[ 9 ] Background

15.1K 949 16
                                    

"Margaretha Sander Prawira itu..." haruskah Kinen membagikan kenyataan ini pada Kinanti?

Wajah gadis cantik di hadapannya menanti dengan tidak sabaran jawaban yang akan diucapkan pria itu.

Kinen menghela napas panjang sebelum mulai berucap lagi.

"Dia itu... ibuku..." lirihnya nyaris tak terdengar.

"Ibumu? Tapi... tapi kenapa dia kabur saat aku bertemu dengannya tadi? Kenapa dia seperti menghindari kamu?" cecar Kinanti dengan berondongan pertanyaan di otaknya.

"Dia ke sini tadi?" Informasi itu sangat mengejutkan untuk Kinen. Dari mana wanita itu tau tempat tinggal Kinen? Kinen sudah berusaha untuk kabur dari rumah dan menyamarkan lokasinya.

Ah, mungkin saja dia menyewa seseorang untuk mengikuti Kinen setelah pertemuan tak sengaja mereka kemarin.

Kinanti mengangguk sambil memandang takut-takut pada pria di hadapannya ini. Amarah tampak jelas mewarnai pancaran mata kelabu pria itu. Membuat mata kelabu itu tampak sangat mengerikan.

Kinen memejamkan mata sejenak. Amarah itu kembali meluap mengingat wanita itu.

"Aku membencinya. Mungkin dia nggak punya muka untuk bertemu denganku akibat semua dosa yang pernah ia lakukan pada keluargaku," jawab Kinen sambil menahan gemeletuk giginya.

"Tapi... bukankah dia itu ibumu? Apa yang dia lakukan sebenarnya?" Kinanti tidak mampu membendung rasa penasarannya. Ia butuh jawaban.

Mata kelabu Kinen tiba-tiba menatap tajam pada Kinanti dengan tatapan menusuk yang amat menakutkan. Membuat gadis itu bergidik ngeri.

"Dia sudah membunuh ibuku," ucap pria itu datar.

"Bagaimana mungkin dia membunuh ibumu? Sedangkan dia sendiri adalah ibumu?" Kinanti semakin tidak mengerti.

Kinen menghela napas lagi. Ia sudah tidak mungkin berkelit lagi. Mungkin memang sebaiknya ia mengatakan yang sebenarnya.

"Dia ibu kandungku yang sudah merebut ayahku dari ibu yang sudah menjagaku dari lahir. Dia ibu yang membuangku. Dia ibu yang membuat ibuku meninggal dalam patah hati. Dia ibu yang membuatku membentengi diri dari cinta. Dia ibu yang bahkan tak ingin kusebut sebagai ibu," desis Kinen berbahaya.

Dan Kinanti tau satu hal. Kebencian pria ini pada ibunya sudah demikian besar.

Kinanti mengumpulkan keberanian untuk bangkit dari duduknya dan berjalan pelan ke arah belakang Kinen yang masih setia duduk di kursinya dengan mata berkilat dibutakan amarah.

Meneguhkan hati, Kinan memberanikan diri menyentuh kedua pundak pria itu dari belakang, berusaha memadamkan api kemarahan dan kebencian yang tengah berkobar. Dan sepertinya usahanya cukup berhasil.

Kinen menoleh pada Kinanti dengan redup amarah yanh semakin menipis, walau sisa kebencian yang tadi dikuarkan pria itu masih terasa pekat dalam atmosfer yang menyelimuti mereka, tapi Kinanti berusaha bersikap acuh.

Ia tersenyum sangat manis. Menyiramkan air untuk meredakan hati Kinen yang diliputi amarah.

"Bagaimanapun dia ibumu. Aku yakin dia pasti punya alasan untuk berbuat demikian," ucap Kinanti hati-hati.

"Dia hanya ingin menyakitiku. Tak ada alasan lain lagi," kilah Kinen dengan kemarahan yang mulai berkobar lagi.

Kinanti menelan ludah susah payah.

"Tidak ada ibu yang sengaja menyakiti anaknya. Dia ibumu. Dia pasti mencintaimu. Aku yakin, ada sebuah alasan yang melatari semua ini. Kamu tidak boleh membencinya sebelum mendengar kenyataan dari bibirnya sendiri.

Write Our LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang