulu, apa Prawira yang ini sama dengan...

"Sedang apa kamu di situ? Beralih profesi menjadi penguntit, huh?" Suara Kinen menginterupsi jalur pikir Kinanti.

"A--a... e--enak aja kalau ngomong," jawab Kinanti terbata. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Prawira, nama keluarga yang sama dengan milik Kinen. Hakkinen Prawira. Apa ibu tadi ada hubungannya dengan Kinen? Tapi, kenapa dia mendadak kabur kalau dia mengenal Kinen? Ada apa sebenarnya?

"Hei, malah ngelamun. Kesambet baru tau rasa, loh." Kinen mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan mata Kinanti, menyadarkan gadis itu.

"A--ayo masuk. Jangan kelamaan di sini." Kinanti cepat mengendalikan diri dan mendorong punggung Kinen masuk ke unit apartemen pria itu. Kinen hanya mengendikkan bahu melihat sikap Kinanti yang dirasanya agak aneh. Tapi, who cares?

"Hari ini kita mau ngapain?" tanya Kinanti begitu mereka sudah mencapai ruang kerja Kinen.

"We're going to do editting," jawab Kinen sambil menarik keluar hardcopy naskah novelnya yang sudah di-print out.

Write Our LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang