Rumah --sangat-- besar berdesain minimalis itu terlihat sangat hangat. Merefleksikan penghuni rumahnya. Bangunannya yang dipenuhi cahaya lampu dari sekeliling rumah tampak dominan di tengah kegelapan malam. Halaman yang luas yang ditumbuhi rumput halus dan aneka tanaman paku seperti fern dan di sudut lain dipenuhi oleh ladang bunga matahari, bunga kesukaan si nyonya pemilik. Semuanya masih tampak familiar di ingatan Kinanti sebelas tahun yang lalu. Rumah yang dulu sering ia kunjungi ketika usianya tujuh tahun bersama Ar yang saat itu masih berumur lima tahun. Rumah keluarga Geovanni.
Porsche Kinen terparkir sempurna di halaman rumah mewah itu. Kinen sudah sangat menghapal seluk beluk rumah ini. Hasil dari intensitasnya berkunjung ke kediaman keluarga miliuner ini selama umur persahabatannya dengan sang putra mahkota keluarga Geovanni, Mario.
Kinen membuka pintu mobil, disusul oleh Kinanti di sisi penumpang dan Kartini di kursi belakang. Kartini masih tampak terpukau, belum terbiasa dengan pemandangan di hadapannya. Jelas ia sudah lupa dengan detil rumah besar keluarga Geovanni, karena terakhir dia berkunjung, usianya masih balita. Berbeda dengan Kinanti yang sudah cukup memahami kondisi sekitar.
Welcome to the Geovannies, batin Kinanti dengan mata menerawang.
"Ini, rumah Kak Mario, Kak?" Tanyanya tak percaya pada Kinen dan Kinan. Mereka mengangguk serempak menjawab pertanyaannya.
Decak kagum tak berhenti digumamkan oleh Ar. Rumah minimalis itu begitu mempesona di matanya. Memang tidak banyak furnitur yang ditempatkan, tapi penataan ruang yang apik benar-benar membuat orang tak akan bisa berpaling. Didominasi dengan bidang siku yang menonjolkan kesan fleksibel dan dinamis, kesan modern family yanh begitu melekat di setiap sudut rumah. Meski dulu Kinanti sering mengunjungi rumah mewah ini, sampai sekarang ia tak pernah bisa berhenti mengagumi rumah hasil karya tangan dingin si nyonya rumah, Maureen Anastasia 'Geovanni'.
"Kinen," panggil sebuah suara wanita.
Ketiga pasang mata berbeda warna itu langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita cantik berwajah Asia Timur yang kental dengan gurat elegan yang terpancar jelas di wajahnya yang tak lagi muda. Si nyonya rumah. Maureen Anastasia.
Maureen langsung memeluk Kinen dengan ramah yang segera dibalas oleh pria itu. Ketika pelukan salam terurai, mata cokelat hazel wanita itu menyapu ke dua sosok lain yang datang bersama sahabat putranya. Dua sosok wanita yang sudah sepuluh tahun lebih tak dilihatnya namun masih dapat diingatnya dengan jelas.
"Kinanti. Kartini," panggil Maureen sambil menghambur memeluk kedua gadis itu secara bersamaan. Matanya berkaca-kaca dengan rasa kerinduan yang menebal. Menghantarkan emosi yang sama pada kedua gadis itu.
Kinanti sangat merindukan wanita di hadapannya ini. Wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri akibat kealpaan sang ibu.
Kartini sendiri, walau ia tidak bisa mengenali sosok wanita di hadapannya ini dengan cukup baik, tapi ia bisa merasakan aura keibuan yang cukup terpancar dari Maureen. Membangkitkan kerinduan akan sosok ibu yang telah hilang dari hidup keduanya ketika usia mereka masih sangat belia.
"Sunshine, cut out the teletubies hug. The girls can't breath if you do that. Just hug me if you wish for a body to be hugged," suara bass seorang pria menginterupsi acara pelukan yang mengharukan itu.
Azkanio Geovanni, the Landlord, the CEO, the multi-millionaire, and the perfect husband and Daddy of Geovannies, datang dan menyela reuni dadakan antara Kinan Arti dan Maureen.
"Hi boy, how's everything's going?" Azka menyapa Kinen yang masih berdiri di sisi kedua gadis yang kini telah terurai dari pelukan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Write Our Love
RomanceJari adalah bagian tubuh yang berharga untuk seorang penulis. Kesepuluh kurcaci kecil itulah yang membantu mereka menuangkan ide dalam otak mereka dalam bentuk nyata berupa tulisan. Dan apa yang akan terjadi kepada Hakkinen Prawira, seorang penulis...