The Tulips

7.7K 365 80
                                    

Sepasang kakiku yang dibalut sepatu vans hitam berhenti melangkah, ketika hamparan bunga tulip bermacam warna tertangkap netraku. Lautan bunga itu seakan memanjakan mataku, ditambah dengan udara negeri ini yang segar terbebas dari polusi yang menyesakkan.

Netherland masih sama indahnya dari terakhir kali kakiku memijak di tanah ini.

Negeri ini seolah menyihir setiap orang dengan keindahan tersendiri yang dimilikinya. Hatiku benar-benar merasa tenang, Netherland yang memukau, serta kenangan seseorang yang tak pernah beranjak pergi dari pikiranku. Hingga saat ini.

"Bagaimana kau suka?", ku tolehkan kepalaku ke kanan. Seorang dengan topi baret dan wajah dinginnya. Namun, dapat ku tangkap ada sorot penuh kehangatan dari kelereng hitamnya ketika menatapku. Dia Lee Jeno, lelaki yang dipilihkan kedua orang tuaku sebagai pasangan hidupku.

Aku hanya mengangguk menjawab tanyanya. Jeno adalah lelaki yang tampan dan baik. Ia adalah lelaki dengan masa depan yang cerah. Kepercayaannya pada orang tua ditempatkan di atas segalanya. Meski itu urusan asmaranya sekalipun.

Jeno adalah pria sederhana, walaupun hidupnya dapat dikatakan jauh di atas sederhana. Ia bertingkah apa adanya, tidak melebih-lebihkan hanya untuk membuatku kagum. Ia adalah pria dengan wajah dinginnya, yang terkesan tidak peduli. Namun, aku tahu dalam hatinya terselip banyak cinta untukku.

Aku dan Jeno sudah menikah sejak seminggu yang lalu, ini adalah perjalanan bulan madu kami. Ada saat dimana aku merasa begitu bersalah, ketika aku membiarkan Jeno bertahan dalam cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Lelaki itu terlalu percaya pada takdir yang digariskan Tuhan untuknya. Sedangkan aku, sampai saat ini masih belum bisa menerima takdir yang ku terima, yaitu menikahi Lee Jeno. Meski tak sampai hati aku menyakitinya dengan mengatakan secara terang-terangan, Jeno tahu kalau aku tidak pernah siap dalam pernikahan ini sejak awal.

"Jaemin", panggilnya padaku. Lagi dan lagi hanya kubalas dengan membisu.

"Jika kau ingin berkeliling sendiri, tak masalah. Aku akan menunggumu di sini sembari minum kopi", lanjutnya.

Aku terdiam, memikirkan ucapannya berkali-kali dalam kepalaku. Serta memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika aku memisahkan diri darinya meski hanya sebentar.

"Lee Jeno", panggilku pelan, hampir tak terdengar. Tapi, ia tetap mendengarnya, dan membalas panggilanku dengan gumaman rendah. "Aku akan berkeliling hingga beberapa menit ke depan", ia seolah mengerti bahwa aku mencoba meminta ijin. Ia langsung menganggukkan kepala tanda menyetujui.

"Nikmati perjalananmu", ujarnya dengan senyuman yang ku akui sangat tampan, meski hatiku tak pernah bereaksi apapun terhadap hal itu. Aku berterima kasih dengan pelan, mengulas sedikit senyum kepadanya.

Langkahku berjalan menjauh dari titik dimana Jeno berada. Dapat ku rasakan, lelaki itu masih menatapku dari tempat ia berdiri. Aku memejamkan mata, berniat melangkah sejauh mungkin darinya. Hatiku tak tenang ketika melihat raut wajahnya yang tulus mencintaiku, bagai memikul rasa bersalah yang teramat berat.

Pikiranku teralih ketika hamparan bunga tulip berwarna putih menyapa pandanganku. Langkahku terhenti, badanku sedikit membungkuk meraih mahkota salah satu dari jutaan bunga itu. Kelopak mataku seketika menutup, memutar ulang setiap memori yang tersimpan dalam pikiranku.

"Kau tahu apa yang istimewa dari tulip ini?", tangan bebasnya meraih tanganku, meletakkan setangkai tulip berwarna putih diatas telapak tanganku.

"Tidak ada, mungkin... Bagiku semuanya sama. Mereka semua terlihat indah di mataku", jawabku padanya.

Ia semakin erat menggenggam tanganku dengan setangkai tulip putih disela tautan kedua tangan kami. Hatiku berdesir hangat merasakan genggaman tangannya pada tanganku. Ia merapatkan tubuhnya semakin mendekat, aku pun melakukan hal yang sama hingga jarak kami hanya dibatasi oleh tautan tangan di antara tubuh kami.

Ethereal; MarkminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang